Friday, April 14, 2006

070101 - Supermen Imajiner

PERTANYAAN pertama: "Mengapa Supermen memakai huruf S di kostumnya?" Jawabnya adalah: "Kalau huruf M atau L, kostum tadi jadi terlalu besar buat dia!"

Pertanyaan kedua: "Apakah ada persamaan antara Supermen dan tokoh-tokoh politik kita?" Jawabnya : "Ada !" Supermen adalah tokoh imajiner, dan tokoh-tokoh kita, biarpun mereka itu nyata, tapi terpilih menjadi tokoh karena adanya pemilu yang imajiner.

Pemilu imajiner!? Iya betul, pemilu yang lalu itu masih sama dengan pemilu Orba, kendati harus diakui sudah agak jujur, tapi jauh dari adil. Dulu, orang mencoblos Golkar, yang keluar jadi wakil, Eddy Sud. Sekarang, masih sama saja, rakyat disuruh mencoblos tanda gambar, yang jadi wakil, tidak mewakili rakyat tapi mewakili partai. Sekalipun mereka benar mewakili partai, tapi partai pun sesungguhnya belum berarti banyak dalam pandangan rakyat pemilihnya. Kebijakan depolitisasi dan floating mass Orba yang belum habis terkikis, membuat rakyat kita cenderung menganggap pemilu itu bukan wujud pelaksanaan demokrasi, tapi lebih memperlakukan pemilu sebagai ritus lima tahunan, seperti hajatan atau pesta, dan partai sebagai ruang pesta, ketua partai adalah direktur hajatan tadi.

BENNEDICT Anderson, Indonesianis Amerika, bahkan berani menyebutkan nation state seperti Indonesia ini sebagai semacam imagined community, komunitas yang dibayangkan, alias komunitas imajiner. Pernyataan ini bukan didasari oleh semangat anasionalis, tapi lebih didasari oleh otentisitas budaya. Jadi para Bapak-Ibu yang merasa bermerah-putih di dada, tidak perlu berkomentar dulu.

Begini, "Bangsa Indonesia" adalah sebuah konsep dan komitmen politik yang lahir belum begitu lama, jika dibandingkan dengan usia keberadaan masyarakat-masyarakat lokal yang tersebar di geografis "Bangsa Indonesia" tadi. Jauh-jauh sebelum nation state bernama Indonesia itu lahir, beragam masyarakat lokal dengan kebudayaan yang otentik telah lama hidup di kawasan Nusantara. Masyarakat lokal ini berkembang secara sosial-budaya begitu saja tanpa ada campur tangan politik yang memusat, merdeka, dan otonom. Selama ribuan tahun sebelum "Nation State Indonesia" lahir, masyarakat lokal ini dengan ikatan-ikatan tertentu, memilih dan mengolah makna-makna dunianya (kosmologi) secara mandiri. Mereka merdeka dalam menafsirkan norma, moral dan nilai-nilai apa yang baik dan buruk, salah atau benar, indah atau jelek, bahagia atau bencana. Mereka memaknai dunianya bukan atas dasar teori rekayasa, dari pusat, tapi berdasarkan pengalaman empirik milik mereka sendiri. Dengan cara inilah masyarakat lokal hidup bersosialisasi dan tumbuh berkembang. Inilah yang kemudian disebut kelompok masyarakat dengan komitmen ikatan rasio-emosi, sehingga melahirkan komunitas otentik.

Masyarakat Aceh adalah komunitas otentik. Masyarakat Ambon adalah komunitas otentik. Masyarakat Papua adalah komunitas otentik. Masyarakat Riau adalah komunitas otentik. Juga masyarakat Sunda, Banten, Jawa, Batak, Menado dan seterusnya, adalah komunitas otentik. Tetapi pada satu saat tertentu, komunitas-komunitas otentik ini membuat satu komitmen politik untuk melebur menjadi satu komunitas besar yang bernama komunitas Indonesia. Yang awalnya didasari dengan toleransi-toleransi antar komunitas tadi.
Lunturnya toleransi-toleransi inilah yang menyebabkan komunitas besar Indonesia bergeser dari tujuannya dari komunitas otentik (yang besar) menjadi komunitas yang imajiner. Contohnya, bagaimana mungkin pelajaran bahasa Indonesia selalu diawali dengan "Ini Budi, itu Tuti", sedangkan di Ambon dan Papua tidak ada yang bernama Budi atau Tuti? Ini kurang toleran! Dan masih banyak bentuk intoleransi yang lebih substansial, baik lewat sistem pendidikan, sistem politik, bahkan sistem nilai bermasyarakat, sehingga ikatan pun menjadi kendur.

Meminjam istilah Ariel Heryanto, bahwa sosio-budaya lokal adalah semacam daya hidup yang dinamis, selalu bergerak, terbuka dan akan terganggu bila diikat oleh ruang-ruang politik yang cenderung bersifat rekayasa. Sosio-budaya lokal tidak bisa dipaksa tunduk kendati oleh bedil dan meriam, untuk bisa dikooptasi oleh kekuasaan politik tertentu. Untuk lebih afdol, saya sitir pernyataan Austin Renney (1987), bahwa negara atau lembaga politik adalah semacam "Mirror Effect" bagi masyarakat dan kebudayaannya. Bagaimana bentuk masyarakat dan kondisi kebudayaannya, semestinya sepertinya seperti itu juga bentuk negaranya. Negara menjadi cerminan kebudayaan masyarakat dan sebaliknya.

Nah, jika dua alinea di atas kita rangkum, maka kita akan mendapatkan aksioma bahwa saat ini, pemerintah dan negara Indonesia mulai kehilangan legitimasinya dihadapan sosio-budaya lokal yang jumlahnya sangat beragam itu. Persoalan ini, menguatkan dugaan bahwa benar-benar komunitas Indonesia ini akan segera (atau sudah) menjadi komunitas imajiner yang sekadar bendera Merah-putih belaka.

SUDAH barang tentu ini bukan sekadar tanggung jawab pemerintah atau negara, tapi ini harus disadari menjadi tanggung jawab kita semua, begitu mungkin kata orang arif bijaksana. Tapi yang jadi persoalan kearifan dan kebijaksanaan sudah jatuh menjadi sekadar retorik-retorik usang di negara ini.

Bayangkan ketika seorang warga dari komunitas imajiner Indonesia ini dihadapkan pada retorika Kennedy, "Jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyalah apa yang bisa kamu berikan pada negara". Jawabnya adalah: "Boro-boro bisa memberi ke negara, memberi pada diri sendiri saja belum bisa, jadi apa yang bisa saya beri?" Dan, ketika seorang buruh yang selalu berurusan dengan ketidakadilan, dan selalu diinjak-injak hak asasinya, dihadapkan pada retorika dari direkturnya: "Jangan demo, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh". Maka sang buruh menjawab: "Bosan pak, bersatu kita memang teguh, tapi bercerai... memang musimnya !" Dan, ketika zaman seperti sekarang, di mana semua hal bisa direkayasa dan dijadikan komoditas dagang, dari agama sampai kolor bekas, dari demo sampai kekerasan, dari politik sampai harga diri, bahkan dari bencana sampai pesta, semua jadi barang dagangan masyarakat luas maupun media. Maka seorang guru mengajar di depan kelas: "Bangsa kita adalah bangsa yang adiluhung, adikarsa, adikarya... (sambil tertawa sendiri dan bergumam) adi... bing slamet, adi sasono, dan adi-adi lainnya." Kendati kalimat terakhir ini tidak sempat terdengar oleh murid-muridnya, tapi secepat kilat sang guru keluar kelas, masuk WC, tertawa dia keras terbahak-bahak!!! (sebetulnya hati kecilnya menangis tersedu-sedu!!!)

KOMUNITAS imajiner semacam ini menjadi lebih kisruh, ketika sebagian dari generasi saya mencoba mencari kebudayaan Indonesia itu apa? Maka lahirlah polemik berkepanjangan, tentu karena yang dibicarakan kebudayaan imajiner juga. Dan lebih rusak lagi ketika petinggi pandir mencoba membuat ide tulalit, yaitu merekayasa demi persatuan dan kesatuan, haruslah ada musik Indonesia. Bagaimana dicarinya ini, inikan juga imajiner?

Celakanya, petinggi-petinggi pandir kering budaya macam ini, notabene adalah teman-teman saya dari generasi saya. Generasi saya ini sudah harus dicurigai kurang baik budi pekertinya, banyak koruptor, manipulator, provokator, dan "tor-tor" lain yang negatif. Generasi saya (termasuk saya) inilah yang menyebabkan komunitas Indonesia menjadi komunitas imajiner, dikarenakan kepentingan-kepentingan tertentu, sekaligus karena ilmu pandir tadi. Generasi ini sudah busuk, bahkan harus segera dibusukan guna jadi kompos bagi mekarnya tunas-tunas baru, kuntum-kuntum baru, yang segar, sehat, jernih, dan bersih. Generasi baru inilah, diharapkan belum ketularan wabah epidemi dari generasi Orla, Orba, pasca Orba I, dan pasca Orba II.

Kita punya sederet pemikir muda, politikus muda, aktivis muda, budayawan muda, seniman muda, pemusik muda, yang semua mereka ini sangat potensial dan sudah muncul kepermukaan maupun akan muncul atau akan segera muncul. Seperti Sujiwo Tejo, Garin Nugroho, Budiman Sujatmiko, Malarangeng bersaudara, Eep Saefulloh, Yeni Rosadamayanti, Ditasari, Fajrul Rahman, Andar Manik, Dwi Joko, Dan Satriana, Tisna Sanjaya, Erick Yusuf, Sulasmoro, Rahman Sabur, Soni Farid, Diro Aritonang, Rahmat Jabaril, Komunitas Slank, Netral, Serieus, Muararajeun, 347, Harapan Jaya, Arian Puppen, bahkan komunitas pemusik muda Under Ground yang lebih peka sosial dibandingkan senior-seniornya. Dan, masih sederet lagi pemikir-pemikir muda intra partai maupun ekstra partai, yang cukup cemerlang pemikirannya.

Mereka punya naluri yang lebih kekinian, dan orisinal sekaligus otentik. Mereka lebih klop untuk memakai kostum Supermen. Karena selain kekinian, juga fisik mereka masih "S", cocok dengan logo di dada Supermen. Semoga mereka tidak seperti generasi saya (termasuk saya) yang sudah berukuran "M" atau "L", gembrot karena polusi, dan tambun karena kotoran. Makanya, sebelum negeri ini lebih bobrok, wahai orang muda, segera rebutlah panggung!!! Supaya komunitas ini tidak semakin imajiner!! (Atau Anda segera buat panggung sendiri).

Pertanyaan penutup: "Kenapa Gus Dur, Akbar, Mega, Amien, tidak pakai baju Supermen ?" Jawabnya: "Pak Gus Dur, Bung Akbar, Ibu Mega, Mas Amien, adalah tokoh-tokoh penting saat ini. Mereka memang orang-orang super, tapi tidak bisa mengenakan baju Supermen. Kenapa? Karena logo 'S' di dada Supermen harus diganti menjadi 'XL'. Hal ini berlaku juga buat mantan penulis kolom ini, Wimar Witoelar, dan... saya."

Semoga jawaban ini dapat memuaskan semua fihak yang sedang bertikai.

Harry Roesli - Asal Usul, 7 Januari 2001

140101 - Amal

DI sepanjang jalan kecil berbatu-batu yang tiap kali dilaluinya-karena itu jalan satu-satunya menuju ke rumah sang guru-perempuan berkerudung itu berjalan setengah berlari. Napasnya terengah-engah, dan di wajahnya terpancar rasa takut, dan cemas, yang hendak dilaporkannya pada sang guru. Sepanjang hidupnya, belum pernah ia mengalami rasa takut, bercampur keheranan seperti itu.

Seorang santri muda, yang sudah lama dikenalnya, mempersilakannya menunggu di ruang khusus, ruang zikir bersama yang juga berfungsi sebagai ruang tamu, untuk tamu-tamu khusus.

"Sebentar lagi kiai datang," kata santri itu dan berlalu dari situ setelah mempersilakan tamunya minum teh yang dihidangkannya. Dan benar, sang kiai yang masih terhitung muda itu muncul dari balik pintu. Sang kiai, alhamdulillah, sudah tahu apa yang hendak disampaikan tamunya, yang juga murid asuhan khususnya.

"Bukankah sudah pernah kita bahas, bahwa hal-hal seperti itu wajib kita syukuri?" kata sang kiai, ketika si murid baru hendak memulai membuka pembicaraan.

"Babi, singa-singa, monyet, ular, itu binatang-binatang biasa," kata sang kiai lagi.

Di pasar, sekitar sejam lalu, sang murid terkejut melihat seseorang yang tiba-tiba wajahnya berubah menjadi wajah babi.

"Astaghfirullah, apa yang kulihat ini?" pikirnya sambil selangkah mundur ketakutan. Tetapi, rasa takut dan keheranannya belum lenyap, ia melihat wajah orang di sebelahnya lagi ganti berubah dengan wajah singa yang tampak garang dan haus darah.

"Ya Allah, teror apakah ini?" pikir perempuan itu, makin takut dan makin takut. Dan ketakutan itu masih mencekam ketika tiba-tiba, seorang laki-laki gagah yang berdiri di sebelahnya, berubah menjadi seekor monyet raksasa.

Dan kemudian, di sebelah sana, sana lagi dan sana lagi, tampak orang-orang yang kepalanya berubah menjadi kepala ular dengan lidah merah menjulur ke luar.

"Masa Allah, ampunilah hamba, duh Gusti," pikir perempuan yang makin ketakutan itu. Ia tidak tahu pasti apakah ia sudah berubah menjadi orang gila, yang pandangan matanya berubah dan menipunya, ataukah alam sekitarnya yang berubah?

"Itulah kiai, yang membuat saya cepat-cepat meninggalkan pasar dan sowan Kiai," katanya lagi.

Sang kiai menjelaskan bahwa di dalam diri manusia tersimpan watak hewan-hewan, watak setan dan segenap angkara murka, tapi juga jiwa malaikat yang saleh, yang tunduk dan patuh, dan tiap detik memuji Allah yang Maha Suci. Adapun yang sampean lihat tadi, kebetulan manusia-manusia serakah, kejam, dan culas dan berbahaya bagi manusia lain. Mungkin mereka pedagang yang culas, mungkin pejabat yang rakus, yang tiap saat nafsunya membayangkan jabatan lebih tinggi, mungkin juga mereka politisi yang dari hari ke hari didera nafsu menerkam lawan politiknya seperti singa-singa di padang Sahara melahap mangsanya.

RIMBA raya perpolitikan kita terus bergolak dan kaum politisi menari-nari seperti orang kesurupan demit, dan di sana-sini hasut-menghasut terjadi, dan orang saling menghardik atas nama agama, kebenaran dan demokrasi dan Tuhan.

