Friday, April 14, 2006

260798 - Monumen

Sudah saatnya bangsa Indonesia menegakkan sebuah monumen untuk sebuah momen sejarah yang penting. Yakni sejarah panjang kekerasan politik, dan perlawanan bangsa ini terhadapnya. Berdirinya sebuah monumen tidak membuktikan kekerasan politik telah atau akan segera berakhir. Juga bukan berarti perlawanan masyarakat terhadapnya telah mencapai kemenangan mutlak.

Sebuah monumen pantas ditegakkan untuk mengabadikan sebuah pelajaran sejarah. Pelajaran itu pahit dan sangat mahal. Bangsa Indonesia sudah membayar harga yang sangat tinggi lewat serangkaian tragedi berkepanjangan. Sebuah monumen layak ditegakkan untuk menjadi peringatan tentang apa yang pernah terjadi dan seharusnya tidak terjadi lagi dalam riwayat bangsa ini.

Sebuah monumen juga pantas didirikan karena bangsa Indonesia tidak tinggal diam, terpaku atau bungkam menghadapi berbagai ancaman, kekerasan dan teror. Sebuah tonggak sejarah layak dicatat untuk menghargai mereka yang telah berjuang habis-habisan melawan kekerasan dengan cinta-kasih, melawan kebiadaban dengan peradaban. Sebuah monumen layak dihadirkan untuk mengingatkan bangsa ini dan bangsa lain tentang perjuangan tanpa kekerasan dari rakyat jelata yang pernah bangkit, belum selesai, dan perlu diteruskan.

Monumen itu bukan untuk dipersembahkan kepada satu atau dua kelompok. Tidak juga dalam kaitan dengan satu atau dua peristiwa lokal. Misalnya kerusuhan, penjarahan, pembakaran, atau perkosaan di Jakarta dan Surakarta 13-15 Mei lalu. Monumen itu layak dipersembahkan pada sebuah sejarah nasional yang lebih luas dan kerakyatan.

Korban nyawa, kehormatan, harta, dan sosial dari peristiwa pertengahan Mei itu memang luar biasa. Tidak keliru kalau ada yang mengganggapnya sebagai puncak dari aneka kekerasan sebelumnya. Tidak aneh bila ada yang meratapi berlarut-larut, dan menggugat pemerintah untuk menyatakan permintaan maaf atas terjadinya peristiwa itu. Atau menuntut pengadilan dan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku yang terbukti bersalah.

Tanpa mengurangi hormat kepada para penggugat itu, kita layak menimbang-nimbang kembali duduk persoalannya dengan kepala dingin. Pertanyaannya bukan cuma sejauhmana pemerintah yang sekarang harus memikul tanggung-jawab. Layak ditanyakan apa bedanya bila pemerintah yang sekarang meminta maaf atau tidak. Bila pelaku kekerasan kemarin dihukum super-berat atau ringan.

Sejauhmana sebuah "permintaan maaf" resmi dari pemerintah sepadan dengan derita korban? Sejauh mana para korban dari tragedi Mei 1998 yang lalu perduli? Sejauhmana permintaan maaf itu, seandainya diberikan, membantu mengobati luka korban atau memecahkan masalah nasioanal? Sejauhmana ia berimbang dengan bobot sejarah yang kita persoalkan? Hukuman seberat macam apa yang sepadan dengan derita Mei lalu dan mampu mengurangi peluang terulangnya peristiwa itu?

Lagi pula, apa tidak keliru kalau kita menuntut permintaan maaf atau hukuman berat semata-mata demi korban pembakaran, penjarahan, dan perkosaan Mei 1998? Dan melepaskannya dari rangkaian peristiwa yang tidak saja berdekatan waktunya, tetapi juga modus, thema, dalang dan konteks tata-politik yang memungkinkannya terjadi?

Sebuah monumen layak dibangun bukan saja bagi korban tragedi penjarahaan, pembakaran, dan perkosaan Mei lalu. Semua itu hanya bagian dari tragedi kekerasan politik lebih besar. Termasuk penembakan terhadap para mahasiswa demonstran di Jakarta dan Yogyakarta yang sudah di-pahlawan-reformasi-kan. Juga penculikan puluhan aktivis pro-demokrasi yang masih belum terkuak tuntas.

Daftar kekerasan itu dapat dibuat sangat panjang. Atau sangat pendek. Batasnya bisa dibuat berbeda-beda. Bisa-bisa saja dimasukkan kasus pembunuhan Marsinah, pembantaian Tanjungpriok, Nipah, Santra Cruz, atau Petrus, hingga pembantaian tahun 1965-66. Kalau daftar itu terlalu panjang, sebuah monumen tidak mampu menandai sebuah momen sejarah dengan fokus makna yang tajam.

Lingkup sejarah sebaiknya dipersempit, dan daftar peristiwa diseleksi lebih pendek. Menurut hemat saya, peristiwa pembredelan tiga media (22 Juni 1994) merupakan awal gelombang kekerasan politik nasional berkelanjutan dan perlawanan rakyat yang juga berkesinambungan hingga runtuhnya kekuasaan presiden Suharto Mei 1998. Penyerbuan kantor pusat PDI (27 Juli 1996) dan pembakaran ratusan tempat ibadah agama minoritas di berbagai kota tercakup disitu.

Di zaman krisis ekonomi begini, mengusulkan pembangunan sebuah monumen bisa kedengaran mubazir dan terlalu mewah. Tentu saja monumen itu tidak harus mewah dan tidak harus dibangun dalam waktu segera. Kalau monumen memakan beaya terlau besar, ada alternatif penggantinya selama masa darurat ekonomi.

Sebelum dana untuk pembangunan monumen tiba kita penghormatan sejarah itu dapat diungkapkan lewat pengibaran bendera setengah tiang secara nasional. Juga keputusan resmi tentang Hari Reformasi, misalnya 14 Mei, sebagai sebagai hari besar nasional. Biar pun tidak makan ongkos besar dan tidak bertampang mewah, penghormatan simbolik seperti itu lebih pantas ketimbang pernyataan maaf disertai banjir airmata pejabat tinggi negara, atau hukuman sadis bagi para pelaku kerusuhan.

Sampai sekarang peringatan penyerbuan PDI 27 Juli masih dipisahkan dari Bredel 22 Juni. Masing-masing terpisah dari kasus penculikan atau perkosaan. Kadang-kadang berbagai gugatan atau peringatan itu malah terkesan saling bersaing.

Tragis jika kita buta memahami apa yang menyatukan semua itu. Itu dapat berakibat gagalnya menghargai bobot sejarah runtuhnya sebuah rezim yang dibangun dengan kekerasan. Dirawat 32 tahun dengan kekerasan terbuka atau terselubung. Dan runtuh dengan penuh kekerasan pula.

Ariel Heryanto - Asal Usul, 26 Juli 1998

0 Comments:

Post a Comment

<< Home