Friday, April 14, 2006

100900 - Cerita Tiga Kota

ATAMBUA

DI kantor UNHCR di Atambua seorang pekerja kemanusiaan menulis surat elektronik kepada kawannya jauh di Macedonia. Ia baru saja mendengar kabar mengenai ribuan perusuh yang menuju kantornya. Katanya ia merasa menjadi umpan untuk mereka. Terbayang perasaannya saat menulis, "Orang-orang ini bertindak tanpa berpikir dan bisa membunuh manusia semudah saya membunuh nyamuk di kamar saya."

Staf UNHCR ini, pengacara warga AS dari Puerto Rico, tidak tahu bahwa beberapa jam lagi ia akan mati meninggalkan e-mail untuk kesaksian seluruh dunia. Sejarah mencatat bahwa pada usia ke-31, Carlos Caceres-Collazo tewas sebagai salah satu dari tiga pegawai PBB yang dihabisi segerombolan milisi yang menyerbu kantor organisasi kemanusiaan itu. Dua rekannya Samson Aregahegh, warga Ethiopia, dan Pero Simundza, warga Croatia, dan dua pegawai lokal mengalami nasib sama. Dibunuh oleh parang dan pisau, disiram minyak tanah dan dibakar di halaman kantor. Dalam deretan peristiwa sesudahnya 20 orang tewas sementara 3000 orang perusuh mencekam Atambua, Betun dan sekitarnya, semua di wilayah Republik Indonesia.

Gara-gara kejadian ini, kehadiran PBB di NTT ditinjau kembali. Bersama dengan organisasi bantuan kemanusiaan lain, mereka telah menarik 400 pekerja dari wilayah ini. Yang mereka tinggalkan adalah 120.000 orang Timor Timur di kamp pengungsi Indonesia.

New York

Pada saat yang sama, Presiden Abdurrahman Wahid berada di New York membawa kehormatan nama Indonesia pada forum bersejarah. Ia datang untuk KTT Milenium dan menerima hadiah kepemimpinan global dari Universitas Columbia yang terpandang. Momen tragis di Atambua ternyata menciptakan momen memalukan bagi Gus Dur, pemimpin bangsa Indonesia. Belakangan ini Gus Dur banyak diganggu di dalam negeri, tetapi tetap dipuja di luar negeri.

Sekarang kita mendapat kejutan luar biasa. Disaksikan 150 kepala pemerintahan sedunia di Markas Pusat PBB di tepi East River, Sekjen PBB Kofi Annan mengawali sambutannya dengan mengajak para hadirin mengheningkan cipta untuk para pegawai kemanusiaan yang tewas di Atambua. Kata-katanya kemudian merupakan teguran keras kepada pemerintahan Indonesia. Walau dunia tahu bahwa Pemerintah Indonesia sekarang bukan rezim pembunuh, namun orang-orang PBB itu dibunuh oleh orang Indonesia di wilayah Indonesia. Presiden Clinton yang sejak tahun lalu amat menghormati Gus Dur menyatakan kekecewaannya yang mendalam. Ia dan pemimpin dunia lain meminta Indonesia melucuti senjata milisi dan menindak mereka yang bertanggung jawab atas kerusuhan.

Jakarta

Di Jakarta, kebanyakan orang tidak terlalu menyimak peristiwa Atambua, apalagi pengaruh yang akan diberikannya kepada kehidupan sehari-hari kita. Pameran mobil jalan terus, jalan macet dengan orang berbelanja.

Malah ada orang terdidik yang bertanya: Atambua itu di Timor Timur atau di Indonesia? Orang lebih asyik memprotes rencana pembelian pesawat jet mahal serupa Air Force One, padahal Gus Dur hanya basa-basi pada bos Boeing yang mendatanginya di Bandara Seattle. Orang sibuk membicarakan nilai rupiah dan IHSG, pencabutan subsidi BBM dan letter of intent. Padahal yang paling berdampak bagi masa depan kita bukan Air Force One, bukan LoI, bukan BBM, tetapi Atambua.