Kehidupan birokrasi seperti kawah diaduk-aduk Betara Kala, dan para pejabat pamer kesucian, pamer kebenaran, pamer keahlian sebagai sarana menutupi ambisi-ambisi dan pamrih pribadi yang berlebihan akan kekuasaan dan harta.

Lidah para seniman sudah kelu. Daya nalar kita lumpuh. Para pengamat kehilangan kejernihan analisis, dan artikulasi mereka buruk. Para aktivis, para rohaniwan, pemimpin umat, tokoh-tokoh gerakan, satu persatu kehilangan rasa percaya diri, dan kegetiran di sekitar membuat mereka ciut, bahwa hidup memang getir, dan bahwa yang getir itu cermin kenyataan abadi yang mustahil diubah kecuali dengan kekuatan raksasa, bedil raksasa, duit raksasa.

Dewa kejernihan, dewa keadilan, dewa kehidupan, di manakah mereka sekarang bersembunyi? Muakkah mereka pada kita?

Mungkin ya. Tapi mereka tak meninggalkan kita. Mereka cuma minta, agar urusan nalar diselesaikan dengan nalar. Urusan politik diselesaikan dengan cara politik. Dan jangan mencampur adukkan apa yang pribadi dengan yang publik, dan apa yang hak dan yang batil.

Ringkasnya, kita diminta tenang, jernih dan tak boleh heran berlebihan, marah berlebihan. Sejumlah menteri hendak mundur, saya kira bukan berita istimewa seperti tak istimewanya kenyataan bahwa tukang becak pun sekarang bebas mengkritik gubernur atau presiden.

Mereka yang mau mundur pun tak usah kedengaran "ngak ngok" terlalu keras seperti sepur klutuk sedang langsir di stasiun. Suaranya bising seperti hendak membelah langit dengan asap hitam tebal menyesakkan dada, tetapi cuma bising di stasiun. Mundur dari jabatan, karena prinsip akademik, karena alasan politik, karena pertimbangan pribadi, karena demi bangsa, atau demi yang lain, apa istimewanya bagi orang yang mendefinisikan dirinya pejuang yang berjuang bagi negerinya secara ikhlas dan tulus sesuai takaran keagamaan?

Bagi pejuang yang tulus berbuat untuk kemanusiaan, untuk bangsa, untuk agama, meletakkan jabatan boleh jadi sama ibaratnya dengan bersedekah kepada pengemis, atau memasukkan uang ke kotak amal di masjid: semua dikerjakan diam-diam, karena memang ikhlas, dan karena yakin Allah telah mencatat amal kita.

Dan amal, barang yang temporal dalam dirinya tapi eternal, kekal di dalam diri Allah, tak memerlukan publikasi agar kejernihan tetap terjaga.

Mohamad Sobary - Asal Usul, 14 Januari 2001

260798 - Monumen

Sudah saatnya bangsa Indonesia menegakkan sebuah monumen untuk sebuah momen sejarah yang penting. Yakni sejarah panjang kekerasan politik, dan perlawanan bangsa ini terhadapnya. Berdirinya sebuah monumen tidak membuktikan kekerasan politik telah atau akan segera berakhir. Juga bukan berarti perlawanan masyarakat terhadapnya telah mencapai kemenangan mutlak.

Sebuah monumen pantas ditegakkan untuk mengabadikan sebuah pelajaran sejarah. Pelajaran itu pahit dan sangat mahal. Bangsa Indonesia sudah membayar harga yang sangat tinggi lewat serangkaian tragedi berkepanjangan. Sebuah monumen layak ditegakkan untuk menjadi peringatan tentang apa yang pernah terjadi dan seharusnya tidak terjadi lagi dalam riwayat bangsa ini.

Sebuah monumen juga pantas didirikan karena bangsa Indonesia tidak tinggal diam, terpaku atau bungkam menghadapi berbagai ancaman, kekerasan dan teror. Sebuah tonggak sejarah layak dicatat untuk menghargai mereka yang telah berjuang habis-habisan melawan kekerasan dengan cinta-kasih, melawan kebiadaban dengan peradaban. Sebuah monumen layak dihadirkan untuk mengingatkan bangsa ini dan bangsa lain tentang perjuangan tanpa kekerasan dari rakyat jelata yang pernah bangkit, belum selesai, dan perlu diteruskan.

Monumen itu bukan untuk dipersembahkan kepada satu atau dua kelompok. Tidak juga dalam kaitan dengan satu atau dua peristiwa lokal. Misalnya kerusuhan, penjarahan, pembakaran, atau perkosaan di Jakarta dan Surakarta 13-15 Mei lalu. Monumen itu layak dipersembahkan pada sebuah sejarah nasional yang lebih luas dan kerakyatan.

Korban nyawa, kehormatan, harta, dan sosial dari peristiwa pertengahan Mei itu memang luar biasa. Tidak keliru kalau ada yang mengganggapnya sebagai puncak dari aneka kekerasan sebelumnya. Tidak aneh bila ada yang meratapi berlarut-larut, dan menggugat pemerintah untuk menyatakan permintaan maaf atas terjadinya peristiwa itu. Atau menuntut pengadilan dan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku yang terbukti bersalah.

Tanpa mengurangi hormat kepada para penggugat itu, kita layak menimbang-nimbang kembali duduk persoalannya dengan kepala dingin. Pertanyaannya bukan cuma sejauhmana pemerintah yang sekarang harus memikul tanggung-jawab. Layak ditanyakan apa bedanya bila pemerintah yang sekarang meminta maaf atau tidak. Bila pelaku kekerasan kemarin dihukum super-berat atau ringan.

Sejauhmana sebuah "permintaan maaf" resmi dari pemerintah sepadan dengan derita korban? Sejauh mana para korban dari tragedi Mei 1998 yang lalu perduli? Sejauhmana permintaan maaf itu, seandainya diberikan, membantu mengobati luka korban atau memecahkan masalah nasioanal? Sejauhmana ia berimbang dengan bobot sejarah yang kita persoalkan? Hukuman seberat macam apa yang sepadan dengan derita Mei lalu dan mampu mengurangi peluang terulangnya peristiwa itu?

Lagi pula, apa tidak keliru kalau kita menuntut permintaan maaf atau hukuman berat semata-mata demi korban pembakaran, penjarahan, dan perkosaan Mei 1998? Dan melepaskannya dari rangkaian peristiwa yang tidak saja berdekatan waktunya, tetapi juga modus, thema, dalang dan konteks tata-politik yang memungkinkannya terjadi?

Sebuah monumen layak dibangun bukan saja bagi korban tragedi penjarahaan, pembakaran, dan perkosaan Mei lalu. Semua itu hanya bagian dari tragedi kekerasan politik lebih besar. Termasuk penembakan terhadap para mahasiswa demonstran di Jakarta dan Yogyakarta yang sudah di-pahlawan-reformasi-kan. Juga penculikan puluhan aktivis pro-demokrasi yang masih belum terkuak tuntas.

Daftar kekerasan itu dapat dibuat sangat panjang. Atau sangat pendek. Batasnya bisa dibuat berbeda-beda. Bisa-bisa saja dimasukkan kasus pembunuhan Marsinah, pembantaian Tanjungpriok, Nipah, Santra Cruz, atau Petrus, hingga pembantaian tahun 1965-66. Kalau daftar itu terlalu panjang, sebuah monumen tidak mampu menandai sebuah momen sejarah dengan fokus makna yang tajam.

Lingkup sejarah sebaiknya dipersempit, dan daftar peristiwa diseleksi lebih pendek. Menurut hemat saya, peristiwa pembredelan tiga media (22 Juni 1994) merupakan awal gelombang kekerasan politik nasional berkelanjutan dan perlawanan rakyat yang juga berkesinambungan hingga runtuhnya kekuasaan presiden Suharto Mei 1998. Penyerbuan kantor pusat PDI (27 Juli 1996) dan pembakaran ratusan tempat ibadah agama minoritas di berbagai kota tercakup disitu.

Di zaman krisis ekonomi begini, mengusulkan pembangunan sebuah monumen bisa kedengaran mubazir dan terlalu mewah. Tentu saja monumen itu tidak harus mewah dan tidak harus dibangun dalam waktu segera. Kalau monumen memakan beaya terlau besar, ada alternatif penggantinya selama masa darurat ekonomi.

Sebelum dana untuk pembangunan monumen tiba kita penghormatan sejarah itu dapat diungkapkan lewat pengibaran bendera setengah tiang secara nasional. Juga keputusan resmi tentang Hari Reformasi, misalnya 14 Mei, sebagai sebagai hari besar nasional. Biar pun tidak makan ongkos besar dan tidak bertampang mewah, penghormatan simbolik seperti itu lebih pantas ketimbang pernyataan maaf disertai banjir airmata pejabat tinggi negara, atau hukuman sadis bagi para pelaku kerusuhan.

Sampai sekarang peringatan penyerbuan PDI 27 Juli masih dipisahkan dari Bredel 22 Juni. Masing-masing terpisah dari kasus penculikan atau perkosaan. Kadang-kadang berbagai gugatan atau peringatan itu malah terkesan saling bersaing.

Tragis jika kita buta memahami apa yang menyatukan semua itu. Itu dapat berakibat gagalnya menghargai bobot sejarah runtuhnya sebuah rezim yang dibangun dengan kekerasan. Dirawat 32 tahun dengan kekerasan terbuka atau terselubung. Dan runtuh dengan penuh kekerasan pula.

Ariel Heryanto - Asal Usul, 26 Juli 1998

191100 - "The Audacity of the Desperate"

HUKUM sudah mati. Hidup reformasi!

Mas Tommy harusnya memahami kondisi ini. Psikologi massa mengenal adanya kondisi seperti saya sebut di atas: the audacity of the desperate, kenekatan orang-orang kepepet. Semakin putus asa dan kepepet seseorang, akan semakin menyeramkan (audacious) sikap dan tindakannya. Mas Tommy harusnya menyadari keselamatan jiwanya terancam karena pilihannya mengingkari hukum dan menjadi buronan. Akan sangat tidak terhormat pula baginya bila ia nanti akhirnya tertangkap. Mungkin digebuki ramai-ramai oleh masyarakat yang memergokinya. Mungkin ia malah akan diborgol oleh penangkapnya, dan gambar itu ditayangkan di semua media massa. Alangkah pilunya hati Jeng Tata bila nasib seperti itu akhirnya menimpa kangmas-nya.

Kondisi lawlessness ini sungguh mengerikan. Maling sepeda ditangkap, ditelanjangi, digebukin orang sekampung, lalu dibakar ketika dia masih setengah mati. Pornografi kematian ini bahkan disaksikan oleh anak-anak kecil sambil bertepuk tangan. Tidakkah itu pernah dilihat Mas Tommy di layar televisi? Percayalah, sebagai anggota masyarakat yang beradab, kita juga tidak ingin melihat azab itu menimpa Mas Tommy.

Penegakan hukum memang masih merupakan salah satu unfinished melody pemerintah sekarang. Reformasi menginginkan pemberantasan KKN. Alih-alih hilang atau berkurang, yang muncul sekarang malah neo-KKN. Reformasi mendambakan kehidupan demokrasi yang akan membuat masyarakat berdaya. Tetapi, karena demokrasinya kebablasan dan tidak mengindahkan kaidah, maka demokrasi yang diciptakan itu ternyata malah membuat kita terpuruk tanpa daya. Demikian juga penegakan hukum yang belum menunjukkan tanda-tanda positif. Bukan hanya mafia peradilan yang tetap marak, masyarakat bahkan tiba-tiba dikejutkan oleh kabar tentang investigasi terhadap beberapa pengacara kelas puncak yang diduga mengemplang pajak.

Kebetulan saya punya pengalaman pribadi untuk bisa menyatakan bahwa mafia peradilan masih alive and well. Sebagian Anda mungkin tahu saya sedang menghadapi kasus hukum -perdata dan pidana- atas dakwaan mencemarkan nama baik seorang mantan menteri melalui buku yang saya tulis dan terbitkan. Anda barangkali tahu, nama orang ini sudah rusak pada 1997, sedangkan buku saya baru beredar pada 1998. Lho, elok, kan? Kok saya yang dituduh mencemarkan nama baiknya.

Dalam perkara perdata, saya digugat untuk membayar ganti rugi Rp 2 trilyun. Bayangkan, yang namanya Osama bin Laden, dituduh mengotaki pengeboman gedung World Trade Center di New York yang mengakibatkan korban jiwa, hanya dituntut 1,25 juta dollar AS, atau sekitar Rp 12 milyar. Artinya, dosa saya dinilai sekitar 160 kali dosa Osama bin Laden. Dalam perkara ini saya telah kalah di tingkat pengadilan negeri, dan kalah lagi di tingkat pengadilan tinggi. Sekarang saya tengah mengajukan kasasi.

Dalam perkara pidana, saya juga telah dinyatakan bersalah di tingkat pengadilan negeri. Dalil hukumnya sangat lembek: untuk menghina tidak diperlukan adanya niat. Saya dihukum membayar ongkos perkara sebesar seribu rupiah, dan hukuman percobaan tiga bulan. Artinya, bila dalam enam bulan sesudah keputusan pengadilan dijatuhkan saya tidak melakukan tindak pidana lain, maka saya tidak akan pernah melihat dinding penjara dari dalam. Hukuman bo'ong-bo'ongan!

Yang penting, agaknya, adalah adanya keputusan pengadilan yang menyatakan saya bersalah dan menjadi terpidana. Dengan demikian orang yang memerkarakan saya itu bisa mengadakan konferensi pers dan menyatakan bahwa ia menang. Ini adalah siasat melakukan pencucian nama (laundering) yang luar biasa lihai. Tidak perlu heran bila badan peradilan ternyata membiarkan lembaganya untuk melakukan legitimasi ini.

YANG menjadi keheranan saya adalah, kok bisa saya kalah dalam perkara ini? Bukti-bukti yang saya ajukan sangat kuat. Polisi yang bertugas menyidik saya berkata, "Saya heran, perkara seperti ini kok bisa diteruskan. Memangnya polisi kekurangan pekerjaan?" Pasal ini dalam KUHP memang dikenal sebagai pasal "keranjang sampah". Apa saja yang membuat seseorang merasa terganggu bisa dimasukkan ke dalam pasal ini. Biasanya, tuduhan dengan pasal ini gagal maju ke sidang peradilan karena dianggap terlalu lemah.

KETIKA saya masih bekerja sebagai konsultan World Bank dua tahun lalu, dan kebetulan salah satu tugas saya berhubungan dengan governance, seorang counterpart dari Washington berkata begini: "Sulit menegakkan hukum di Indonesia dalam kondisi seperti sekarang. Para hakim adalah birokrat bergaji kecil yang memegang palu kekuasaan (low-paid bureaucrats with a great big hammer in his/her hands)."

Jadi, daripada repot-repot menyewa hakim profesional dari luar negeri, apakah kita mau menyerahkan saja lembaga peradilan yang terhormat ini akhirnya ke tangan para desperados? Rakyat sudah marah, muak, dan tidak percaya lagi pada lembaga pengadilan. Rakyat memilih untuk mengambil alih hukum di tangan mereka bila peluang untuk melakukan itu timbul. Pengadilan rakyat, siapa mau?

