Friday, April 14, 2006

230700 - Orang Jujur Mati Sekali

JIWA tak terkalahkan, pantang menyerah, gagah, dan pemberani, dan agung-artinya bukan lemah dan nista-sangat dikagumi Hemingway. Ia menyukai prajurit perkasa dan tulus, yang pergi berperang cuma demi sebuah pembebasan.

Ia seorang pembebas, pejuang, yang gigih meratakan jalan kebebasan bagi manusia lain. Dalam cerita pendeknya No Body Ever Dies yang dikumpulkan dalam The Complete Short Stories of Ernest Hemingway edisi 1998, dia menggambarkan lewat dialog Enrique dengan Maria, bahwa dalam perjuangan, kematian bukan perkara menakutkan dan tak perlu disesali.

Where you die does not matter, if you die for liberty. Anyway, the thing to do is to live, and not to die.

Dalam konteks ini baginya jelas tak ada orang yang pernah mati. Ini mirip konsep sahid dan ke-sahid-an dalam Islam. Tetapi, gagasan No Body Ever Dies milik Hemingway tak dipetik dari ajaran, ia tak merujuk sesuatu yang sumbernya dari "langit", melainkan digali dari Bumi, dari pergulatan hidup.

No Body Ever Dies lalu bisa disebut rumusan sebuah realitas sosiologis, yang kedengarannya seperti bunyi filsafat. Bukankah mati itu sendiri bisa berarti sebuah pembebasan?

Namun, bila kita bertanya kepada Chairil Anwar, kita sudah tahu jawabnya: hidup kita ini cuma "sekali berarti, sudah itu mati". Artinya ada kematian. Dan karena itu, saya kira, kita perlu memberi hidup ini makna lebih dalam, lebih filosofis, lebih religius, karena hidup cuma sekali, dan pendek, dan bukankah sudah itu mati?

HEMINGWAY maupun Chairil, mungkin tidak salah. Mereka berkata secara metaforis "orang tak pernah mati", atau "mati tetapi cuma sekali", karena mereka bicara mengenai orang-orang terhormat, para pejuang, para pembebas, yang memiliki watak dan harga diri, sebagai pemberani, altruis, dan tulus dalam perjuangan, dan agung.

"Tetapi bagaimana bila kita bicara tipe manusia Sengkuni, atau Durna, dan orang-orang culas, yang hanya tampak gagah di luar, parlente penampilan fisiknya, dan rapi pakaiannya, tetapi kusut jiwanya, dan berantakan struktur kesadaran maupun kehidupan alam bawah sadarnya?"

"Mereka tak tercakup dalam rumusan No Body Ever Dies. Mereka mati berkali-kali, dan tiap kali dengan kepedihan yang dalam, dengan menanggung rasa sakit tak terperikan.

Bulan lalu, misalnya, Kang Kamidin, ketua keamanan kampung, membohongi Lurah Sanip bahwa ia sudah menyetor uang iuran keamanan kepada Bu Lurah. Kebohongan ini membuatnya gelisah. Ia, ibaratnya, telah menginjakkan kaki ke alam kematian. Ketika Lurah Sanip mencek kepada sang istri, kebohongan itu terbongkar. Dan Kang Kamidin makin gelisah, makin takut. Jiwanya seolah ditelanjangi di depan publik. Ia masuk ke alam kematian berikutnya.

Dalam masyarakat yang hidup makin terbuka, orang sadar masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar mengenai suatu perkara. Maka, satu demi satu warga desa yang pagi itu ditemui Kang Kamidin di depan warung Yu Min, dengan antusias bertanya benarkah Kang Kamidin berbohong? Soalnya, kalau tak benar, Lurah Sanip yang pertama-tama menyatakan kebohongan itu pada publik, bisa dianggap memfitnah, dan itu bisa dituntut di pengadilan.