Pemerintah kita memang salah by omission, tidak mampu menguasai keadaan. Tidak perlu menyalahkan orang yang menyalahkan kita, apalagi membuat demo di kantor PBB. Bukan satu dua lembaga asing, tetapi seluruh dunia menunjuk pada Pemerintah Indonesia sebagai pihak yang bertanggung jawab. Syukurlah pemerintah melalui Menko Susilo Bambang Yudhoyono menunjukkan kelasnya dengan keterangan pers yang menyatakan keprihatinan dan simpati bagi para korban. Lebih penting lagi ada pernyataan marah pada perusuh dan penangkapan. Penting dicatat ucapan Menko Susilo bahwa sangat mungkin peristiwa ini didorong dengan sengaja oleh pihak-pihak yang ingin memunculkan ketidakstabilan pada pemerintah Gus Dur.

Menurutnya, "Indonesia akan mengambil langkah bijaksana, adil dan realistis untuk mengupayakan penyelesaian yang tetap." Walaupun belum mampu mengendalikan keadaan, sikap ini menunjukkan mana yang salah dan mana yang benar.

Namun, paling besar penghargaan kita kepada pemimpin Timor Leste Jose Alexander Xanana Gusmao yang tidak mau ikut menghujat Indonesia. Di tengah kecaman internasional terhadap Indonesia, dia justru meminta agar para pemimpin dunia tetap mendukung pemerintahan Abdurrahman Wahid. Dijelaskannya penyerangan kelompok milisi terhadap markas UNHCR di Atambua itu sebagai upaya mendestabilisasi proses demokratisasi yang sedang dibangun pemerintahan baru di Indonesia.

Pada skala lebih praktis, jika kita gagal menghayati tragedi Atambua maka krisis akan makin berkepanjangan. IMF telah menyatakan kekhawatirannya bahwa insiden Atambua akan mempengaruhi opini negara donor tentang Indonesia dalam sidang CGI. Jika Pemerintah Indonesia masih tidak bisa atau tidak mau bertindak tegas, maka akan sulit memperoleh pinjaman baru. Ini bukan karena mereka ingin mengatur urusan dalam negeri Indonesia, tetapi karena mereka harus menghadapi rakyatnya masing-masing. Uang IMF itu uang rakyat negara lain yang khawatir terhadap pemerintah yang mengizinkan kekerasan.

Peristiwa di Atambua adalah versi lain berbagai kerusuhan yang dewasa ini banyak diciptakan pihak Orde Baru, mulai dari kerusuhan Mei 98 di Jakarta. Disini ironi kedudukan Gus Dur. Toleransi untuk sistem lama membuka ruang gerak perusuh. Untuk mengamankan masa depan dalam visi Gus Dur, kita harus minta Gus Dur jangan terlalu santai. Soeharto harus diadili, koruptor tidak boleh dibiarkan. Kita harus menarik garis pemisah tebal terhadap masa lalu. Forum Demokrasi sendiri, salah satu tempat asal Gus Dur, mengatakan demikian. Menurut Fordem kemarin, beredarnya kembali kekuatan politik lama, yakni kekuatan Orde Baru, menghambat proses pertumbuhan demokrasi sekarang ini. Dalam film The Sixth Sense ada anak kecil yang bisa melihat orang mati berkeliaran. Dalam kenyataan kita, semua melihat orang yang mati moral masih merajalela.

Di New York, Presiden Abdurrahman Wahid menyerukan adanya kerja sama antarbangsa. Di Jakarta, kita ingin pekerjaan rumah membereskan urusan dalam negeri cepat membentuk wibawa pemerintah, agar tidak memikul kejahatan orang yang justru ingin menjatuhkannya. Kita tidak ingin melihat lagi skenario yang mengorbankan orang-orang yang sama sekali tidak berdosa, terakhir ini pekerja kemanusiaan yang sedang bertugas di Atambua, NTT, Indonesia.

Wimar Witoelar - Asal Usul 10 September 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home