Bondan Winarno - Asal Usul, 19 November 2000

121100 - Pahlawan

BARANGKALI harus didukung, sebuah pendapat, bahwa orang baik mesti banyak bersabar, orang cerdas perlu banyak berpikir dan orang bijak harus banyak mengerti. Bersabar akan membuahkan kemampuan menahan diri, tidak putus-asa, tidak grusa-grusu dan tidak mau berhenti berbuat sebelum citanya tercapai. Berpikir akan membebaskan orang dari terjebak oleh tindakan salah yang membuatnya sulit untuk kembali dari awal, menemukan yang benar itu benar dan yang itu salah serta memperoleh kemantapan dalam mengambil keputusan dan bertindak secara pas. Mengerti sesudah mengenal dan mengetahui, merupakan modal bagi terujudnya harmoni, dan salah satu kunci keberhasilan. Berpikir, mengerti dan sabar oleh dan dalam Quran disebut sebagai "hikmah".

Hikmah, yang pasti dikaruniakan Allah kepada semua Utusan-Nya, menjadi bekal dan modal mereka memperjuangkan moral dan ajaran. Kang Kiai yang juga menyerap dari Quran, menyebutkan dua sisi yang masing-masing dua bagian. Yaitu: bersyukur dan bersabar serta berdzikir dan berpikir. Bersyukur ketika menerima karunia dan bersabar ketika menjumpa kendala. Berdzikir (senantiasa ingat kepada Gusti Allah, Tuhan Maha Pemberi segala) pada setiap langkah dan tindakan yang ujungnya kesadaran bahwa segala yang dihasilkan adalah dari Gusti Allah, melahirkan kesyukuran yang dalam. Berpikir yang berarti mengembarakan akal-budi, menjelajahi cakra-wala dan semesta, menembus segala langit yang berguna bagi kehidupan. Itu semua diperlukan kesabaran penuh untuk mencapai kepuasan seutuhnya.

Kang Kiai itu kemudian menyebut syukur dan sabar itu sebagai kawasan steril yang bersih dari polusi kecurangan. Semerbak dengan kejujuran. Semarak dengan ketulusan. Pembebasan diri dari menyalahkan diri sendiri dan orang lain. Merelai yang diterima diri sendiri dan yang diterima oleh orang lain. Saya sangat ingat ketika Kang Kiai membimbing saya bersama dengan beberapa santri "kesana". Di dalam sana memang sangat sejuk. Saya merasakan kenyamanan yang-sungguh-asyik. Saya merasa ditindih pesona, ketika saya dibawa mengitari keindahan aneh, entah apa. Tetapi saya-ternyata-tidak bisa meninggalkan "nafsu" saya tetap berada dalam pasungan. Dia meronta, melepaskan diri dari akal sehat lalu memotong-motong ikatan nurani dan mencampuradukkan wacana. Lahir dari nafsu yang lepas itu aneka paradoksal, ada kata-kata mutiara yang digunakan kebatilan.

Kalimatu haqqin uriida biha i-bathil. Ada maido, mencela, dikatakan ngritik. Ta'yiir yang diplesetkan menjadi intiqod. Padahal meski perbedaan antara ta'yir dan intiqod itu sangat tipis-seperti perbedaan antara bai', jual-beli dan riba-namun, yang satu dianjurkan dan yang lainnya dilarang. Ada parodi yang menampilkan cacat seseorang dikatakan sebagai ekspresi sebuah kritik. Padahal yang disebut parodi itu jelas tamsil yang haram hukumnya. Jika itu semua dikedepankan oleh orang awam dengan kepolosannya, niscaya tak seorang pun mempersoalkan. Tetapi jika muncul dari orang terpelajar yang melabel dirinya dengan Islam, tentu lain soalnya.

Dari kalimah tahmid di atas, saya-seperti halnya Sampeyan sekalian, mungkin-menyepakati kesimpulan bahwa kehadiran Pahlawan sebagai sosok yang dibanggakan bangsanya atau bahkan diteladani adalah mereka yang tidak pernah berhenti berpikir, selalu mau mengerti dan bersabar dalam memperjuangkan kebenaran, dilengkapi dengan kepuasan batin yang disyukuri. Saya dan Sampeyan tentu setuju, bahwa setiap angkatan memiliki pahlawan-nya. Angkatan 1908, 1928, 1945 dan saya bertanya, siapa pahlawan saya dan pahlawan Sampeyan ditahun 1966 dan seterusnya? Sebab "pah-lawan" itu mungkin dari kosa kata "pahalawan". Pahala menurut saya adalah karunia, pemberian atau anugerah khas dari Gusti Allah, dari Tuhan Sesembahan. Pemberian dari sesama makhluk tidak diistilahkan dengan pahala. Pemberian dari atasan sekian tingkat di atas kita, orang mengistilahkan dengan anugerah, bukan pahala. Misalnya, penganugerahan dari Negara kepada salah seorang rakyat-bangsa. Tidak pernah kita dengar: pemahalaan dari Negara Tetapi "pahala dari Tuhan".

Barangkali boleh diusulkan bahwa: Pahlawan adalah dia yang dalam berbuat sesuatu demi memperjuangkan kepentingan bersama tidak berpamrih apa pun kecuali "pahala" dari Gusti Allah. Dia sadar benar bahwa: kursi, kedudukan, popularitas, fasilitas, harta, nama besar, dan sebagainya, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan "pahla". Pahla yang akan diterima di depan dan bersifat abadi itu hanya dari Gusti Allah semata. Penerima "pahla" akan juga abadi, seabadi pahalanya itu sendiri. Pahlawan abadi di hati bangsanya, sepanjang sejarah, selama sebuah bangsa masih bernama. Diponegoro, Boedi Oetomo, Sudirman, Soekarno-Hatta, abadi namanya sebagai pahlawan bangsanya. Lalu siapa selanjutnya? Apakah anak-cucu kita akan mengabadikan nama kita sebagai pahlawan, jika-meski seupil-yang kita perbuat bermuatan pamrih? Apa yang kita perbuat hanya menginginkan pahala atau kita juga mengharap anugerah atau balas jasa. Hari Pahlawan Indonesia kita peringati pada 10 November. Kalian, para pahlawan, Rahimahumu I-Loh abadi di hati anak bangsa ini.

Lain pahlawan, lain Pemimpin. Pemimpin-sebenarnya-hanya membutuhkan wibawa untuk membawa gembalaannya ke kepatuhan. Wibawa yang bisa dibangun dengan kekerasan atau kelembutan. Kengototan atau kelenturan. Kekayaan, kepandaian atau kedudukan. Kekuasaan atau kepatuhan. Tinggal apa mau sang Pemimpin, menghendaki kepatuhan tulus atau loyalitas semu. Lama atau pendeknya masa semayam kewibawaan, tergantung kepada lama-pendeknya pola pilihan dipertahankan. Atau sama sekali dia tidak menghendaki terbangunnya kewibawaan. Lalu membiarkan siapa pun bersikap, berbicara, bertindak dan berhujjah secara semena-mena dan semau-maunya, seolah-olah sedang hidup dihutan belantara. Pemimpin yang memilih membangun wibawa dengan kelembutan, kelenturan, kepandaian, dan kepatutan, lalu kepasrahan menjadi ujung kinerjanya, maka adalah dia telah memperoleh rahmat Allah.

Apakah belum sampai waktunya bagi kita memusatkan hati untuk mengelap bersih-bersih kaca kebenaran yang berbingkai kenyataan demi menghapus coreng-moreng wajah kita. Lantas pada gilirannya, melahirkan Pahlawan atau Pemimpin atau Pahlawan sekaligus Pemimpin di kekinian maupun kekelakan. Mumpung rembulane, mumpung jembar kalangane, surako surak horeee. Senyampang benderang cahaya rembulan, senyampang lega kesempatan, mari bersorak-sorai. Hai, hai, hai.

M Cholil Bisri - Asal Usul, 12 November 2000

051100 - "Ting"

MERASA berat menghadapi persaingan tajam di dunia pers dan para pemimpin selalu gagal menempuh strategi menaikkan oplah korannya, redaksi pun mengundang Gus Dur.

"Semoga kehadiran Gus Dur hari ini menambah kita punya wawasan, dan memberi pilihan strategi menembus tembok-tembok tebal para pesaing kita." kata moderator.

"Terima kasih," jawab Gus Dur. Dan di ruang redaksi harian Pelita lebih dua puluh tahun lalu, Gus Dur pun mulai menguraikan gagasannya.

Orang-orang Pelita menyimak dengan takzim. Sebagian malah sambil senyum-senyum. Sebagian lainnya ketawa terbahak-bahak.

Maklum, yang sedang mereka dengar itu raja humor yang pikirannya cemerlang. Ia selalu hadir dengan gagasan mengejutkan.

Setelah panjang lebar "berpidato" di depan para wartawan, Gus Dur dengan enteng menyimpulkan: "Coba dulu dinamai "petromak" pasti lain lagi ceritanya," kata Gus Dur.

Dan hadirin pun terbahak-bahak.

KETANGKASAN Gus Dur membenturkan satu ide dengan ide lain, memperhadapkan sebuah sense dengan non-sense yang melahirkan sebuah sense baru memang jitu.

Tetapi kalau diteliti, ada saja yang salah. Pelita dalam arti sebenarnya dan pelita dalam arti metaforik, saya kira tak bisa diperhadapkan. Pelita metaforik mungkin tak bisa diganti dengan pelita sebenarnya. Juga metafora tentang obor dan ting.

Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW disebut pembawa obor peradaban. Obor beliau menerangi kegelapan jiwa dan kegelapan struktur sosial negeri Mekkah dan bangsa Arab di zaman Jahiliah. Dan berkat obor itu pula kini peradaban manusia berkembang. Kita keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. "Cahaya maha cahaya", kata Ainun.

Obor, cahaya, nur, yang beliau pancarkan dalam gelap itu adalah nur ilmu pengetahuan tentang hikmah. Nur itu memancar lebih dulu di dalam jiwa beliau, seorang warga biasa yang buta (huruf), baru kemudian memancar memberi cahaya dunia.

Ilmu atau wawasan tentang hikmah, biasanya tak diajarkan oleh para guru, para profesor atau para filosof. Hikmah diajarkan oleh para nabi, orang-orang tulus, yang berjuang bukan buat kepentingan pribadi melainkan buat kepentingan manusia-manusia lain. Pendeknya oleh mereka yang gigih menerangi dunia dengan obor kesadarannya.

Di kampung-kampung di Jawa, obor itu segepok daun kelapa kering yang disulut api dan cahayanya mencaplok seluruh kegelapan, dan kemudian dalam radius 3-4 meter di sekitar pembawa obor memancarlah cahaya terang.

Dengan obor daun kelapa kering orang bergerak maju menembus kegelapan malam. Tapi obor Gusti Kanjeng Nabi menembus batas-batas hari, bulan, tahun, abad. Obor itu menembus kegelapan dunia. Dan juga kegelapan jiwa manusia. Dulu, dan juga sekarang.

OBOR Kanjeng Nabi Muhammad yang mulia itu tak pernah mati. Ia menjadi pusaka, menjadi warisan tak ternilai. Obor itu tersimpan di dalam kitab suci yang tiap hari dibaca, dan diperlombakan tiap tahun.

Musabaqah tilawatil Qur'an itu sebuah peristiwa besar. Berjuta orang terlibat, dan maha sibuk di dalamnya. Dan bermilyar-milyar rupiah dihabiskan di sana. Tiap tahun peristiwa akbar ini kita rayakan. "Tapi apakah kita memetik manfaatnya?"

Saya tak bisa menjawab.

"Menjadi terangkah jiwa-jiwa kita?"

Saya menunduk malu.

"Makin bercahayakah struktur sosial negeri kita yang gelap gulita sejak puluhan tahun lalu?"

Sekali lagi, saya menunduk. Inilah peristiwa "Akbar" yang sangat kecil dampaknya. Itu pun bila benar ia punya dampak. Selebihnya, yang selalu pasti, kita cuma menemukan kegelapan demi kegelapan.

Pribadi-pribadi, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi resmi, juga partai-partai politik, lembaga-lembaga negeri, sidang-sidang wakil rakyat, semua diwarnai kegelapan.

Cahaya, nur, hikmah itu cahaya Tuhan. Biarpun tiap hari dilihat, tapi kita melihatnya dari tempat yang "batil", dengan cara "batil", demi tujuan "batil", ia tak akan tampak. Alam akan tetap gelap. Dan kita pun gelap.

Sekarang Tuhan tak lagi menurunkan nabi-nabi. Lebih parah lagi bagi Indonesia, kita bukan cuma tak punya nabi tapi juga tak punya pemimpin yang patut dikutip pendapatnya, dicontoh sepak terjangnya, dan sekadar dikagumi kearifannya. Tiap tokoh yang pernah kita duga pemimpin, ternyata pemimpin palsu.

Tiap tokoh yang kita ikuti jejaknya, ternyata jejak itu cuma berakhir di WC. Duh Tuhan, nabi nabi para wali dan orang orang suci... Nasib malang apa yang kami tanggung ini?

Baik, kami bukan bebek, bukan bekicot atau kodok. Rakyat lama-lama muak mengharap para pemimpin bersatu padu membangun negeri. Mereka bertarung sendiri-sendiri, demi agenda mereka sendiri, dan tak ada hubungan dengan perjuangan kerakyatan.

Para pemimpin sendiri sudah hidup dalam gelap. Tiap hari mereka buka bukan agenda membangun peradaban besar, demi kebangkitan bangsa dan negara, tapi agenda pribadi. Mungkin paling jauh agenda partai.

Rakyat yang baik hati, sabar, dan tabah menghadapi tekanan kegelapan jiwa para pemimpinnya, bisa bergerak sendiri. Anak-anak muda yang masih murni, yang belum tercemar oleh polusi kepentingan, diam-diam mulai menyalakan ting: sejenis lampu teplok yang menyala kecil seperti kunang-kunang di kegelapan.

Ting, bagi rakyat telah atau hendak menjadi alternatif dalam upaya menyelamatkan diri dari kegelapan zaman jahiliah paska Mekkah, pasca Orde Lama, pasca Orde Baru, pasca-Orde Reformasi. Pemimpin yang bergerak demi diri sendiri bukan pemimpin. Dan karena itu, hari ini kita hidup tanpa kepemimpinan. Dan itu tampaknya tak menjadi soal.

Kalau tak ada obor, ting pun berguna. Dan gerakan menyalakan ting, sekecil apapun bakal menjadi modal bagi kita selama menanti berkah Tuhan. Dan berkah itu datang bila kita bekerja, berdoa, bekerja...

Cahaya Tuhan datang seperti nyala ting: kecil tetapi menerangi sisi-sisi kegelapan kita. Ting itu juga nur, cahaya.

