Friday, April 14, 2006

151000 - Sang Maha Yogi

PADEPOKAN itu berdiri di lereng sebuah gunung. Penduduknya tak lebih dari seratus keluarga. Hampir semua lelaki di sana menjadi cantrik padepokan.

Guru mereka seorang Brahmana suci yang berwibawa. Tutur katanya lembut. Suaranya mewakili kebenaran. Tindakannya cermin dan suriteladan mulia. Sang Maha Yogi, sebutan Brahmana suci tadi, pendeknya menjadi kiblat, orientasi nilai, acuan moral, dan simbol keluhuran.

Dalam usia seratus tahun sang Maha Yogi masih segar bugar. Pagi-pagi sekali sudah bangun dan memberi latihan rohani para cantrik. Tetapi begitu matahari terbit, orang suci itu ikut turun ke sawah bersama warga dewasa padepokan.

Syahdan, suatu hari sang Maha Yogi memberi tahu para cantrik, bahwa padepokan mereka akan mendapat cobaan berat. Semua pihak diminta tabah, sabar, dan tawakal, dan tak banyak mengeluh.

"Hadapi cobaan itu nanti dengan tawakal, dan tenang, seperti selama ini kalian menikmati berkah," kata beliau.

"Ampun sang Maha Yogi, dapatkah kiranya cobaan itu dihindarkan? Atau ditunda?" tanya seorang cantrik.

"Kenduri saja tak bisa kau tunda, apa lagi ini urusan langit."

"Tapi betulkah hal itu akan datang, wahai Brahmana suci?"

"Apa kau meragukanku? Juragan manuk (penjual burung) boleh bohong, tetapi sasmita langit tidak," jawab sang Maha Yogi.

Tak lama kemudian terjadilah gempa bumi. Mula-mula pelan. Tapi agaknya ini bukan gempa sembarang gempa. Esok harinya gempa terjadi lagi, lagi dan lagi. Dan sang Maha Yogi menangis melihat gelagat langit itu menjadi kenyataan. Pelan-pelan warga padepokan mengungsi, jauh dari pusat bencana. Pelan-pelan desa itu menjadi hampir kosong.

Bagi sang Maha Yogi, jiwa yang pasrah tak takut bencana apa pun. Ia tak takut mati. Maka, segenap usul, saran, permohonan, maupun ajakan untuk pergi dari tempat itu sama sekali tak ada gunanya. Para cantrik kehabisan akal. Padahal, dari hari ke hari, gempa semakin dahsyat.

"Keadaan tak tertolong lagi, sang Maha Yogi," kata Sodiq pada hari paling akhir.

"Pergilah Sodiq, kalau imanmu pun mulai goyah," jawab sang Maha Yogi. Sodiq terus-menerus berusaha membujuk, tetapi Brahmana saleh ini bergeming. Singkat kata, Sodiq pun menjadi orang terakhir yang pergi menyelamatkan diri. Dan sesudah itu, ledakan mahadahsyat terjadi. Rumah-rumah lenyap. Bukit-bukit terpelanting. Dan padepokan pun rata menjadi dataran hampa.

Sebagai orang suci, diam-diam dalam hati ia menyalahkan Tuhan, kenapa janji Tuhan bisa meleset. Kenapa Tuhan tak menolong padahal ia sudah tabah, ikhlas, dan tawakal?

"Siapa bilang Tuhan tak menolongmu?" terdengar suara gaib. "Bukankah nyata, Tuhan menyuruh orang-orangmu sendiri, dan kamu tak mau mendengar? Bukankah kau menolak Sodiq, dan itu berarti menolak pertolongan Tuhan?"

Sang Maha Yogi pun pingsan demi mendengar suara itu. Dan ketika para cantrik berhasil membuat tangga ke gunung itu, di puncak sana sang Maha Yogi sudah pralaya, menggeletak tak bernyawa.

MUNGKIN Gus Dur bisa disebut golongan Brahmana. Ia Brahmana-raja karena ia kiai tapi menjadi presiden. Di kalangan para Brahmana, mungkin diam-diam ada persamaan sikap, tingkah laku dan cara pandang tentang hidup.

Mereka-karena dekat dengan Tuhan-merasa selalu yakin menghadapi apa saja. Dan pada saat orang-orang biasa sudah bingung, para Brahmana, termasuk Gus Dur, tidak. Karena itu, ia pun enggan mendengar saran, permintaan, dan ajakan orang lain.

Kiai Mus, juga seorang Maha Yogi, dan budayawan terkemuka, pernah bercerita beliau menyampaikan pesan para kiai senior kepada Gus Dur.

"Gus, melihat gelagat kurang enak sekarang, kiai-kiai senior pada gelisah," katanya. "Semua sepakat, kalau bisa Gus Dur jangan memperlebar ruang permusuhan dengan siapa pun."

Nasihat ini keluar secara tulus dari orang-orang tercinta yang mencintai Gus Dur dan membantu tanpa pamrih apa pun. Tetapi, apa jawab sang Brahmana-raja Gus Dur?

"Wah, ya, kasihan santrinya kalau kiai-kiai masih pada suka gelisah seperti itu," katanya.

Saya tahu Gus Dur senang bergurau. Jawaban itu pun ces pleng dari sudut gurauan. Tetapi, ia tahu bukan itu jawaban semestinya.

Ia memang tak takut kehilangan jabatan presiden. Ia pun tak takut dengan lawan-lawan politiknya. Semua terobosan dan manuver politiknya selama ini membuktikan itu.

Maka, nasihat, saran, dan imbauan tulus dari para sahabat, teman-teman yang ikut prihatin, tak pernah didengar. Semua cukup menjadi bahan kelakar. Semua hal ditutup dengan gurau, gurau dan ketawa meriah.

Gus, meskipun wali, sampean lupa satu hal: tak takut kehilangan jabatan tak berarti harus kehilangan. Lagi pula Gus, hidup-juga dalam politik-tak bisa dikalkulasi, di atas landasan kalah-menang, atau takut-berani terus-menerus.

Kalah-menang, atau takut-berani; itu paradigma pemikiran para kesatria-tentara-dan bukan cara pandang kaum Brahmana yang selalu disebut sang Maha Yogi itu.

Sampean selalu menang tetapi rakyat dan seluruh bangsa harus membayar mahal, sangat, sangat mahal kemenangan itu. Sampean menang rakyat terinjak, sampean kalah apa lagi.

Dalam politik, ketulusan seperti ini-juga ketulusan Mas Djohan, Mas Silam, para kiai, dan sahabat-sahabat lain-sangat mahal harganya. Jangan sia-siakan ketulusan mereka, Sodiq dan Brahmana dari Padepokan itu memberi kita cermin. Silakan sang Maha Yogi menimbang sendiri.

Mohamad Sobary - Asal Usul, 15 Oktober 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home