Friday, April 14, 2006

Lansia dan Lupa

UMUR panjang itu karunia Tuhan yang tak melimpah pada setiap orang. Maka tak heran banyak orang berdoa agar diberkati umur panjang. Tuhan dibujuk-bujuk, pagi, siang, sore, malam, dan pagi lagi, agar berkenan memberi kita umur panjang, dengan mengabaikan kenyataan bahwa kita bagian dari alam dan karena itu tunduk pada hukum-hukum alam: ketika lansia, lanjut usia, kita pikun, agak tuli, dan rabun dan lupa hal-hal penting. Orang lansia sering lupa bahwa ia baru saja makan, atau mandi, atau minum susu, dan mengatakan pada tetangga bahwa anak-anaknya tak mengurusnya dengan baik.

Ini perkara sensitif, dan memalukan didengar orang lain. Tapi, ya, memang begitulah fiil orang lansia, karena mereka ibaratnya menjadi anak-anak kembali. Dan lupa sudah menjadi sejenis pakaian yang melekat pada tubuhnya.

Ajaran menyuruh kita tabah, dan tulus, mengabdi pada orang tua macam itu. Siapa tahu kita kelak juga menjadi orang lansia, dan diam-diam bahkan lebih merepotkan lagi anak-cucu yang hidupnya mungkin juga sudah kelewat repot.

Batara Rama ditakdirkan dewa berumur sangat panjang. Tapi, jatah itu diserobot Dasamuka. Raksasa ini pergi ke kahyangan dan meminta secara paksa umur itu sambil mengancam membikin kerusakan di kahyangan. Dewa-dewa takut dan umur panjang pun diberikan pada raksasa jahat itu.

Ketika Rama datang menagih janji, dewa-dewa gempar. Tetapi, para dewa tak pernah kehabisan akal. Rama dibolehkan berusaha merebut kembali jatahnya itu dan dewa memberkatinya. Dan benar, di perjalanan pulang, Dasamuka bertemu seorang kakek gaek dengan tubuh kisut, sangat lemah, tuli berat, dan rabun.

"Kek, siapa kamu dan berapa umurmu?" tanya Dasamuka.
"Ha?" jawab si kakek lemah. Suaranya sayup-sayup.
"Berapa umurmu, kok, kamu kelihatan begitu tua?
"Sumur? O..., jauh dari sini. Haus to, sampean?"
"Umur," teriak Dasamuka. "Umurmu berapa? Budek ya kamu?"
"Kok sampean membentak-bentak, sampean ini siapa, dan apa salah saya?"
"Pelan tidak dengar, keras dikira membentak," pikir Dasamuka. "Aku menanyakan berapa umurmu?" Dasamuka mengulang dengan suara keras.
"Lha, iya, sumurnya jauh. Aku kira sampean tanya umur saya."
"Aku memang bertanya umurmu," si raksasa marah.
"Oo, berapa ya? Ada barangkali seratus, mungkin dua ratus tahun."
"Siapa namamu?" teriak raksasa itu.
"Nama? Lupa. Siapa ya?"
"Di mana rumahmu?"
"Wah, lupa. Nanti saya tanya tetangga-tetangga dulu."

Dasamuka gemetar. Umur segitu sudah demikian parah kondisi tubuhnya dan lupa rumah, lupa nama. Padahal baru saja ia minta dewa umur tujuh serut, tujuh brekutut, tujuh srigagak, tujuh sriwalang: pokoknya umur panjang tak terbayangkan. Apa bisa tubuhnya menyangga umur sepanjang itu? Dia takut sekali. Maka, ia tiba-tiba saja memutuskan agar si gaek ini saja yang harus menyangga umur panjang dengan segenap risikonya.

"Sampean kok, memaksa. Aku tidak minta, lho," kata si gaek."Dan sampean rela."
"Ya. Ambillah," jawab Dasamuka.

Syahdan, dalam sekejap, si gaek pun kontan berubah kembali menjadi Batara Rama. Dasamuka kaget, panik, dan marah besar, tetapi ia sudah telanjur kalah waskita, kalah taktik, kalah strategi. Dewa-dewa menyaksikan kekalahan itu.

INILAH risalah umur panjang dan watak orang lansia yang banyak terjadi pada orang biasa. Di kalangan orang istimewa, yang namanya politisi, lupa hal-hal penting merupakan perkara mudah. Lupa bisa diatur. Kelihatannya lupa merupakan lakon drama politik Indonesia kontemporer buat melindungi nama baik yang belum pernah, dan mungkin tak akan pernah, mereka miliki.

Kapan harus lupa, menyangkut apa, berapa jumlahnya, dengan siapa urusan tersangkut, untuk kepentingan politik apa, dan menipu untuk ke berapa ribu kalinya, semua bisa dirancang sendiri di rumah, atau di kantor dengan teman-teman dalam perkumpulan. Lupa, dalam politik bukan perkara tidak ingat, melainkan senjata bagi orang yang tak ingin belajar bertanggung jawab.

Di sini politik seolah artinya manipulasi, tipu-menipu, dan teknik menggelapkan apa saja. Termasuk rumah mewah, berhektar-hektar tanah, mobil mewah, dan kekayaan lain yang dibeli sembunyi-sembunyi. Dari tingkah laku manipulatif macam ini, mana mungkin bisa muncul nama baik?

"Kalau sekadar umur panjang?"

Mungkin bisa. Tetapi, jangan lupa, umur panjang tak selalu harfiah berarti hidup lebih lama dari orang lain. Ketika penyair Chairil Anwar memproklamasikan diri: "aku mau hidup seribu tahun lagi", bukan berarti ia minta umur panjang sebagaimana secara naif kita mengartikannya. Ia mati cepat, tetapi panjang umur dalam arti sebenarnya karena namanya dikenang dengan hormat, dan penuh kekaguman.

Menjadi atau tak menjadi pikun, budek, dan rabun, dan pelupa, saya kira sebaiknya politisi Indonesia zaman ini tak usah berusaha seperti Dasamuka. Apa gunanya umur panjang kalau umur itu malah menjadi musibah? Apa enaknya dicerca, diburu-buru, dan menimbulkan kemuakan publik?

Banyak orang terkenal di mata dan di telinga publik, tetapi dijauhi hati publik, seperti mereka menjauhi jenis-jenis penyakit menular. Mungkin ini bagian dari siksa neraka yang sudah mulai dicicipi karena umur panjang dan popularitas mereka tidak berkah.

"Lupakah mereka berdoa minta umur panjang yang berkah, dan rizki halal?"

Mungkin tidak. Dan saya tahu, begitu banyak politisi yang kelihatan saleh dan sopan kepada Tuhan. Sulit kita memahami mengapa mereka menyeret-nyeret Tuhan untuk memberkati penyimpangan mereka?

Saya kagum pada keberanian macam itu, meskipun saya tak ingin belajar dari sana karena, sekali lagi, apa enaknya hidup dengan cara sembunyi-sembunyi, dicerca, dan dijauhi hingga kita harus berlagak pikun, pura-pura sakit, pura-pura lupa?

Tak bisa menjadi politisi yang baik, saya kira tak menjadi masalah, asal kita masih bisa menjadi manusia yang baik. Tetapi, manusia baik tak mungkin hidup dalam kepalsuan, dan pura-pura lupa hal-hal penting dan mendasar dalam hidup, yang harus dipertanggungjawabkan kepada publik dan pada Tuhan.
Mohamad Sobari

0 Comments:

Post a Comment

<< Home