Mohamad Sobary - Asal Usul, 5 November 2000

291000 - Pengibar Bendera

INI bukan tulisan tentang Paskibraka yang legendaris. Tetapi, memang tentang para pengibar atau pembawa bendera yang dalam bahasa Inggris disebut flag carrier.

Wacana pembicaraan kita belakangan ini banyak terfokus pada masalah penyelamatan aset bangsa. Sayangnya, karena kita sedang terserang wabah sadomasokis, tampaknya kita lebih suka membicarakan tentang ekstrem-ekstrem terburuk. Misalnya, tentang bagaimana menyelamatkan aset bangsa berupa perusahaan-perusahaan eks konglomerat yang sedang direparasi di bengkel BPPN. Ini memang cukup nikmat untuk menyakiti diri. Kita bisa mencaci maki semaunya, sambil mengungkap kegusaran, tanpa bisa mengusulkan apa-apa. Padahal, diam-diam kita juga sangat tercekam kecemasan, dan-diam-diam pula- sangat mengharapkan BPPN sukses, sehingga aset bangsa itu tidak tenggelam, bisa turnaround, dan jaya kembali sebagai mesin ekonomi.

Yang ingin saya bicarakan adalah unit-unit usaha yang justru tidak masuk dalam bengkel BPPN, yang sedang bergumul dengan restrukturisasi masing-masing, dan yang kebetulan pula hampir semuanya menghadapi masalah dan peluang sama, yaitu: privatisasi. Padahal, dalam kondisi ekonomi seperti sekarang ini, privatisasi hampir selalu berarti pindahnya saham alias kepemilikan ke pihak investor asing. Beberapa perusahaan itu antara lain adalah: Telkom, Indosat, Bank Mandiri, Garuda Indonesia. Anda bisa menambah sederet nama lagi.

Belum lama ini, dalam sebuah seminar Telkom di Bandung, seorang pembicara berbisik kepada saya. "Coba bayangkan! Telkom ini kan perusahaan mantap. Sumber daya manusianya andal. Organisasinya rapi. Budaya kerjanya sudah terbentuk. Kinerja usahanya cantik. Sayang kalau akhirnya kita tidak bisa menyelamatkannya dan jatuh ke tangan investor asing."

Sentimen seperti itu bukanlah merupakan penolakan terhadap investasi asing. Kita sangat menginginkan arus investasi asing untuk ikut memutar roda ekonomi kita yang stagnan. Tetapi, kalau masih punya kemewahan untuk memilih, sebaiknya investasi asing itu yang berupa investasi langsung, khususnya untuk sektor teknologi yang belum sepenuhnya jadi bidang kompetensi kita, atau yang pasarnya berada di ranah global. Sedangkan unit-unit usaha yang sudah "jadi" dan bersifat flag carrier seperti Telkom itu, mbok, ya, tetap dimiliki sahamnya secara mayoritas oleh warga bangsa sendiri. Begitu banyak modal telah terbang ke luar negeri. Bila direpatriasi, modal itu pasti bisa mendukung unit-unit bisnis nasional yang sudah mantap.

Garuda Indonesia adalah contoh lain yang ingin saya tampilkan sebagai contoh. Garuda adalah flag carrier Indonesia yang paling strategis. Ketika melihat pesawat Garuda-di Changi, atau Schiphol, atau Narita, atau Fiumicino-orang pasti akan berpikir tentang Indonesia. Alangkah sialnya bila dalam citra bangsa yang sedang terpuruk di titik nadir ini Garuda ternyata malah menambah bopeng pada wajah bangsa kita.

Pada 1998, dalam kondisi berdarah-darah-bahkan nyaris default-Robby Djohan menyambar tangkai kemudi Garuda. Dalam posisi nose dive, ia berhasil menggagalkan crash. Lalu Abdulgani menggantikannya di kokpit, dan berhasil melakukan recovery ke posisi nose up. Walhasil, beberapa minggu yang lalu kita melihat iklan di surat kabar. Garuda meraih laba Rp 409 milyar di tahun 1999. Memang, "cuma" setengah juta dollar AS. Tetapi, di tengah begitu banyak kabar buruk, kabar seperti itu tentulah melegakan. Artinya, perdarahan Garuda telah berhasil disetop.

Mereka yang menjadi frequent flyers Garuda tentulah merasakan perubahan yang sangat berarti dalam dua tahun terakhir ini. Berhubung krisis, saya lebih sering duduk di kelas ekonomi sekarang ini. Tentu wajar bila ketika menemani Pak Mar'ie Muhammad terbang di kelas ekonomi dengan Garuda ke Kuala Lumpur, saya mendapat perlakuan yang agak istimewa. Tetapi, dalam setiap penerbangan dengan Garuda sekarang saya memang merasa lebih dianggap orang oleh para awak kabin. Awak kabin Garuda sekarang lebih mewakili tipe pekerja profesional. Bukan lagi gadis-gadis manja dari keluarga menengah yang enggan melayani penumpang dari kelas bawahan "papi"-nya.

Ketepatan waktu berangkat dan tiba dari penerbangan Garuda pun tampak nyata meningkat dengan tajam. Menurut siaran berita Garuda, on-time performance-nya kini mencapai 88 persen. Artinya, 3 persen di atas industry average untuk maskapai-maskapai penerbangan Asia. Garuda tidak lagi menyandang stigma good and reliable until delay announced.

Maka, bulu kuduk saya meremang ketika dua hari yang lalu Addie MS memperdengarkan rekaman lagu tema iklan Garuda yang baru. Christopher Abimanyu, penyanyi tenor terbaik Indonesia, dengan menggetarkan lantang bernyanyi: Terbang, Terbang Tinggi, Garuda Indonesia! Musik orkestral yang digarap Addie sungguh terasa padat di latar belakang. Ala maaak, indah nian sensasi itu.

Sebentar lagi, Anda semua akan juga mendengar lagu itu, mengiringi film iklan karya Matari Advertising di televisi. Slogan barunya tidak muluk, tetapi sangat business-like dan serius: Garuda Indonesia, Kini Lebih Baik. Saya katakan serius, karena tidak gampang membuat 70.000 karyawan Garuda Indonesia mengubah budaya kerja dan menjadi yang lebih baik.

Beberapa videoklip yang ditayangkan televisi selama ini barangkali bisa menjadi bukti betapa karya audio-visual yang baik bisa menggugah semangat kita. Contoh ini perlu ditiru oleh lembaga-lembaga usaha yang lain. Kita perlu lebih banyak lagi pengibar bendera yang bisa mengangkat citra kita sebagai bangsa.

Dulu, Garuda Indonesia pernah menggemparkan dunia pemasaran Indonesia ketika membayar Landor Associates yang bermarkas di San Francisco satu juta dollar untuk membuat logo. Kini, Garuda Indonesia dengan bangga menggunakan talenta Indonesia untuk menyajikan citranya yang baru. Citra sebuah bangsa yang serius dan bangga berpeluh meningkatkan mutu.

Ah, setetes kebanggaan di tengah ketidakpastian yang mendekati keputusasaan.

Bondan Winarno - Asal Usul, 29 Oktober 2000

221000 - Chic-Choc

KAMI punya anjing bernama Chic-Choc yang tinggal di Bandung bersama anak saya yang sekolah di sana. Chic-Choc ini anjing biasa-biasa saja tetapi sangat energetik dan nakal. Dalam rumah, dia sering menggigit kaus kaki, sarung bantal. Bahkan sepatu baru anak saya yang datang jauh-jauh sebagai oleh-oleh dari luar negeri, langsung bolong digigit Chic-Choc. Karena barang yang dirusaknya adalah milik kami sendiri, ini tidak terlalu merupakan masalah. Semua maklum, namanya juga anjing, memang suka begitu.

Satu hari saya mendapat laporan telepon dari Bandung bahwa ada masalah dengan tetangga. Berita begini selalu kami tanggapi dengan serius karena bagi kami hubungan baik dengan tetangga adalah nomor satu. Kehidupan bertetangga adalah kekuatan di mana kami berlindung dari segala kekuatiran dan keprihatinan yang kita sedang alami.

Rupanya Chic-Choc yang hiperaktif itu sering membawa sampah dari tempat pengumpulan. Masih dalam kantung plastik, sampah itu dibawanya ke rumah. Karena pintu gerbang kami selalu tertutup, Chic-Choc membawa kantung sampah itu ke pelataran tetangga. Di situ ia bermain dengan kantung sampah itu sampai terobek plastiknya dan sampahnya berceceran. Setelah digelar begitu, jelas sampah itu mengeluarkan bau sangat tidak sedap dan mengundang konvensi kecil lalat yang beterbangan kian-ke mari.

Tetangga kami yang tidak bersalah mendapat gangguan ini berkali-kali. Rumahnya menjadi berbau tidak sedap dan lalat berkeliaran. Kadang-kadang Chic-Choc juga menggali lubang di halaman tetangga dan pernah memecahkan pot bunga. Salut kepada tetangga, ia tidak langsung marah. Setelah mengamati beberapa kali, ia datang ke rumah kami, bukan untuk marah tetapi untuk bicara. Sayang anak saya mahasiswa yang jarang di rumah, jadi dia bicara dengan penjaga rumah tangga kami yang militan. Jawab pembantu kami, "Ah, itu sih biasa, namanya juga anjing." Itu kata-kata yang sering saya ucapkan bila Chic-Choc merusak kaus kaki saya atau sarung bantal kami. Tetapi konteksnya beda sekali. Mendengar itu, tetangga kami ia menyimpulkan, ia tidak bisa berkomunikasi dengan staf kami itu.

ANDAIKATA ini terjadi di Amerika, perkara ini bisa dibawa ke pengadilan. Ada yang namanya Animal Court, yang sering saya tonton di televisi. Pengadilan ini serius, ada hakimnya ada prosedurnya. Kasus yang dibicarakan bermacam-macam melibatkan berbagai binatang. Kadang-kadang ular yang kabur ke rumah orang, burung yang bernyanyi membuat orang tidak bisa tidur, atau transaksi hewan piaraan yang tidak lunas. Jelas kegiatan Chic-Choc merupakan pelanggaran privacy dan kualitas hidup tetangga dengan tanggung jawab penuh pada pihak kami. Rasanya kalau menurut standard Animal Court, kami akan kena denda dan Chic-Choc akan mendapat restraining order, dilarang mendekati rumah tetangga kurang dari 50 meter. Susah juga kalau begitu, karena rumah tetangga dan kami berjarak 0 meter.

Akan tetapi ini Bandung, bukan Amerika. Dan tetangga kami kebetulan orang santun dan lembut, bukan seorang litigator yang keras. Pada waktu dua minggu lalu kami berkunjung ke rumah tetangga itu, kami datang dengan permintaan maaf dan memohon waktu untuk mencari penyelesaian. Ia sangat bersabar, dan bahkan bersimpati dan menyumbangkan pikiran. Tidak langsung bereaksi dengan pernyataan keras atau ultimatum.

Sangat beda, kehidupan bertetangga dan kehidupan publik. Tetangga kami sudah tinggal di rumah itu lama, sejak anak saya berumur tiga tahun. Dia bisa menyimpan kekesalannya dan memberikan lagi kesabaran. Jadinya kami malah semakin gelisah. Langsung Chic-Choc kena cekal, malam harus tidur dalam rumah, walaupun mengundang risiko perusakan dalam rumah.

Kemudian anak saya mencari penyelesaian jangka menengah, dan akhirnya membangun pagar besi tambahan supaya Chic-Choc tidak bisa kabur dari halaman kami. Setelah itu setiap beberapa hari saya terima laporan e-mail. Sampai sekarang sudah hampir dua minggu, Chic-Choc belum membawa sampah lagi ke rumah tetangga. Konflik horisontal terhindari.

DALAM kehidupan publik kalau ada masalah yang ditanggapi ucapan A yang kurang berkenan kepada B, langsung B memberikan reaksi keras, melebar pada soal lain, dan berujung pada penolakan seluruh keberadaan A. Masalah aslinya menjadi terlupakan dan tidak terurus. Dan setiap kali A bicara, B menyerang.

Apa soal kita sebetulnya? Apa maksud omongan yang jadi kontroversi? Dimengerti atau tidak? Apa konteks dan later belakangnya? Apakah ada perbedaan pendapat? Kalau ternyata tidak, kita teruskan kehidupan kita. Kalau ternyata beda, jalankan demokrasi baru kita. Demokrasi dirancang sebagai sistem untuk memanfaatkan perbedaan pendapat. Tanpa perbedaan pendapat tidak ada demokrasi, tanpa demokrasi orang bisa mengeluarkan pendapat. Turunkan suhu dan tingkat kebisingan, bukalah komunikasi. Komunikasi selalu dua arah, mendengar dan menyampaikan, tetapi juga menyaring dan menjernihkan, melihat konteks dan later belakang. Tidak membenarkan yang salah, tetapi meluruskan salah pengertian.

Saya percaya tetangga saya membaca tulisan ini dan menyadari, betapa besar rasa penghargaan kami kepadanya. Dengan sikap yang santun, komunikatif dan rekonsiliatif yang dibawakannya, keadaan terhindar dari kekeruhan. Harmoni kehidupan bertetangga yang telah terbangun sejak anak-anak masih kecil di kota Bandung bisa terus menemani keluarga-keluarga yang tinggal di sana.

Bagi saya, ini kekuatan nyata masyarakat madani (civil society) di Indonesia. Saya percaya akan adanya tradisi komunikasi antara tetangga tanpa menghiraukan (bahkan tanpa mengetahui) perbedaan sikap politik, agama, kelompok. Dan Chic-Choc akan mendapat sanksi, setelah masalahnya diatasi.

Wimar Witoelar - Asal Usul, 22 Oktober 2000

170900 - Burung di Tangan yang Terlupakan

ADA lelucon baru beredar di Internet. Presiden RI pertama adalah negarawan. Presiden kedua adalah hartawan. Presiden ketiga adalah ilmuwan. Presiden keempat adalah wisatawan. Wah, ngeledek nih! Padahal, Presiden Gus Dur sedang berjuang keras membawa investor datang ke Indonesia. Aliran dana investasi nyaris terhenti sejak krisis. Padahal, kekurangan pendapatan dalam APBN harus diisi segera.

Gus Dur menggunakan kesempatan di New York untuk bertemu George Soros. Konon, Soros enggan datang untuk menanam modalnya di Indonesia karena kurang yakin terhadap tim ekonomi Republik Indonesia. Itu mungkin strategi jual mahal Soros belaka. Buktinya, awal minggu lalu muncul spekulasi Soros akan mengambil saham Indosat yang sudah dipersiapkan Menko Perekonomian Rizal Ramli.

Memprioritaskan Indosat untuk digaet investor asing bukanlah strategi salah. Pertama, karena saham Indosat sudah terbukti menjadi saham blue chip selama ini, sehingga tentulah menarik investor asing. Kedua, dan ini mungkin yang lebih penting, adalah karena Indosat adalah perusahaan yang padat teknologi. Padahal, harus diakui kita bukanlah pencipta teknologi. Di luar beberapa pengecualian, pada umumnya kita memang baru sampai pada tahap pengguna teknologi. Maka, ketika teknologi telekomunikasi sedang mengalami percepatan pembaruan, barangkali ada baiknya bila justru pihak-pihak pencipta teknologi menjadi pemodal utamanya. Ini perlu untuk melunakkan dampak risiko kegagalan teknologi.

