Friday, April 14, 2006

310897 - Tidak Ikut 17 Agustus

Tahun ini saya tidak ikut merayakan 17 Agustus, Hari Kemerdekaan kita. Bukan karena tidak mau, tapi kebetulan tanggal itu tidak muncul dalam kehidupan saya. Kebetulan saya pulang dari Los Angeles, berangkat dengan GA 801 tanggal 16 Agustus malam, begitu naik terus tidur lama sekali. Bangun-bangun mendarat di Denpasar sudah jam 08:00 pagi, ternyata sudah tanggal 18 Agustus. Padahal katanya kami hanya melewati satu malam saja. Jadi tanggal 17 Agustus 1997 hilang untuk selamanya bagi penumpang penerbangan itu, ditelan "Garis Tanggal Internasional" yang agak mengerikan. Apakah sekian ratus orang itu (kebanyakan orang Indonesia) lalu hilang nasionalismenya? Saya rasa tidak. Rata-rata kami senang jadi orang Indonesia. Malah saya bangga bahwa maskapai penerbangan kita yang biasanya menjadi bahan omelan dan sumber lelucon, kali ini memberikan performance yang bagus sekali. Tepat waktu, pelayanan prima, film bagus, dan yang jelas murah. Waktu mendarat, ternyata dikemudikan oleh pilot senior yang akan pensiun keesokan harinya. Sayang beliau tidak menghubungi saya melalui nomor telepon yang saya titipkan pada pramugari. Tadinya saya ingin bertemu dan berterima kasih padanya, karena orang profesional semacam pilot Garuda itu adalah salah satu sebab yang membuat saya bangga menjadi orang Indonesia.

Orang Indonesia lain yang membuat saya bangga adalah Yayuk Basuki dan Utut Adianto, yang disini cukup dihormati tapi di luar negeri lebih dikagumi lagi, menimbulkan kekaguman pada bendera merah putih. Apalagi Susi Susanti yang menangis di Barcelona, dan pak Cahyadi penjual ketoprak di Pondok Indah yang menyekolahkan anaknya di Yogya. Mana ada di Amerika, orang yang begitu maju tanpa dukungan negara? Belum lagi para guru SD dan para petugas imigrasi dan polisi lalulintas di jalur Puncak yang bekerja dengan tekun dan tenang. Mereka menyumbang keseimbangan pada kesan bahwa petugas negara kita tidak bisa dipercaya. Mereka adalah harapan kita agar citra institusional yang sudah lama negatif tidak terus-terusan memberi kesan bahwa Indonesia adalah negara yang dijajah oleh bangsanya sendiri.

Nasionalisme tidak perlu dipompa oleh semboyan dan upacara. Tidak perlu mencari kebanggaan yang dibuat-buat. Syukurlah Presiden tidak menyetujui penjualan sepatu secara paksa kepada anak sekolah, sehingga kita terhindar dari proyek yang bisa menambah isi gudang lelucon pahit kawan-kawan saya yang sudah siap dengan judul "Sepatu Nasional". Tidak perlu ada pengorganisasian dukungan untuk simbol nasionalisme, agar simbol muncul sebagai hasil kebanggaan. Rakyat kita cukup tenteram kalau tidak dipaksa kesana kesini. Stabilitas menjadi kehendak semua orang. Tapi alangkah bagusnya kalau stabilitas itu muncul sebagai hasil pembangunan, bukan sebagai prasyarat komunikasi sosial. Kalau pemerintah bagus, negaranya stabil dengan sendirinya. Nasionalisme tidak perlu dipersoalkan sebagai konsep apalagi sebagai prasyarat, baik untuk bintang olahraga maupun untuk pengusaha. Terlalu sedikit waktu kita untuk menyisihkan waktu dalam definisi yang menghilangkan makna.