Pertanyaan ini datar, tak memihak, tetapi di telinga Kang Kamidin tajamnya melebihi sembilu menyayat hati. Kang Kamidin pun menginjak kematian ketiga: kematian langkah, kematian akal, kematian budi, yang membuatnya lebih tak berdaya.

Di masyarakat yang hidup makin transparan dan terbuka macam ini, tiba-tiba para penjahat dan orang-orang culas pun mudah berkata tentang hukum, tentang kebenaran, seolah bahkan mereka lebih baik, lebih jujur dari orang lain. Maka, ada saja teman yang kemudian berkata, "Din, jangan takut. Tuntut saja di pengadilan. Bukankah kau tak bersalah? Aku bantu kalau kau berani menuntut."

Pertanyaan ini membuat jiwa Kang Kamidin makin terkoyak. Ia merasa tengah memasuki alam kematian lebih sejati, lebih gelap dan menakutkan. Dukungan, atau jangan-jangan maksudnya malah provokasi.

BANYAK jenis Kamidin lain di masyarakat kita sekarang. Hidup orang jenis ini makin ruwet. Problem sosial-politik dan hukum mereka semakin gawat, dari hari ke hari makin jauh dari penyelesaian karena mereka dibela, didampingi, dibujuk-bujuk, bahkan juga diprovokasi.

Kepentingan mereka mungkin uang, kedudukan, gengsi sosial atau politik, atau bahkan ingin dianggap punya komitmen moril membela kebenaran. Dan kita tahu, dampaknya sangat luas, mendalam, dan serius bagi kehidupan masyarakat.

Penjahat kaliber kakap pun di sini, sekarang, bisa dengan gagah berkata mengenai hak asasi. Dan tiap kali membela kepentingan pribadinya, mereka menuntut hendaknya segala sesuatu diikuti pembuktian hukum yang jelas. Dan ini mereka katakan memang karena tahu pasti kejahatan mereka tak bakal terjangkau hukum.

Ini ironi hukum, ironi keterbukaan, dan semangat demokrasi yang getir. Kita harus tahan dalam derita seperti ini, sebab di bidang politik pun orang -para tokoh yang kelihatannya agak terhormat-dengan enak membela penjahat, menyambanginya di penjara, menghibur, membesarkan hati, dan memberi harapan, seolah mereka nabi-nabi yang baru turun dari mi'raj yang agung, dan bersejarah.

Tindakan mereka kerap mengacaukan kesadaran masyarakat mengenai apa yang benar dan salah dalam politik dan hukum. Bila kehidupan masyarakat makin kacau, maka tanyakan kepada para tokoh itu seberapa banyak mereka turut andil terhadap tatanan yang makin kacau itu. Mereka tak menyelamatkan jiwa orang per orang seperti Kang Kamidin atau masyarakat luas yang bersalah, melainkan bahkan meracuninya dan memberi peluang lebih dalam bagi lahirnya kesalahan demi kesalahan berikutnya. Remuknya kehidupan masyarakat sangat dipicu ambisi politik, kepentingan ekonomi dan naluri membela diri dari para tokoh yang pernah berperan penting dan hendak terus menjadi penting.

Tuhan masih ingin menitipkan para tokoh itu pada kita buat menguji seberapa besar jiwa dan seberapa dalam komitmen kita membangun kembali negeri kita dari reruntuhan ekonomi, politik, dan hukum. Selebihnya, ini yang terpenting, kita wajib membangun kembali negeri ini dari reruntuhan budi pekerti para tokoh kita yang begitu ambisius dan ugal-ugalan seenaknya.

Ini pun sebuah ironi sejarah, karena justru rakyat yang selalu wajib memahami, mengemong dan penuh pengertian terhadap para pemimpin. Bila para tokoh jahat mati berkali-kali, dan tiap kali disertai derita dan kepedihan, dan ketakutan, rakyat tidak. Orang jujur cuma mati sekali.

Mohamad Sobary - Asal Usul, 23 Juli 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home