SELAIN Indosat, apa lagi? Pemerintah sebetulnya juga perlu mempertimbangkan divestasi lanjutan terhadap BUMN yang sudah diprivatisasi, misalnya: Telkom, Timah, Aneka Tambang, dan Semen Gresik. Secara umum, perusahaan-perusahaan itu menghadapi masalah sama, yaitu kondisi pasar modal Indonesia yang belum merefleksikan kinerja fundamental perusahaan-perusahaan itu. Tidak ada yang salah dalam kinerja keuangan perusahaan-perusahaan itu. Karena itu, Pemerintah perlu mengambil langkah khusus untuk mempercepat divestasi BUMN yang sudah diprivatisasi.

Ambil contoh: sektor semen. Kalau bukan karena potensinya untuk memperoleh laba tinggi, industri semen tentulah tidak akan dimasuki pemodal-pemodal besar seperti Liem Sioe Liong dan Hashim Djojohadikusumo. Tetapi, industri ini juga sangat rawan terhadap gejolak ekonomi. Dalam beberapa krisis ekonomi yang dihadapi bangsa ini selama 20 tahun terakhir, kita telah belajar bahwa sektor yang pertama terpuruk adalah sektor konstruksi. Kelesuan ekonomi selalu menjadi alasan untuk menunda proyek-proyek konstruksi, sehingga kebutuhan semen dalam negeri pun menciut drastis.

Dalam kondisi pasar seperti itu, alternatif yang terbaik tentulah untuk mengekspor surplus produk semen ke pasar dunia. Konon, saat ini surplus semen dalam negeri masih sangat besar sekalipun Semen Gresik tahun lalu sudah mengekspor lima juta ton semen. Padahal, bila harus menempuh alternatif pengurangan produksi, selalu akan berbuntut musibah bagi buruh.

Akan tetapi, bagaimana mungkin kita bersaing bila pasar semen dunia sudah dipegang pemain-pemain besar seperti Holderbank, Lavarge, dan Cemex? If you can not beat them, join them-begitu adagium yang berlaku dalam setiap bentuk persaingan. Jadi, kalau omong-omong soal semen, maka kita tinggal pilih Holderbank, Lavarge, atau Cemex untuk jadi mitra. Lavarge sudah pegang saham Semen Aceh. Cemex sudah pegang 25 persen saham Semen Gresik. Artinya, pihak-pihak itu bisa diajak kerja sama mengembangkan pasar semen Indonesia di luar negeri secara kompetitif.

Iregularitas pasar semen membuat sektor ini menuntut leverage internasional yang lebih tinggi. Posisi Semen Gresik di pasar dunia berbeda sekali dari Timah yang telah menjadi produsen timah terbesar dunia saat ini. Semen Gresik perlu "meminjam" leverage dari pemain internasional untuk bisa meningkatkan daya saingnya.

Sektor industri lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggalakan investasi adalah farmasi dan kimia ringan. Dengan biaya usaha yang lebih rendah di Indonesia, sektor industri ini bisa menjadi pemasok pasar dunia yang ideal. Pabrik baterai Energizer (semula Eveready) di Cimanggis, misalnya, sudah sejak lama menjadi produsen baterai yang diekspor ke berbagai kawasan Asia dan Timur Tengah. Pabrik-pabrik obat tentunya juga berpotensi meningkatkan kemampuannya untuk berproduksi melayani kawasan ini.

DALAM berbagai pembicaraan dengan para investor yang sudah beroperasi di Indonesia, banyak di antara mereka sebenarnya mulai berpikir untuk menempatkan kantor regional mereka di Jakarta. Cemex, misalnya, mulai menempatkan beberapa manajer yang menangani urusan regional di Jakarta. Artinya, itu hanya selangkah menuju pelembagaan kantor regional di Jakarta. Pendeknya, peningkatan investasi di Indonesia sungguh akan memberi efek berganda yang positif.

Begitu banyak investor yang punya pengalaman dengan Indonesia dan bisa diajak meningkatkan investasinya di negeri ini. Untuk mencapai divestasi lanjutan dan sekaligus privatisasi tahap kedua, Pemerintah sebetulnya bisa memanfaatkan akses yang sudah dimiliki BUMN go public untuk menarik dana investor asing. Misalnya, Timah membeli Tambang Batubara Bukit Asam, atau Semen Gresik membeli Semen Baturaja dan Semen Kupang. Karena pasar modal sedang terpuruk, pembeliannya tidak harus dalam bentuk saham, melainkan dengan obligasi atau obligasi konversi.

Banyak di antara investor BUMN go public itu yang sebetulnya sudah siap menambah investasinya bila suasananya kondusif. "Uangnya sudah menunggu di bank," kata seorang investor asing di Indonesia. "Kami siap kapan saja. Kalau Pemerintah Anda mau, besok juga bisa kami tanamkan modal itu di sini."

Jadi, buat apa repot-repot mencari investor baru yang sok jual mahal? Takut disangka ada kaitan dengan rezim terdahulu? Karena mengejar burung di udara, burung di genggaman terlupakan.

Bondan Winarno - Asal Usul, 17 September 2000

011000 - Tugas Tim Dokter Belum Final

TUGAS tim dokter pengadilan belum selesai, masih ada beberapa orang yang perlu diperiksa otaknya, yaitu para hakim. Begitu menurut "tulisan tamu" seorang pengirim e-mail. Kata kawan e-mail ini, walaupun tidak ada tanda yang terlihat dari luar, tetapi berdasarkan keputusan yang mereka buat, mudah dideteksi ada bagian otak yang tidak berfungsi dengan benar, seperti bagian pendengaran yang tidak peka terhadap nurani banyak orang. Bagian logikanya tidak berhasil menemukan jalan lain yang lebih bijak, seperti misalnya kemungkinan pengadilan in absentia. Terdakwa pikun tidak masalah. Pengadilan masih bisa jalan terus... toh para pembela bisa panggil banyak saksi yang meringankan. Para kroni banyak yang bisa dijadikan saksi... sekalian didaftar untuk diproses lebih lanjut :)

Kasus pengadilan yang diributkan ini sebetulnya kasus yang kurang tepat. Tokoh politik Bara Hasibuan berkali-kali mengingatkan, buat apa mengadili Soeharto sebagai Ketua Yayasan, sementara Soeharto sebagai mantan presiden dibiarkan saja. Yang penting bukan korupsi uang amal yayasan, tetapi penyalahgunaan kekuasaan yang mendasari semua korupsi dan kekerasan.

Pendapat hukum datang dari Munir SH. Menurutya, mestinya hakim tidak boleh menghentikan perkara Soeharto. Itu aneh, katanya, seharusnya majelis hakim menunda sampai terdakwa sembuh. Betul juga. Ketika kecil waktu saya sakit, boleh tidak masuk sekolah, tapi tidak disuruh berhenti sekolah seterusnya.

Berpaling pada anggota Komisi Hukum Nasional Frans Hendra Winarta, ia menegaskan, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) telah mengkhianati Ketetapan MPR tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Persidangan hanya dapat dihentikan apabila terdakwa meninggal dunia, dalam pengampuan dan karena sakit ingatan (gila). Majelis hakim seharusnya memperhatikan aspirasi masyarakat yang dituangkan dalam Tap MPR, "Untuk pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, termasuk mantan presiden Soeharto."

Biasanya anggota DPR dan pimpinan MPR rajin bicara, sekarang kita tunggu. Jaksa Agung Marzuki Darusman mengatakan, "Pengamatan saya bertalian dengan diabaikannya rasa keadilan rakyat." Marzuki sebagai Jaksa Agung sudah minta tiga hal. Pertama, supaya hakim melihat langsung bagaimana keadaan Soeharto. Kedua, agar bertanya kepada Mahkamah Agung tentang peradilan in absentia. Ketiga, agar yang sakit dirawat di rumah sakit pemerintah. Tiga-tiganya ditolak, Karena itu Marzuki katanya akan melakukan perlawanan, berbentuk pengajuan masalah ini ke pengadilan tinggi agar supaya keputusan Majelis Hakim PN Jaksel dibatalkan. Ayo Kiki, orang sudah banyak meragukan Anda. Ini kesempatan Anda untuk berperan dengan jelas.

MENGAPA begitu penting Soeharto diadili? Bukankah katanya akan diberi pengampunan oleh Presiden? Jelas penting, Soeharto diadili atau tidak. Pelanggar yang diampuni setelah dihukum, jelas beda dengan pelanggar yang berkeliaran.

Yang pertama menjadi bukti hukum masih ada di Indonesia, yang kedua menambah semangat pelanggar. Lihat pimpinan nasional sekarang, baik di pemerintah dan terutama di DPR hasil Pemilu 1999. Mereka naik ke panggung nasional langsung karena rakyat tidak menginginkan Soeharto terus berkuasa. Mereka yang berkorban langsung dalam aksi reformasi, tidak ada yang mengambil manfaat langsung sekarang secara materi atau kekuasaan. Mereka mau berkorban karena tidak menginginkan Indonesia melanjutkan kehidupan Orde Baru. Alangkah tidak adil, kalau setelah aktivis reformasi memberi jalan kepada elite politik baru, lalu Soeharto dibiarkan bebas begitu saja.

Bila Soeharto berhasil diadili dan hukum menyatakan dia salah, maka lebih sedikit orang yang akan meneruskan cara-caranya. Akan berkurang orang yang ingin menjadi Ketua Partai dan Ketua DPR dan Ketua Mahkamah Agung dengan dukungan dana dan jaringan Orde Baru. Makin sedikit orang yang bisa dibayar untuk membuat kerusuhan dan perpecahan dan pemboman. Hukuman bagi Soeharto dan para kroni yang menyalahgunakan kekuasaan bukan untuk balas dendam, tetapi untuk mencegah pembenaran cara-cara yang salah. Karena itu tidak heran bila ratusan pendapat bertaburan hari-hari ini mengenai pengadilan Soeharto, dan judul berita koran di seluruh dunia memuat perkembangannya. Tidak perlu kita sebut lagi semua pendapat itu, kecuali barangkali satu.

BAGAIMANA pendapat Presiden RI? Untunglah pada saat kritis dia jarang salah. Sekarang Gus Dur membawa bola lurus ke arah gawang. Tangkap Tommy, ganti Kapolri, tangkap milisi, lindungi mahasiswa, minta hakim bersih untuk melanjutkan pengadilan Soeharto. "Saya akan menelepon Pejabat Sementara Ketua MA untuk mencari hakim yang bersih, yang tegas, dan janganlah hakim yang bisa dibeli orang," katanya.

Gus Dur memang tampak jengkel, apalagi karena terjadinya perkelahian antara ribuan massa pro-Soeharto dengan anti-Soeharto. "Kasus ini penting untuk menegakkan kekuasaan hukum yang sebenarnya. Bahkan kita pun sudah terlalu baik hati. Pencuri ayam saja ditahan, Pak Harto kok tidak," ucap Gus Dur. Mungkin dia cocok dengan udara Amerika Selatan, kali ini Gus Dur sama dengan kita yang selalu merengek meminta menarik garis pemisah tebal dengan masa lalu. Sekaranglah saatnya. Carpe diem, seize the day.

Ada kabar Gus Dur akan menunjuk juru bicara. Sekarang tidak perlu, sebab Gus Dur sudah menjadi juru bicara kita semua. Bukan saja tugas tim dokter yang belum selesai, tetapi tugas kita semua.

Wimar Witoelar - Asal Usul, 1 Oktober 2000

081000 - Obat Palsu

DOKTER Handrawan Nadesul minggu lalu menulis di tabloid Senior tentang obat palsu. "Orang tidak akan menjadi ayan bila memakai sepatu bermerek palsu," tulisnya. "Tetapi, minum obat palsu? Itu menyangkut urusan nyawa." Dalam artikel yang sama dicantumkan daftar 15 obat palsu hasil razia 1999-2000. Akibat minum/makan obat palsu itu beragam, dari yang tidak mengakibatkan kesembuhan hingga yang menimbulkan komplikasi ke otak dan berakhir dengan kematian. Kondisi yang terlalu serius untuk kita abaikan. Bagaimana bila hal itu terjadi pada Anda dan keluarga Anda?

Awal tahun ini, karena keinginan untuk tampil langsing, seorang dokter Singapura meresepkan Xenical untuk saya. Obat ini bekerja mengeluarkan lemak yang dikonsumsi seseorang. "Obat ini tidak ada di Indonesia, jadi beli sekaligus banyak saja," kata asisten klinik. Di Singapura para dokter memang berizin untuk sekaligus "menjual" obat. Istilahnya, dispensing physician, satu mekanisme untuk memperpendek jalur distribusi obat dan sekaligus bisa berarti merendahkan harga bagi konsumen. Tentu saja ada pula sisi negatif dari kebijakan self dispensing oleh para dokter yang di Indonesia masih ditabukan.

Tetapi, ternyata Xenical bisa dibeli di Indonesia juga. Bahkan tanpa resep. Saya singgah ke sebuah apotek besar di Kebayoran Baru. "Bapak sudah tahu pakai?" tanya staf apotek di telepon. Saya perhatikan kemasannya yang tampak otentik. Sama dengan uang palsu, keabsahan obat tidak bisa dilihat oleh mata awam. Bahkan kemasan dengan hologram yang canggih, katanya, bisa dipalsu.

Ketika untuk kedua kalinya saya datang lagi ke apotek yang sama untuk membeli obat yang sama, saya mengeluh karena harganya sudah naik. "Dollar kan naik lagi, Pak," kata staf apotek. Karena saya tetap mengeluh, dia berbisik kepada saya. "Coba saja di Pasar Baru, Pak. Di sana lebih murah."

Saya memang tidak pergi mencari obat itu ke Pasar Baru, terutama karena menyadari hal itu akan menjadikan diri saya sebagai aksesori dari perdagangan obat gelap di Indonesia. Patronasi konsumen-lah yang-antara lain-membuat bisnis pasar hitam ini tetap eksis.

Belakangan saya diberitahu bahwa obat anti-obesitas itu telah memperoleh tanda daftar di Indonesia dan bisa resmi diperdagangkan dengan resep dokter. Sekalipun demikian, perdagangan obat tanpa resep di Pasar Baru ternyata jalan terus. Salah satu alasan: konsumen enggan pergi dan membayar dokter untuk minta resep. Saya juga mulai menyadari di beberapa surat kabar yang terbit di Surabaya banyak iklan baris yang menawarkan Xenical tanpa resep. Boleh percaya boleh tidak, Viagra (obat anti-impotensi) pun ditawarkan secara bebas melalui iklan baris di Surabaya dan Denpasar. Ruarrrr biasa!