Sekarang nilai mata uang Rupiah melayang-layang seperti layangan putus. Dibuat obat moneter berupa suku bunga tinggi, yang ternyata menjadi "obat spektrum luas". Yang kena soal dollar hanya orang yang punya anak di luar negeri atau yang ekspor impor, tapi sukubunga tinggi yang membuat semua orang sesak napas, dari mulai bank dan perusahan sampai pembeli rumah sederhana dan pekerja bangunan. Tadi malam CNN memberitakan Bursa Efek Jakarta mengalami penurunan yang terbesar dari semua Bursa di Asia. Apakah gonjang-ganjing keuangan ini merupakan penyakit yang gawat dan sukar disembuhkan? Ya dan tidak, karena yang kita lihat adalah simptom penyakit berasal dari virus spekulasi yang dilawan oleh ketegaran sebagai hasil kita mengelola perekonomian Indonesia. Kemungkinan sembuhnya akan ditentukan oleh "fundamental" kita, yaitu keutuhan sistem manajemen nasional, terutama ekonomi dan politik. Begitu anak kecil kena penyakit malaria, panas dingin dan mencapai suhu diatas 40 derajat, kita semua berdoa dan berharap bahwa kesehatan fundamental anak itu cukup kuat untuk melawan penyakit itu. Ini perumpamaan yang diberikan oleh Jasso Winarto, pakar pasar modal. Ia mengatakan, ekonomi kita cukup bagus untuk melawan penyakit ini.

Saya mengatakan, para profesional kita, para pedagang menengah kita cukup bagus, apalagi pengusaha kecil yang sangat kompetitif dan bekerja jujur. Tinggal kita lihat, apakah kita punya kepemimpinan moneter yang bisa tampil dengan kenegarawanan yang sejuk, komunikatif dan menenteramkan si anak kecil ini dan para orang tuanya. Di saat susah, bahaya terbesar adalah panik. Kembali pada nasionalisme, pada saat susah, kita harus bersatu dan saling menghormati. Rakyat menghormati pemerintah, penguasa harus menghormati rakyat.

Sebetulnya ada sisi lain dari krisis keuangan Indonesia. Bersama baht Thailand, peso Filipina, ringgit Malaysia dan bahkan dollar Hong Kong, semuanya menjadi obyek spekulasi para dealer valuta asing dunia yang menggolongkannya sebagai Exotic Currency untuk dipermainkan, setelah bosan dengan mainan US Dollar, Yen Jepang dan Pound Inggris. Tidak salah kalau pemerintah menyalahkan para spekulan. Tapi kita harus ingat spekulasi bukanlah kegiatan eksklusif George Soros dan "Soros Bersafari" (istilah Hartoyo Wignyowiyoto). Spekulasi adalah suatu perilaku yang bisa dijalankan oleh setiap orang untuk motif keuntungan atau bahkan menghindar kerugian, dua motif yang sama sekali tidak melanggar hukum. Yang harus diciptakan adalah iklim yang tidak mengundang spekulasi, bukan iklim yang menantang perilaku ini. Orang biasa dan ibu rumah tangga yang menukarkan tabungannya kedalam US Dollar bukan bagian dari konspirasi George Soros, mereka hanya mencari perlindungan sebab rupanya tidak ada perlindungan lain yang memberi ketenteraman.

Dari mulai usaha Yayuk Basuki untuk masuk 20 besar sampai kepada pilot yang menerbangkan pesawat Garuda ke luar negeri sampai kepada mata uang Rupiah yang dipermainkan dalam pasar uang dunia, batas negara sudah tidak tampat lagi. Konsep "dunia tanpa batas" kini disusul dengan konsep "Netizens". Kalau dulu warga masyarakat dinyatakan sebagai "Citizens" yang berasal kata "City" sebagai pusat peradaban melawan tirani raja-raja di pedalaman, maka "Netizens" berasal dari kata "Network" internasional (terutama jaringan Internet) yang memberikan pencerahan untuk mengimbangi negara-negara kuat yang melemahkan rakyatnya. Revolusi sosial bukan lagi pilihan yang menarik untuk siapapun, karena perubahan yang lebih lembut, lebih terhormat dan lebih fundamental bisa dicapai melalui kerja cerdas dan pandangan hidup terbuka. Budaya ini terbukti efektif menghasilkan sukses di negara lain dunia. Wawasan internasional dengan kesetiakawanan kepada bangsa sendiri, tanpa merancukan diri dengan semboyan nasionalisme. Tanpa ikut upacara 17 Agustus, kita tetap cinta Indonesia.
Wimar Witoelar - Asal Usul, 31 Agustus 1997

0 Comments:

Post a Comment

<< Home