Friday, April 14, 2006

130800 - Tuna Susila

TAHUN 1972, serombongan pelajar Sekolah Pekerja Sosial Atas (SPSA) Jakarta, dipimpin supervisor lapangan Usman Labagou BA, dan Sri Ami Wardoyo BA, menempuh proses "orientasi studi" di sebuah lokasi wanita tuna susila, di Gang Sadar, Grogol, Jakarta Barat.

Para pelajar itu - boleh dikatakan bocah-bocah masih "ingusan" tampak ragu, malu, takut, dan grogi, ketika di depan para supervisor harus melakukan wawancara terhadap orang-orang lebih dewasa, lebih berpengalaman, dan lebih matang.

Mereka memang sudah dilatih teknik wawancara yang disebut therapeutic interview. Dan ke arah mana wawancara ditujukan - setidaknya secara teoritis - mereka sudah paham.

Meskipun begitu, grogi tetap grogi. Dan, rata-rata - ketika dengan tertatih wawancara dimulai - suara mereka bergetar. Ada bahkan yang nyaris tak terdengar.

Maka, setelah "siksaan" wawancara pertama itu selesai, semua merasa seolah beban seberat gunung dilepaskan. Akhirnya semua diliputi perasaan lega, plong, bebas. Hidup lalu terasa begitu ringan.

Selebihnya, mereka - setidaknya beberapa orang - tahu, para wanita itu terpuruk ke jurang gelap, dan menanggung kutukan moril sebagai wanita tuna susila, semata karena terpaksa. Mereka miskin, datang dari keluarga miskin, di suatu desa yang juga miskin. Mereka melacur - maaf atas kata itu - karena miskin, dan jalan ke luar tak disediakan masyarakat. Juga tidak oleh negara.

Namun kelegaaan itu tak berlangsung lama. Sesudahnya - minimal pada seorang anak - datanglah kerisauan baru, pemihakan dan simpati baru pada si penderita. Kemudian lahirlah rasa peduli yang dalam terhadap makna kemanusiaan.

Orang itu sudah sejak lama memanggul beban berat kemiskinan. Itu pun masih harus menanggung "stigma" sebagai pelacur, atau sampai masyarakat. Saya tahu ini semua dari kesaksian langsung, dan tulus, karena saya salah seorang murid itu.

Ya, perempuan itu disebut pelacur dengan sikap jijik. Sedang para lelaki yang melacuri mereka, yang datang mengumbar nafsu, tak dikenai stigma apa pun. Sebaliknya mereka malah ada yang tetap disebut tokoh masyarakat, pejabat, rohaniwan, intelektuil. Para lelaki itu tak kehilangan apa pun. Juga tak dikutuk masyarakat. Mereka tetap mulia.

Betapa tidak adilnya. Ya Tuhan, ya nabi-nabi, dan semua orang suci, dan siapa saja yang peduli pada nasib manusia, di manakah sebenarnya keadilan itu kini bersemayam?

SAYA tidak tahu mengapa perempuan-perempuan yang berjuang mempertahankan hidup - sekadar bertahan hidup - tiba-tiba disebut pelacur, wanita tuna susila, sampah masyarakat. Mereka pun - seperti tuan-tuan yang kelihatannya mulia itu - tak ingin menjadi pelacur.

Kepelacuran mereka bukan pertanda bahwa moril mereka bobrok, melainkan lambang bobroknya tatanan ekonomi kita. Mereka melacur karena para penguasa negara tak bisa berbuat adil. Mereka korup terus menerus dan hak-hak rakyat, juga hak para perempuan itu, mereka rampok. Itu biang persoalannya.

Para rohaniawan kita sendiri - sayangnya - beraninya cuma mengutuk secara normatif perempuan-perempuan tak berdaya itu. Mereka tak berani mengutuk pejabat, dan penguasa negara yang korup. Dengan begini jelas para penjaga suara moral bangsa, dan pembimbing rohani umat manusia itu malah ikut-ikut berbuat salah.

Saya tidak rela melihat ini semua berlanjut terus di tengah kehidupan kita. Maka, mari kita bikin daftar kesaksian kita secara tulus, dan jujur, dan tanpa pamrih, selain demi apa yang terasa adil dan benar, dan manusiawi.

Mari kita lihat kaum intelektual kita. Sebagian mereka sibuk menyusuri kekuatan, gigih membangun cara-cara mendekati, atau meraih kekuasaan secara langsung. Demi kedekatan dan demi meraih kekuasaan itu, segala cara bisa mereka tempuh, semahal apa pun harganya bisa mereka bayar.

Para perempuan itu saya kira cuma melacurkan badan mereka. Sedangkan kaum intelektual kita, bukankah mereka malah melacurkan jiwa mereka? Saya tidak tahu siapa sebenarnya yang pelacur di antara kita.

Mari kita lihat pula kaum politisi kita yang diharapkan mampu menata dan mengatur jalan bagi kesejahteraan seluruh bangsa. Mereka mewakili golongan terhormat dalam masyarakat. Tetapi, apa yang mereka kerjakan sekarang?

Di birokrasi pemerintahan jiwa mereka pun mesum. Dana negara, milik rakyat, mereka gelapkan. Dan sebagian malah tiap saat berbuat demi partai, dan bukan demi pemerintah, atau negara.

Politisi di DPR/MPR, lebih dahsyat lagi kisahnya. Pertama, hampir semua lebih berorientasi pada partai, dan itu demi kedudukan, dan bukan demi kepentingan bangsa. Kedua, ada orang-orang yang intinya menjadi pendukung status quo, tetapi lagak politik mereka sok reformis. Ayam saya suatu hari terkekeh-kekeh mendengar suara sok reformis itu di radio.

Golongan ini menghambat pemerintah meluruskan kebobrokan masa lalu karena mereka pun bagian masa lalu itu. Sekarang mereka mau mengecoh kita lagi?

Ketiga, sebagian kaum terpelajar di sana ternyata hanya terpelajar secara formal. Sekolah mereka tinggi, tetapi ijazah tak ada korelasinya dengan visi, kepedulian, pemihakan dan keharusan berpikir obyektif. Tiap saat menuding orang lain, tetapi lupa dirinya berlumuran noda-noda.

Di sana pun banyak orang ahli agama, tetapi makna salah dan dosa, pahala dan jasa, kepatutan dan ketercelaan, budi pekerti mulia atau pokrol bambu, tak pernah dibedakan. Yang penting ambisi, dan watak nggege mangsa, artinya memaksa suatu hal yang belum masanya untuk jadi ini dan itu sekarang ini juga.

Keempat, di DPRD/DPR pusat, wakil kita fasih berkhotbah moral, tetapi sesudahnya benarkah mereka sesuci itu?

Para politisi sekarang ini merasa sangat berkuasa. Maka, tata susila tak lagi penting bagi mereka. Mungkin karena mereka memang tuna susila.

Mohamad Sobary - Asal Usul, 13 Agustus 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home