KERAWANAN seperti itu tentulah memberi peluang terhadap insiden obat palsu. Apalagi, obat-obat paten berharga mahal lebih rentan terhadap pemalsuan dibanding yang lain. Pemalsuan rupiah kita kan juga tidak terjadi pada denominasi Rp 1.000, melainkan atas matauang Rp 50 ribu? Perbedaan harga antara yang asli dan yang palsu membuat bisnis pemalsuan ini menarik bagi para operator dunia hitam. What one can make, the other can copy, begitulah pemeo yang berlaku.

Statistik 1994 dari Counterfeiting Intelligence Bureau menunjukkan, kerugian akibat pemalsuan berbagai produk di seluruh dunia mencapai 100 milyar dollar AS per tahun, atau 5 persen dari seluruh perdagangan dunia. Angka ini cukup mengejutkan. Biro yang sama menyebut, di Afrika Barat pemalsuan obat mencapai 25-70 persen dari jumlah obat yang beredar. Ini bukan lagi mengejutkan, tetapi mengerikan.

Pada 1985 ditemukan Fansidar (obat antimalaria) dipalsukan dan beredar luas di Thailand. Berapa ribu orang menderita, bahkan meninggal, karena Fansidar palsu ini tidak sempat terhitung. Di Nigeria diketahui sedikitnya 109 siswa meninggal pada 1990 setelah minum obat palsu. Jelas, kriminalitas ini telah mengakibatkan korban nyawa yang tak terhitung jumlahnya. Belum lagi kerugian lain, seperti biaya pengobatan yang tinggi karena tidak kunjung sembuh, serta hilangnya waktu produktif untuk mencari nafkah karena sakit yang berkepanjangan.

Dari IMS Health, sebuah lembaga riset pasar obat-obatan, diketahui pasar obat Indonesia hanya mencapai Rp 9,5 trilyun setahun. Artinya, pasar obat-obatan Indonesia lebih kecil daripada pasar produk-produk Indofood yang mencapai Rp 11,5 trilyun pada 1999. Kita bisa melihat kenyataan ini dari dua sisi. Pada satu sisi kita boleh berasumsi bahwa rakyat Indonesia amat sehat sehingga tidak perlu obat. Pada sisi lain kita juga bisa berasumsi bahwa rakyat Indonesia belum cukup mampu membeli obat, sehingga kalah prioritas dibanding produk konsumsi lainnya.

KECILNYA pasar obat di Indonesia tentu saja membuat masalah sendiri. Salah satunya adalah karena kebanyakan obat paten masih mengandung kandungan bahan baku impor yang cukup besar. Mengapa bahan baku obat tidak dibuat di Indonesia? Jawabnya sangat klasik: skala ekonominya tidak ketemu.

Bicara tentang hal yang satu ini memang akan membuat kita terputar-putar dalam lingkaran setan. Katanya obat harus murah agar terjangkau oleh masyarakat. Tetapi, bagaimana obat bisa murah kalau pabrikan harus berhadapan dengan berbagai masalah seperti obat palsu? Tata niaga obat juga masih belum mendukung tercapainya harga yang pantas bagi masyarakat.

Masak polisi lagi yang harus kita salahkan bila ternyata obat palsu masih beredar?

Sebagai konsumen, kita ikut menentukan mati-hidupnya matarantai distribusi obat palsu. Bersediakah Anda membeli obat palsu dan memakainya untuk diri sendiri maupun orang yang kita kasihi?

Bondan Winarno - Asal Usul, 8 Oktober 2000

240900 - Raja Senyum dan Raja Humor

MANTAN presiden kedua kita, Pak Harto, dikenal sebagai the smiling general. Dalam cuaca hujan berangin maupun panas terik, malam atau siang, pagi atau sore, Pak Harto selalu senyum. Dan saya kira, senyumnya agak kelihatan khas.

Namun, saya tidak tahu apakah senyumnya manis, tulus, sinis, hangat atau dingin mematikan. Kalau orang bisa senyum dalam segala cuaca, senyum itu sudah pasti sukar ditebak apa kandungan maknanya.

Kelihatannya, secara lahiriah, segala sesuatu berarti ya, karena selain senyum, beliau juga gemar manggut-manggut, mengangguk-angguk seolah apa pun ditanggapi secara positif.

Mungkin ini simbol paling menyesatkan bagi orang yang tak begitu paham akan sikap dan tingkah laku sang Presiden yang kini sudah lengser keprabon madek Pandito itu.

Maka, the smiling general memang sangat tepat dijadikan julukannya. Dalam bahasa Inggris yang benar, ia berarti jenderal murah senyum. Tetapi dalam pemahaman yang agak salah, ternyata bisa benar juga kalau senyum itu bersifat general, artinya senyuman umum, karena sekali lagi, segala hal ditanggapi dengan senyum.

Ketika sesaat terjadi salah pengertian soal Nawaksara dan pers kita memuatnya, Menteri Muda Hayono Isman mungkin sedikit heran, atau malah bingung, karena ketika menghadap Pak Harto menteri ini yakin Pak Harto setuju diadakan seminar nasional mengenai Nawaksara.

Namun, mengapa tiba-tiba timbul pemberitaan Pak Harto belum tentu menyetujuinya?

Maka, Pak Emil (Emil Salim) pun secara khusus menyelidiki untuk secara langsung mengetahui bagaimana situasi ketika menteri muda itu berdialog.

"Mimik Pak Harto bagaimana ketika menyatakan ya kepada Anda?" tanya Pak Emil. Tokoh senior ini bukan orang Jawa, dan juga tak bisa berbahasa Jawa, tetapi sangat paham akan Pak Harto berkat pergaulan yang begitu lama.

"Mimik itu yang lebih penting dipahami," kata Pak Emil kemudian. Dan intinya, Pak Emil juga yakin bahwa ya itu berarti tidak.

Hanya orang Jawa, atau mungkin khususnya hanya Pak Harto, yang bisa begitu.

Tahun 1970-an, kabarnya datang serombongan mahasiswa dari Bandung menemui Pak Harto. Mereka mengajukan tuntutan, dan kritik pembangunan yang pada intinya di mata para mahasiswa itu, pembangunan mulai kelihatan menyimpang. Saat itu Pak Harto masih murah hati-selain murah senyum-dan suara kaum muda itu pun ditampung. Setidaknya, nyata mereka bisa langsung berdialog, dan masing-masing tiba di rumah dengan selamat. Tak ada orang berseragam membuntuti mereka.

Apa yang terjadi selama dialog? Sebenarnya dialog hampir tak ada. Pak Harto tak suka dialog. Saat itu yang terjadi cuma monolog, karena para mahasiswa itu cuma berganti-ganti bicara, menyampaikan segala gagasan ideal yang mereka pahami mengenai pembangunan, dan Pak Harto kabarnya selama itu manggut-manggut terus, sambil senyum dengan sejuta makna itu.

Selebihnya, setelah semua aspirasi mahasiswa didengar, Pak Harto konon cuma menyatakan satu kata, "Sudah?" Dan entah pesona apa yang menyertai kata itu, kabarnya para mahasiswa pun lantas mengangguk, dan pulang dengan tertibnya, sambil membawa perasaan bahwa mereka pulang dengan "kemenangan".

Alangkah efektifnya kata bila semua corak dialog bisa cuma dijawab dengan senyum, ditambah satu dua kata ringkas seperti itu. Tetapi, betapa kacaunya hidup dan segenap tatanan di dalamnya, bila tiap saat lahir Pak Harto dan Menteri Hayono terus-menerus.

Hidup pasti akan selalu diwarnai salah paham. Dan anehnya, sebagai raja senyum, Pak Harto pasti cuma senyum pula menghadapi kesalahpahaman menteri Hayono. Pak Harto mungkin saja berkata geli dalam hati, "Hi, hi, hi, cah cilik, biarkan saja."

Senyum mungkin diplomasi standar pada tingkat internasional, dan paling efektif untuk menbangun pengertian bersama. Kata, atau kalimat, bisa disalahartikan. Tetapi senyum tidak.

Senyum itu simbol. Dan simbol, kita tahu, mainan orang dewasa. Biasanya cuma orang dewasa yang terampil berdialog dalam bahasa simbol, sasmita, dan segenap sandi, yang tak perlu kata-kata.

"BILA Pak Harto raja senyum, raja apa presiden lainnya?"

Saya tidak tahu yang lain-lain, tetapi Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mungkin raja humor. Nashrudin, Abu Nawas, Mang Bodor, Asmuni, Bing Slamet, Ateng, Petruk, Gareng, Semar, Bagong, Butet, Jadug, Kiai Mus, kiai Langitan, para pastor, para pendita, para biksu, ketoprak humor, ketoprak "jampi" stres, Ainun Nadjib, mungkin semua kalah dari Gus Dur.

Ketika menonton ketoprak humor di Taman Ismail Marzuki beberapa bulan lalu, Ina, putri Gus Dur sendiri, menepuk-nepuk punggung sang ayah sambil berkata, "Pa, tenang saja Pa, Papa tak mungkin kalah dari mereka," kata putrinya. Dan Gus Dur pun terkekeh-kekeh.

Dunia memang aneh. Raja humor ini sekarang menjadi presiden sebuah republik yang mendekati kebangkrutan sosial, kebudayaan, politik dan ekonominya. Dan republik itu disebut Indonesia. Dan sayangnya itu negeri kita.

Gus Dur, si raja humor terampil mengejek orang lain, seterampil ia mengejek dirinya sendiri. Ia, misalnya, berkata bahwa Pak Harto itu dulu presiden new order. Pak Habibie, presiden in order boleh juga out of order, dan dia sendiri?

"Saya presiden no order," katanya, kemudian terkekeh-kekeh mendahului bunyi tawa publik yang mendengarnya. "Dan apa hubungannya presiden new order dari no order?"

Keduanya sebetulnya sama saja. Sang raja senyum perlu interpretasi dari orang lain agar senyum itu dipahami akurat. Sang raja humor perlu interpretasi orang di kiri kanannya, agar pernyataan politik, perintah, atau ucapannya bisa dilaksanakan untuk sebesar mungkin kesejahteraan rakyatnya. Kalau tidak negara bisa repot. Raja senyum cuma senyum. Raja humor-keduanya presiden-cuma terkekeh-kekeh sambil mengejek, "Begitu saja kok repot." Kalau menuruti Gus Dur, repot betul kita.

Mohamad Sobary - Asal Usul, 24 September 2000

151000 - Sang Maha Yogi

PADEPOKAN itu berdiri di lereng sebuah gunung. Penduduknya tak lebih dari seratus keluarga. Hampir semua lelaki di sana menjadi cantrik padepokan.

Guru mereka seorang Brahmana suci yang berwibawa. Tutur katanya lembut. Suaranya mewakili kebenaran. Tindakannya cermin dan suriteladan mulia. Sang Maha Yogi, sebutan Brahmana suci tadi, pendeknya menjadi kiblat, orientasi nilai, acuan moral, dan simbol keluhuran.

Dalam usia seratus tahun sang Maha Yogi masih segar bugar. Pagi-pagi sekali sudah bangun dan memberi latihan rohani para cantrik. Tetapi begitu matahari terbit, orang suci itu ikut turun ke sawah bersama warga dewasa padepokan.

Syahdan, suatu hari sang Maha Yogi memberi tahu para cantrik, bahwa padepokan mereka akan mendapat cobaan berat. Semua pihak diminta tabah, sabar, dan tawakal, dan tak banyak mengeluh.

"Hadapi cobaan itu nanti dengan tawakal, dan tenang, seperti selama ini kalian menikmati berkah," kata beliau.

"Ampun sang Maha Yogi, dapatkah kiranya cobaan itu dihindarkan? Atau ditunda?" tanya seorang cantrik.

"Kenduri saja tak bisa kau tunda, apa lagi ini urusan langit."

"Tapi betulkah hal itu akan datang, wahai Brahmana suci?"

"Apa kau meragukanku? Juragan manuk (penjual burung) boleh bohong, tetapi sasmita langit tidak," jawab sang Maha Yogi.

Tak lama kemudian terjadilah gempa bumi. Mula-mula pelan. Tapi agaknya ini bukan gempa sembarang gempa. Esok harinya gempa terjadi lagi, lagi dan lagi. Dan sang Maha Yogi menangis melihat gelagat langit itu menjadi kenyataan. Pelan-pelan warga padepokan mengungsi, jauh dari pusat bencana. Pelan-pelan desa itu menjadi hampir kosong.

Bagi sang Maha Yogi, jiwa yang pasrah tak takut bencana apa pun. Ia tak takut mati. Maka, segenap usul, saran, permohonan, maupun ajakan untuk pergi dari tempat itu sama sekali tak ada gunanya. Para cantrik kehabisan akal. Padahal, dari hari ke hari, gempa semakin dahsyat.

"Keadaan tak tertolong lagi, sang Maha Yogi," kata Sodiq pada hari paling akhir.

"Pergilah Sodiq, kalau imanmu pun mulai goyah," jawab sang Maha Yogi. Sodiq terus-menerus berusaha membujuk, tetapi Brahmana saleh ini bergeming. Singkat kata, Sodiq pun menjadi orang terakhir yang pergi menyelamatkan diri. Dan sesudah itu, ledakan mahadahsyat terjadi. Rumah-rumah lenyap. Bukit-bukit terpelanting. Dan padepokan pun rata menjadi dataran hampa.

Sebagai orang suci, diam-diam dalam hati ia menyalahkan Tuhan, kenapa janji Tuhan bisa meleset. Kenapa Tuhan tak menolong padahal ia sudah tabah, ikhlas, dan tawakal?

"Siapa bilang Tuhan tak menolongmu?" terdengar suara gaib. "Bukankah nyata, Tuhan menyuruh orang-orangmu sendiri, dan kamu tak mau mendengar? Bukankah kau menolak Sodiq, dan itu berarti menolak pertolongan Tuhan?"

Sang Maha Yogi pun pingsan demi mendengar suara itu. Dan ketika para cantrik berhasil membuat tangga ke gunung itu, di puncak sana sang Maha Yogi sudah pralaya, menggeletak tak bernyawa.

MUNGKIN Gus Dur bisa disebut golongan Brahmana. Ia Brahmana-raja karena ia kiai tapi menjadi presiden. Di kalangan para Brahmana, mungkin diam-diam ada persamaan sikap, tingkah laku dan cara pandang tentang hidup.

Mereka-karena dekat dengan Tuhan-merasa selalu yakin menghadapi apa saja. Dan pada saat orang-orang biasa sudah bingung, para Brahmana, termasuk Gus Dur, tidak. Karena itu, ia pun enggan mendengar saran, permintaan, dan ajakan orang lain.

Kiai Mus, juga seorang Maha Yogi, dan budayawan terkemuka, pernah bercerita beliau menyampaikan pesan para kiai senior kepada Gus Dur.

"Gus, melihat gelagat kurang enak sekarang, kiai-kiai senior pada gelisah," katanya. "Semua sepakat, kalau bisa Gus Dur jangan memperlebar ruang permusuhan dengan siapa pun."

