Friday, April 14, 2006

030900 - Eyang

Seperti melihat, tanpa rupa
Seperti mendengar, tanpa kata
(Setiawan)

DI Desa Cawas, Klaten bagian selatan, Jawa Tengah, orang tua ini disambut gegap gempita oleh para warga desa. Seorang demi seorang yang siap menyambut kedatangannya, memberinya salam takzim dan mencium tangannya sambil membungkukkan punggung mereka dalam-dalam, seperti para santri menyambut kiai yang datang.

Sikap hormat, membungkuk dan berbicara dengan tata krama yang diusahakan mendekati titik sempurna dan hampir tanpa cacat cela sedikit pun, tampak pada tiap pertemuan. Membungkuk seolah sudah menjadi kewajiban moral mereka terhadap orang tua ini.

Seperti dalam komunitas kiai-santri, di sana-sini orang pun menyediakan hidangan, dan orang merasa memperoleh kehormatan bila hidangannya dicicipi.

"Sugeng, Eyang," kata warga desa menyampaikan ucapan selamat datang. Sambutan hangat dengan ucapan seperti itu menandai dalamnya hubungan batin di antara mereka.
"Ya, selamat," jawab si eyang sambil tersenyum gembira menyaksikan wajah-wajah cerah di kiri-kanannya. Suasana tak resmi tampak menonjol, dan pertemuan itu menjadi tanda tersambungnya hati dengan hati di antara mereka. Pertemuan seolah sudah memenuhi semua kebutuhan mereka.
"Monggo, Eyang," tuan rumah mempersilakan orang tua itu makan sambil menyodorkan piring dengan hormat.

Piring itu ia terima, tetapi kemudian ia sodorkan kepada saya. Tentu saja tuan rumah menggantinya, dan mulai pelan-pelan kami makan, sambil berdialog secara bebas.
"Kali ini saya membawa seorang tamu, seorang teman yang sejalan dengan kita," kata si eyang, kemudian memperkenalkan saya kepada hadirin. Wajah-wajah ramah, tetapi ingin tahu lebih jauh, memandang ke arah saya. Saya mengangguk hormat.

Acara makan berlangsung di tengah suasana dialog yang enak. Setelah piring-piring ditarik kembali ke dapur, teh poci dengan gulabatu disodorkan. Mereka menyebutnya nasgithel, kependekan dari panas, legi, kenthel (manis dan kental), sebuah adonan cita rasa yang sempurna.

Minum teh sesudah atau sebelum makan di kalangan orang Jawa pedesaan disebut wedangan atau ngombe wedang. Dalam ilmu othak-athik gathuk, ilmu mencocok-cocokkan makna kata, wedang itu artinya ngawe kadang, melambaikan tangan tanda memanggil saudara atau teman untuk diajak bersama-sama berkumpul dan berdialog.

Minum teh mungkin simbol kebersamaan seperti halnya mengisap pipa perdamaian di kalangan suku-suku Indian Amerika Utara.
"Para sedherek (saudara-saudara)," kata salah seorang yang ditugasi memberikan sambutan, "Kita bersyukur Eyang hadir hari ini dan beliau sehat wal afiat, semoga tetap bisa selalu mendampingi kita."

Tokoh yang dipanggil dengan sebutan eyang itu adalah Pak Dayino, seorang tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang saleh. Soalnya ia tetap setia dan konsisten terhadap cita-cita pribadi maupun ideologi partainya. Barangkali ia tidak dikenal secara luas karena sejarah tidak mencatat apa yang pernah ia sumbangkan kepada masyarakat dan bangsanya.

Mungkin karena itu pula maka ia sengaja memposisikan dirinya seolah selalu berada di bawah tanah. Ia selalu terlindung, atau mungkin sengaja berlindung, di balik tirai sejarah meskipun ia aktif dan gigih dalam apa yang ia selalu sebut "perjuangan kerakyatan" itu.

Maka, bila orang menyebutnya seperti antara ada dan tidak ada, mungkin orang itu tak terlalu salah. Puisi Setiawan yang dimulai dengan "seperti melihat tanpa rupa, seperti mendengar tanpa suara" mempertegas kesan itu. Apalagi sekarang, setelah ia tidak ada di antara kita.

DULU dia tentara. Badannya tinggi, tegap, dan masih memancarkan kegagahan seorang perwira. Kulitnya memang sudah keriput dan hampir semua rambutnya memutih, tetapi ia hidup dengan gairah dan penuh optimisme seperti pemuda. Sekurangnya secara teoritis ia tahu peluang mana yang bisa diterobos buat memperbaiki tata kehidupan masyarakat kita.

Dalam obrolan-obrolannya sering terlontar ucapan "alat perjuangan". Sering pula muncul idiom "perjuangan kerakyatan" yang mungkin bisa membawa pasangan dialognya ke alam kehidupan politik dan perjuangannya pada zaman ketika ia mengikuti gerakan Partai Sosialis Indonesia.

Sampai akhir hayatnya ia tetap konsisten pada ide sosialis kerakyatan tulen. Ia kecewa kepada para tokoh sosialis yang elitis, hidup mewah dan gemerlap, sehingga lupa pada perjuangan kerakyatan tadi.

Sahabat budayawan Umar Kayam dan almarhum Romo Mangun, anak buah Djohan Sjahroza, serta pengagum Sjahrir ini pada 23 Agustus lalu menghadap Tuhan Yang Maha Adil. Saya tidak tahu beliau sakit, dan tidak seorang pun memberitahu keadaannya, sampai saat terakhirnya.

Jadi, saya bertemu beliau yang terakhir bersama Pak Haryo Kecik di Jakarta, di rumah Elly, salah seorang putrinya, adik Ita dari Kalyana Mitra. Pak Dayino: sebuah nama sederhana, pribadi sederhana, yang disebut eyang itu, bagi saya lebih dari sekadar tokoh, biarpun ia dilupakan.

Sejarah memang sering tidak adil, Eyang. Tetapi, bukankah kau tak menuntut dan tidak kecewa dilupakan? Tuhan Yang Maha Adil tak mungkin tak mencatat namamu. Selama jalan, Eyang.

Mohamad Sobary - Asal Usul, 03 September 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home