Nasihat ini keluar secara tulus dari orang-orang tercinta yang mencintai Gus Dur dan membantu tanpa pamrih apa pun. Tetapi, apa jawab sang Brahmana-raja Gus Dur?

"Wah, ya, kasihan santrinya kalau kiai-kiai masih pada suka gelisah seperti itu," katanya.

Saya tahu Gus Dur senang bergurau. Jawaban itu pun ces pleng dari sudut gurauan. Tetapi, ia tahu bukan itu jawaban semestinya.

Ia memang tak takut kehilangan jabatan presiden. Ia pun tak takut dengan lawan-lawan politiknya. Semua terobosan dan manuver politiknya selama ini membuktikan itu.

Maka, nasihat, saran, dan imbauan tulus dari para sahabat, teman-teman yang ikut prihatin, tak pernah didengar. Semua cukup menjadi bahan kelakar. Semua hal ditutup dengan gurau, gurau dan ketawa meriah.

Gus, meskipun wali, sampean lupa satu hal: tak takut kehilangan jabatan tak berarti harus kehilangan. Lagi pula Gus, hidup-juga dalam politik-tak bisa dikalkulasi, di atas landasan kalah-menang, atau takut-berani terus-menerus.

Kalah-menang, atau takut-berani; itu paradigma pemikiran para kesatria-tentara-dan bukan cara pandang kaum Brahmana yang selalu disebut sang Maha Yogi itu.

Sampean selalu menang tetapi rakyat dan seluruh bangsa harus membayar mahal, sangat, sangat mahal kemenangan itu. Sampean menang rakyat terinjak, sampean kalah apa lagi.

Dalam politik, ketulusan seperti ini-juga ketulusan Mas Djohan, Mas Silam, para kiai, dan sahabat-sahabat lain-sangat mahal harganya. Jangan sia-siakan ketulusan mereka, Sodiq dan Brahmana dari Padepokan itu memberi kita cermin. Silakan sang Maha Yogi menimbang sendiri.

Mohamad Sobary - Asal Usul, 15 Oktober 2000

040600 - Pemerintah Sebagai Fasilitator

DALAM minggu ini, Emil Salim akan merayakan ulang tahunnya yang ke-70. Dalam statistik kependudukan, tidak banyak penduduk Indonesia yang mencapai usia 70 tahun. Tentu akan lebih sedikit lagi kalau kita melihat statistik penduduk Indonesia yang pada usia 70 tahun masih sangat in charge dan in shape.

Pak Emil adalah juga salah satu dari sedikit pemimpin nasional yang sangat populis dalam pendekatannya. Sejak awal ia konsisten dengan apa yang sekarang disebut sebagai multistakeholders approach. Ketika menjadi Menteri Negara PPLH, ia menyadari benar bahwa Pemerintah tidak bisa sendirian. Tetapi, pada waktu itu LSM (lembaga swadaya masyarakat) belum menjadi mode di Indonesia. Maka ia pun menjadi fasilitator untuk melembagakan Kelompok 10-sebuah koalisi LSM lingkungan yang kemudian menumbuhkan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), sebuah LSM lingkungan yang kini sangat berpengaruh. Pak Emil bahkan memberi fasilitas ruang kantor bagi Kelompok 10 dan Walhi di gedung Kantor Menteri Negara PPLH. Sekalipun demikian, ia juga berhati-hati untuk tidak mengkooptasi LSM-LSM yang diberinya fasilitas. Ia sadar bahwa LSM harus diberdayakan menjadi mitra yang mandiri.

Erna Witoelar yang menjadi Ketua Umum Walhi pertama mengakui, "Kami bersepakat atas banyak hal, tetapi juga tidak bersepakat dalam beberapa hal. Agree to disagree justru merupakan kesepakatan yang saling kami hargai." Pak Emil secara avant garde menerapkan demokrasi dalam kehidupan berlembaga di negeri ini.

Ketika menjadi Ketua Umum Panitia Nasional Indonesia Emas, Pak Emil juga menerapkan secara konsisten konsep agar Panitia Nasional (dalam hal ini Pemerintah) hanya berfungsi sebagai fasilitator. Cacuk Sudarijanto yang ketika itu menjadi Direktur Pelaksana mengatakan, gagasan Pemerintah sebagai fasilitator itulah yang merupakan kunci sukses. "Perhelatan nasional itu benar-benar ownership-nya ada di tangan masyarakat. Alhasil, dengan cara itu kita semua berhasil menyelenggarakan pesta rakyat dengan biaya sangat kecil di tingkat nasional. Masyarakat-lah yang mendanai sendiri kendurinya masing-masing."

KITA masih ingat betapa menjelang peringatan Indonesia Emas itu sepanjang Pantai Utara Jawa serta di berbagai pelosok Tanah Air, semarak dengan penjor lampu warna-warni. Masyarakat Perancis menyumbang kembang api senilai Rp 1 milyar untuk kenduri nasional di Silang Monas ketika warga Jakarta dengan pakaian tradisional mengusung tumpeng masing-masing untuk disantap bersama pada puncak acara.

"Pak Emil bukanlah orang yang cenderung melakukan micro-management," kata Cacuk mengungkapkan salah satu kelebihan lain Pak Emil. "Ia hanya mengemukakan garis besar pemikirannya, kemudian kami menerjemahkannya menjadi rencana tindakan." Kiat itu pula yang mampu membuat Pak Emil seolah-olah menjadi naga berkepala tujuh: ia mampu melakukan berbagai pekerjaan secara simultan. Erna Witoelar, Linus Simandjuntak, dan beberapa orang yang dekat dengan Pak Emil, menjadi saksi betapa seringkali Pak Emil mampu menghadiri tiga rapat sekaligus di beberapa ruang berbeda di kantornya dulu.

Penghampiran itu membuat kita jadi paham akan sebuah kiat Pak Emil yang sangat terkenal, yaitu Sambil Berlayar Membangun Perahu. Jangan harapkan kesempurnaan pada titik berangkat. Sambil berjalan, kita sempurnakan dan lengkapi perangkat yang diperlukan. "Ketika Republik Indonesia diproklamasikan, bangsa kita kan juga belum mempunyai semua perangkat kelengkapannya," kilah Pak Emil.

Kalaupun Pak Emil akhirnya gagal memposisikan dirinya melalui Gerakan Masyarakat Madani untuk menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia, kita harus mengakuinya sebagai salah satu dari sedikit pemimpin bangsa yang mampu bertahan lama menjadi pemimpin yang bersih dan berguna. Sedikitnya ada tiga elemen yang mungkin membuatnya mencapai prestasi itu: kebersihan (dalam arti bebas KKN), kenegarawanan, dan kedekatannya dengan masyarakat. Sikap dan gayanya yang sangat populis membuat kenegarawanannya mempunyai warna yang sangat khas.

KALAU diamat-amati, Pak Emil memang bisa dianggap sebagai seorang survivor. Pada masa Presiden Soeharto, ia survived menjadi menteri negara penyempurnaan dan pembersihan aparatur negara (hanya dua tahun karena usia kabinet yang pendek), menteri perhubungan selama satu periode, menteri negara pengawasan pembangunan dan lingkungan hidup selama satu periode, dan kemudian menjadi menteri negara kependudukan dan lingkungan hidup selama dua periode. Setelah tidak di kabinet, ia juga masih dipercaya Pak Harto untuk mengetuai Panitia Nasional Indonesia Emas. Pada masa Presiden Habibie ia memang tidak memegang jabatan pemerintah, tetapi dalam "celah" itu Bank Dunia mempercayainya memimpin CRP (Community Recovery Program) yang menyantuni berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat di masa krisis. Pada masa Presiden Gus Dur ia diangkat sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional.

Jarang ada pejabat yang bisa bertahan "terpakai" begitu lama sebagai tokoh penting. Barangkali hanya Prof Dr Widjojo Nitisastro saja yang bisa menyamainya sebagai survivor. Dan itu bukan tanpa preseden dan bukan pula karena kesamaan hari ulang tahun Pak Emil dan Pak Harto. Pak Widjojo dan Pak Emil adalah sama-sama anggota "pasukan elite" think tank Seskoad yang pada 1967 diangkat Presiden Soeharto sebagai tim penasihat ekonomi yang kemudian terbukti sangat andal.

Tidak hanya itu! Sekalipun Pak Emil tidak lagi berada di kabinet sekarang ini, sebetulnya ia tetap terwakili di kabinet. Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah Erna Witoelar tanpa tedeng aling-aling mengakui ia adalah binaan langsung Pak Emil dan memakai mindset yang sama dalam penghampiran pembangunan. Pak Emil tetap "meninggalkan belang"-nya di kabinet yang sedang berjalan.

Selamat ulang tahun, Pak Emil. It's not how long you make it, but how you make it long.

Bondan Winarno - Asal Usul, 4 Juni 2000

110600 - Jiwa

BUKAN salahnya bila ia menuang sup panas itu ke dalam piring ceper dan bukan ke dalam mangkuk, karena bocah itu tidak tahu. Harga kebodohan memang mahal. Dan memalukan.

Kebodohan-mungkin ketidaktahuan-itulah yang membuatnya merasa salah, malu, gemetar, dan gugup. Sup panas itu akibatnya tumpah. Dan ia makin gemetar, makin malu, makin gugup. Apa lagi setelah Sarah- gadis kecil, lincah dan ceria itu -tertawa. Sarah tertawa spontan, murni, tak menghina dan tak meremehkan. Tetapi, bagi Yakob, tokoh utama dalam novel mengharukan, Yakob Si Lurus Hati itu, tawa itu menjadi tamparan bagi jiwa dan harga dirinya. Maka Yakob pun lari meninggalkan meja makan, sebuah tempat terkutuk yang menegangkan syaraf dan jiwanya, menuju ke pojok gelap di ruang tamu yang begitu mewah di rumah Tuan Drumond, orangtua Sarah, yang baru saja menjadi orangtua angkatnya.

Yakob anak "liar" yang hidup di sebuah perahu di sepanjang Sungai Thames di Inggris. Ibunya mati karena minuman keras. Ayahnya mati tenggelam. Di rumah Tuan Drumond yang memeliharanya kemudian, Yakob bersentuhan dengan tata krama kelas atas yang membuatnya gerah, asing, dan menakutkan. Ia gugup ketika di meja makan itu tertata piring sendok, dan garpu, dan pisau. Ia tak tahu apa semua itu gunanya.

DI ruang Peacock, Hotel Imperial yang supermegah di Tokyo, berlangsung jamuan malam. Di sana hadir para pemimpin resmi dan tidak resmi, dan pengusaha raksasa, dari tiga belas negara Asia. Saya pun hadir. Secara pribadi saya diundang. Prakteknya saya pun resmi mewakili Antara.

Siapa duduk semeja bundar dengan siapa, tokoh apa duduk di deretan mana, pasti ada patokan seni manajemen pergaulan tokoh-tokoh yang dianut panitia. Hadir di tengah orang banyak, dengan aturan serba resmi, demi sebuah ritus resmi pula, sungguh bukan urusan sederhana bagi saya.

Taplak meja putih, serbet putih, dan garpu sendok dan pisau itu juga bikin gugup saya. Empat garpu, dan empat pisau di bagian kiri dan kanan piring saya, dan satu garpu lebih kecil dan satu sendok juga kecil di bagian depan piring saya itu, apakah masing-masing gunanya?

Biarpun bankir besar di sebelah kiri dan usahawan di kanan saya itu ramah, serta tak mempersoalkan apakah saya terbiasa atau malah alergi terhadap semua tata krama itu, saya tak bisa bohong pada diri sendiri. Pada detik itu pula saya ingat sahabat imajiner saya, Yakob, yang menyosor sup di piring seperti bebek, dan mempermalukan diri sendiri karena menumpahkannya di dalam sebuah acara rutin yang begitu tertib, begitu sopan dan khusyuk.

Yakob dan saya memang pribadi yang tak cocok dengan iklim dan tuntutan resmi seperti itu. Dalam hidup mungkin memang ada, atau wajib ada, orang yang jiwanya "berbunyi": sekali petani tetap petani.

SURAT kabar Nikkei-bahasa Jepangnya Nihon Keizai Shimbun-intinya cuma koran biasa, dan statusnya pun cuma keempat terbesar di Jepang. Jumlah oplahnya tiga jutaan.

Tiap tahun perusahaan ini menyelenggarakan pertemuan tokoh Asia untuk berpikir tentang Asia. Cuma orang Asia yang tahu-atau wajib memikirkan-nasib Asia, mungkin diam-diam menjadi landasan pikiran para tokoh Nikkei.

Asia sebuah benua besar, dihuni bangsa-bangsa yang bayak jumlahnya, sangat bervariasi, dan kompleks peradabannya. Bila sebuah konferensi dua hari hendak membahas perkara hidup bangsa Asia, tak pelak lagi di sana ada watak ambisius dan penyederhanaan masalah secara berlebihan.

Namun, di balik itu semua di antara petinggi koran itu ada pikiran besar dan langkah besar berjangka panjang. Ada pikiran sistematis dan strategis tentang nasib kolektif rumpun bangsa Asia.

Tiap tahun topik konferensi berganti. Tahun ini pilihan topik dari panitia The Future of Asia. Subtopik bahasan yang menarik mungkin Jalan Menuju Refitalisasi Asia dan program penyembuhan dari krisis ekonomi dan kerjasama ekonomi.

The Future of Asia mungkin gambaran mengenai Asian Dream. Di tengah himpitan krisis ekonomi sekarang lahir pikiran penting dan strategis mengenai kerja sama dan kesediaan saling membantu dengan sentimen ke Asia-an yang lebih dalam, lebih mendesak.

Ini soal penting. Tetapi, ketika wartawan Nikkei mewawancarai saya dan bertanya apa saran saya buat tema konferensi tahun depan, saya bilang, Reinventing Asian Soul mungkin lebih mendasar dan lebih menjawab kebutuhan kolektif rumpun bangsa Asia. Juga bangsa Indonesia, yang kini tengah kehilangan jiwanya.

IDE mengenai Reinventing Asian Soul itu datang dari pengalaman lokal Indonesia. Ketika masih hidup di bawah bayangan panjang seorang jendral yang mengusai kita tiga puluh tahun lebih, kita tak kehilangan akal sehat. Kita secara individual maupun kolektif waktu itu masih optimis musim akan berganti dan hidup akan bisa ditata ulang lebih baik. Masih ada harapan pada tokoh gerakan perlawanan politik maupun kebudayaan, bahwa kelak mereka akan tetap konsisten dan setia pada perjuangan mereka.

Namun, setelah mereka sendiri ternyata berkuasa dan menjadi kelompok "elite" politik, senjata mereka tiba-tiba tumpul. Mereka tidak lagi kritis terhadap keadaan itu, tidak elite dan tidak sensitif terhadap urusan paling mendasar bagi seluruh bangsa.

Dari hari ke hari mereka cuma bicara pembagian kekuasaan di antara teman, atau usaha menjegal lawan politik buat kepentingan partai dan golongan. Orang mengira reformasi sudah memberi jaminan yang kita butuhkan. Dan para pemimpin kita pun sibuk menyuguhkan perdebatan politik lewat media. Mereka mengira rakyat membutuhkan itu semua. Mungkin karena cuma itu yang bisa mereka lakukan.

Sebuah perusahaan penerbitan di Jepang sangat serius memikirkan nasib hari depan Asia. Di Indonesia, sebuah bangsa yang mengaku besar, kehilangan nalar memikirkan nasibnya sendiri. Dan dari hari-ke hari hidup makin tak menentu. Orang makin cemas, makin takut.

Di NTT orang mengejek diri sendiri. Katanya NTT = Nasib Tak Tertentu, dan jalan keluarnya cuma harapan. Maka NTT pun beralih arti Nanti Tuhan Tolong.

Apa kata orang Jakarta di gedung DPR/MPR? Mereka bicara kekuasaan dan kekuasaan, tetapi mereka lupa memberi jiwa yang adil, yang manusiawi dan damai pada kekuasaan tadi.

Mohamad Sobary - Asal Usul, 11 Juni 2000

180600 - Kronis, tetapi tidak Akut

KATANYA, bakteri selalu ada dalam setiap tubuh manusia. Kalau daya tahan tubuh sedang rendah, bakteri itu bisa menimbulkan penyakit. Akan tetapi kalau kondisi badan kita kuat, bakteri itu tidak berbahaya. Memang berkeliaran, tetapi biarin aja, buat apa repot-repot.

Masyarakat Indonesia sedang lemah, banyak yang mengomel bahwa elite politik ribut melulu, pers terlalu bebas, pakar membingungkan. Padahal bukan itu soalnya. Yang jadi soal, kita lemah dan merasa tidak berdaya. Disiplin sosial, keacuhan dan kroni Soeharto membuat kita lemah. Sementara pemerintah tidak menggunakan kesempatan. Tidak memperbaiki ekonomi, tidak memberi kepemimpinan, terutama tidak menyampaikan isyarat sejuk. Padahal, pada dasarnya tubuh Indonesia ini sangat kuat. Berasal dari keragaman, jati diri yang kuat, memiliki pemikir dan penyair layak untuk negara besar.

Demokrasi tidak bisa tumbuh kalau kekuasaan dan kontra-kekuasaan melecehkannya. Perspektif akhirnya hilang, Buloggate memang jelek, tetapi Baligate lebih jelek, apalagi Soehartogate yang terdiri atas ribuan kasus. Skandal makin mengecil dari Suharto ke Habibie sampai Gus Dur, tetapi Soeharto dibiarkan dan Gus Dur diributkan. Koalisi reformasi melupakan tanggung jawab mereka sebagai elite politik baru. Malah Golkar yang bertanggung jawab atas keambrukan masa lalu, dibiarkan bersolek.

Indonesia sakit, tetapi tidak akan ambruk. Walaupun bakteri berkeliaran seperti penyerang Belanda dalam wilayah pertahanan Denmark, perjalanan suatu negara lebih dari 2 x 45 menit. Kita memang sakit kronis, bertahun-tahun, tidak hilang-hilang, tetapi tidak akut, tidak segera berbahaya. Penyakit kita lebih berat dari ketombe yang sama sekali tidak berbahaya kecuali di iklan TV, tetapi bukan penyakit yang bisa mematikan secara mendadak.

Pemikiran ini mendasari laporan berjudul Chronic, but not Acute yang diterbitkan International Crisis Group (ICG), suatu lembaga internasional yang berpusat di Brussel. Harold Crouch, Indonesianis senior yang kini bergabung di ICG, menciptakan judul ini untuk analisa Indonesia yang mendapat kehormatan terdaftar sebagai salah satu negara krisis di dunia. Menurut ICG: Krisis Indonesia dewasa ini bersifat kronis dan tidak akut. Negara ini menghadapi masalah dan tantangan serius dalam bidang politik, kewilayahan, kemasyarakatan, hukum dan ekonomi tetapi tidak berada pada titik pecah dan terjun kedalam khaos. Di lain pihak, pemerintah belum mampu menunjukkan jalan kearah penyelesaian tantangan-tantangan ini.

KARENA krisis Indonesia sebagian terkait dengan krisis Asia, perhatikanlah negara yang tidak jauh dari kita dalam jarak, ukuran pembangunan dan suasana. Hari-hari ini saya kebetulan berada di Bangkok. Maklum, orang senang makan, jadi yang terkesan adalah banyaknya makanan kaki lima yang bermutu tinggi. Dari dulu memang enak, tetapi sekarang mencapai keragaman yang luarbiasa. Mulai dari masakan kari dan sayur mayur dan ikan dan daging, kemudian jajanan sate, daging panggang, pisang goreng sampai sandwich jenis Barat yang dipotong kecil-kecil dan kopi susu yang lebih enak dari hotel berbintang. Katanya kaki lima menjadi semarak karena jalan semakin macet, dan profesional membeli makanan ini untuk dimakan di mobil dan di kantor dan di kereta api dalam kota. Dengan daya beli yang pulih, pasar menjadi semarak.

Kemudian kereta api dalam kota, suatu kenikmatan tersendiri. Namanya Skytrain, dalam kurang dari setahun mengubah peta Kota Bangkok. Jarak waktu satu jam sekarang dicapai dalam waktu lima menit. Kita tidak lagi berpikir mengenai macet tetapi memilih tempat yang dilalui Skytrain. Untuk lihat-lihat juga lumayan, menghilangkan stres kerja di kota besar. Bagusnya, kereta api kota ini tidak dibangun di atas korupsi dan nepotisme seorang pemimpin politik, tetapi masuk bagian perencanaan ekonomi yang sudah lama dan kini bisa dihidupkan lagi.

IMF mengatakan Kamis lalu bahwa perekonomian Thailand mungkin tumbuh lebih cepat dan lebih tinggi (sampai lima persen) dari perkiraan, dengan didorong oleh konsumsi dalam negeri dan ekspor. Sementara pemerintah Indonesia masih kucing-kudingan dengan IMF dan memberi peluang kepada bakteri politik untuk membodohkan masyarakat, di Thailand IMF baru menyelesaikan final review mengakhiri paket bantuan sebesar USD 17 Milyar yang diberikan pada tahun 1997. Suku bunga diperkirakan akan mencapai rekor terendah sementara inflasi tetap sekitar 2 sampai 3 persen. Masalah terbesar yang dihadapi Thailand adalah kredit macet yang hampir 50 persen. Hampir setengah dari kredit macet ini telah mengalami restrukturisasai dengan arbitrasi pemerintah, tapi masih tersisa kira-kira 400 Trilyun kalau dihitung dalam Rupiah hari ini. Ini patut membuat kita mengelus dada, karena kita tahu BPPN kita belum saja sempat membuktikan kesungguhannya di tengah badai politik kecil dan besar yang mengganggu (dan diciptakan oleh) Pemerintah Indonesia.

Bakteri kita membuat penyakit, karena pemerintahan kita lemah. Di Thailand, pemerintahan sering lemah, tetapi masyarakat tidak segan menggantinya. Antara 1970 dan 2000, pemerintah telah berganti belasan kali. Walaupun sekali dua kali cukup kejam, tapi pada umumnya pergantian pemerintah dianggap proses politik saja, bukan suatu bedah masyarakat. Mereka tidak terpukau pada konsep kita bahwa kekuasaan harus dipertahankan untuk menjamin kestabilan. Dari Presiden yang keras sampai yang aneh sampai yang lucu, kita terpukau, melemah dan membiarkan bakteri berpesta. Sekarang kita sadar bahwa masyarakat perlu diperkuat. Apakah dengan aliansi baru, dengan Poros Nasional, dengan Rembug Nasional, dengan wacana, tapi yang jelas dengan percaya diri. Walaupun kondisi kita kronis, tetapi tidak akut. Kita boleh mencoba memperkuat diri.

Wimar Witoelar - Asal Usul, 18 Juni 2000

250600 - BPPN dan Treuhand

SEJARAH mengajarkan banyak hal kepada kita. Sayangnya, begitu banyak pelajaran sejarah yang kita sia-siakan. Treuhandanstalt, biasa disingkat Treuhand (baca: troihand), adalah badan interim yang dilembagakan pada 1990 ketika Jerman Barat dan Jerman Timur mengalami unifikasi. Treuhand bertugas melakukan restrukturisasi perusahaan Jerman Timur agar dapat dijual kepada investor baru.

Salah seorang Wakil Ketua Treuhand -seorang mayor jenderal tentara Jerman yang bergelar doktor filsafat- pernah saya undang bicara di Jakarta pada akhir 1998. Sayangnya, ketika itu ia tidak sempat dimanfaatkan BPPN untuk bertukar pengalaman. Padahal, begitu banyak kemiripan BPPN dengan Treuhand.

Yang paling saya sayangkan adalah lolosnya "pelajaran" tentang Leitungsausschuss (steering committee) yang ketika itu diselenggarakan Treuhand. Saya tidak mengatakan ini adalah formula sukses atau kiat yang benar, tetapi setidaknya kiat itulah yang membuat Treuhand sukses.

Leitungsausschuss terdiri atas 60 orang pakar yang secara transparan direkrut dari masyarakat bisnis. Leitungsausschuss melakukan pemeringkatan terhadap 12.500 lembaga bisnis yang akan direstruktur. Hasil penilaian mereka, diikuti rencana restrukturisasi terhadap masing-masing kelompok peringkat, kemudian diajukan kepada dewan pimpinan Treuhand untuk menjadi bahan keputusan terhadap tindakan yang akan dilakukan.

Ketika didirikan, Treuhand tidak dimaksud untuk menghadapi situasi krisis ekonomi. Ia dianggap sebagai privatization agency untuk "menjual" lembaga-lembaga bisnis Jerman Timur kepada investor. Yang kita ingat pula dari sejarah adalah pada tahun 1980-an, Jerman Timur mengalami fase over-industrialization karena pemusatan perencanaan. Bila memakai bahasa developmentalis, yang dilakukan Treuhand adalah: restrukturisasi dari centrally-planned economy ke free enterprise.

Label-label kegiatan itulah yang sebenarnya merupakan atribut Treuhand. Tetapi, celakanya, sama dengan BPPN, Treuhand pun lebih populer di media massa dengan label-label yang merendahkan, antara lain: kantor lelang. Tugas Treuhand ketika itu memang harus melego sekitar 12.500 lembaga usaha dan 15.000 properti yang menjadi aset perusahaan-perusahaan itu. Bandingkan dengan BPPN yang harus merestrukturisasi sekitar 170.000 lembaga usaha.

ORANG memang cenderung menilai sesuatu berdasarkan keluaran akhirnya, tanpa melihat proses. Treuhand dilecehkan hanya sebagai kantor lelang. Padahal, perusahaan yang dilelang itu harus terlebih dulu direstrukturisasi. Salah satu elemen restrukturisasi yang paling berat dari perusahaan Jerman Timur adalah membuatnya akrab lingkungan. Pada masa sebelum unifikasi, kegiatan usaha Jerman Timur boleh dikata mengabaikan kaidah lingkungan dan kelestarian sumber daya alam. Pengalaman perusahaan Indonesia yang ingin mencapai kualifikasi ISO-14001 menunjukkan, ongkos untuk compliance terhadap manajemen lingkungan sangat mahal. Tanpa melalui restrukturisasi dan menjadi ramah lingkungan, banyak lembaga bisnis Jerman Timur yang tidak akan laku dijual.

Treuhand beruntung karena ongkos restrukturisasi ditanggung pemerintah. Tetapi, itu tidak membebaskannya dari tuduhan mengobral jualannya supaya gampang dan cepat laku. Sebuah puri di atas lahan yang luas, misalnya, dijual hanya dengan harga setara Rp 8 milyar. Wah, bahkan rumah yang lebih kecil dengan halaman lebih kecil di Pondok Indah saja bisa berharga segitu.

Namun, itu adalah cara memandang pars pro toto (sebagian untuk seluruhnya). Orang lupa, pembeli properti semurah itu harus menjamin berlangsungnya lapangan kerja yang disediakan properti itu sebelumnya.

Dalam kasus di atas orang tidak melihat yang dijual Treuhand sebetulnya bukan cuma properti, melainkan sebuah going concern, yaitu pabrik alat-alat musik (klarinet, oboe, bassoon) yang dikerjakan dengan tangan oleh ratusan pengrajin. Pembeli properti itu tidak boleh mengubah properti itu menjadi mansion pribadi yang akan menghilangkan ratusan lapangan kerja.

Dari contoh di atas kita bisa memahami kemiripan paling menonjol dari Treuhand dan BPPN adalah keduanya sama-sama didera opini publik dan sikap pers yang negatif. Pers pun getol menyuarakan pendapat para politisi, pakar ekonomi, maupun pseudo-pakar, yang miring terhadap Treuhand dan BPPN.

Kita baru saja menyaksikan betapa pers "memihak" kepada tim manajemen lama PT Astra International dalam proses menjual saham AI yang dimiliki BPPN. Pers gencar menyerang BPPN atas setiap tindakan dan manuver yang dilakukannya. Tetapi, ketika BPPN akhirnya berhasil menuntaskan pekerjaan itu pada batas waktu yang ditetapkan dan dengan harga wajar, pers pun diam-diam undur diri. Seolah-olah BPPN tidak pernah ada dalam proses pemulihan harta negara dari Astra. Sungguh, untragbar.

Saat ini pun ada anggapan aset yang dikelola BPPN adalah aset rongsokan. Semula diduga semua aset itu senilai Rp 600 trilyun. Tetapi, setelah diverifikasi ternyata nilainya - dengan hitungan terbaik -hanya Rp 230 trilyun. Bahkan dengan nilai Rp 230 trilyun pun BPPN akan tetap mengalami kesulitan besar karena yang dijualnya bukanlah aset, melainkan lembaga bisnis.

Treuhand telah menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu lima tahun, dan telah dibubarkan. Hampir seluruh 12.500 lembaga bisnis telah berpindah tangan. Sejumlah 1,4 juta lapangan kerja berhasil dipertahankan, dan investasi baru mencapai 173 juta DM.

Tinggal kini membuktikan apakah BPPN akan nanti menutup sejarahnya seperti Treuhand. Saya kira salah satu kuncinya terletak pada governance. Apa pun yang dikatakan pers dan masyarakat elite, bila BPPN konsisten transparan dan akuntabel menjalankan mandatnya, namanya akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah ekonomi bangsa kita.

Yang juga penting adalah, orang-orang BPPN harus mulai sekarang menyadari bahwa ini adalah pekerjaan yang tidak akan memperoleh tanda terima kasih. Ontdankbaar werk, kata orang Belanda. Kalau tidak berhasil, kalian akan dicaci-maki. Kalau berhasil, siapa yang mikirin?

Bondan Winarno - Asal Usul, 25 Juni 2000