Friday, April 14, 2006

270800 - Sinkretisme

DUA minggu yang lalu, saya berkesempatan sekali lagi berziarah ke makam Sultan Agung di Imogiri, sebelah selatan Yogyakarta. Karena Imogiri adalah makam raja-raja Jawa, maka kami harus mengenakan pakaian kebesaran Jawa-seperti layaknya menghadap seorang raja. Pria memakai beskap, blangkon, dan kain panjang. Perempuan memakai kain panjang dan kemben. Alas kaki harus dilepas selama prosesi mengunjungi makam-makam para raja itu.

Tiga tahun yang lalu, 'delegasi' kami ke Imogiri beruntung memperoleh kawalan langsung dari Jurukunci Makam Imogiri (berpangkat Bupati dalam struktur kelembagaan Keraton Surakarta Hadiningrat), Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Suryonegoro. Karena Makam Raja-raja Jawa di Imogiri ini merupakan tempat peristirahatan akhir bagi para bangsawan dari Keraton Yogyakarta dan Surakarta, masing-masing keraton mempunyai jurukuncinya masing-masing.

Setelah tahlil dan nyekar di cungkup Sultan Agung, di luar bangunan makam itu tiba-tiba KPH Suryonegoro merangkul saya dan berkata: "Coba pandang puncak bangunan cungkup itu, dan silakan memohon sesuatu."

'Instruksi' itu cukup mengejutkan saya. Dalam etika kristiani yang saya anut, kami tidak boleh meminta sesuatu pada arwah leluhur. Permohonan hanya boleh disampaikan kepada Tuhan. Bila umat Kristen berkunjung ke makam, mereka justru mendoakan agar arwah yang meninggal berbahagia di sisi Tuhan. Kunjungan ke makam pun hanya bersifat simbolik, karena kepercayaan bahwa arwah yang meninggal tidak lagi tinggal di kuburan, melainkan bersama Tuhan. Saya kira, agama Islam pun mengajarkan keimanan yang serupa.

Tetapi, dapatkah saya menolak permintaan KPH Suryonegoro untuk memohon sesuatu sambil memandang puncak bangunan cungkup itu? Masih dalam pelukannya, saya mengucapkan sebuah permohonan kepada Tuhan. Sebuah doa syafaat pendek.

Dalam perjalanan turun dari makam, KPH Suryonegoro bertanya. "Saya tadi tidak mendengar permohonan Mas Bondan. Bolehkah saya mengetahuinya, kalau Mas tidak keberatan?"

Saya memang tidak keberatan. Saya katakan bahwa saya tadi memohon kepada Tuhan yang Maha Esa agar memberikan karahayon (kerahayuan) dan kesejahteraan kepada bangsa Indonesia. KPH Suryonegoro tersenyum mendengar jawaban saya. "Orang-orang yang saya antar ke atas sana tadi biasanya mempunyai permintaan-permintaan khusus. Ada yang ingin jadi menteri, atau gubernur, atau bupati. Lha kok Anda sekarang meminta karahayon buat seluruh warga bangsa," ia tertawa tanpa bermaksud menertawakan. "Tetapi, itu permintaan yang sungguh bagus. Semoga dikabulkan," katanya sambil menepuk bahu saya.

Mungkin karena episode itulah maka bukan saya yang jadi Sekretaris Negara, melainkan Bondan Gunawan. Tetapi, saya tidak pernah menyesalinya. Bahkan, dalam kunjungan kedua kalinya ke makam Sultan Agung, saya mengucapkan doa syafaat yang panjang bagi bangsa Indonesia, sambil mendengar tahlil yang dibacakan para punggawa makam dalam 'langgam' Jawa yang amat khas.

Saya tidak ingin mengundang perdebatan tentang apakah yang saya lakukan itu salah atau benar. Secara pribadi, itulah yang dapat saya lakukan untuk menghormati nilai-nilai spiritual Jawa tanpa melanggar etika kristiani yang saya anut. Saya telah dihadapkan kepada persoalan sinkretisme itu secara langsung.

MASALAH sinkretisme dihadapi oleh semua agama besar. Islam di Indonesia tidak sendirian menghadapi masalah sinkretisme. Gereja Kristen menghadapi masalah sinkretisme di berbagai suku, misalnya: Tapanuli, Minahasa, Flores. Para pemeluk agama Kristen suku-suku itu masih tetap menjalankan upacara-upacara adat yang mengandung tradisi animisme. Gereja Katolik juga menghadapi masalah sinkretisme di Filipina dan negara-negara Amerika Latin. Di Timor pun ada upacara keagamaan Katolik yang mengandung unsur-unsur sinkretisme-berdamai dengan budaya dan nilai-nilai tradisional.

Acara ruwatan yang tahun lalu dilakukan Gus Dur terhadap dirinya menjelang pemilihan Presiden, maupun acara ruwatan yang minggu lalu dihadiri Presiden Gus Dur di Yogyakarta, membuat isu sinkretisme kembali tampil sebagai perhatian masyarakat.

Ke-11 wakil putra bangsa yang diruwat itu tidak semuanya beragama Islam, melainkan juga mewakili agama-agama besar yang dianut masyarakat Indonesia. Apakah mereka telah melanggar kaidah agama karena mengikuti upacara tradisional yang oleh sebagian orang bahkan dianggap sebagai berbau tahayul?

Sulit, 'kan? Musykil, 'kan? Mudah-mudahan DPR tidak terinspirasi untuk menginterpelasi Presiden Gus Dur gara-gara telah mengangkat masalah ruwatan menjadi isu nasional. Bukan tidak mungkin ruwatan dalam waktu dekat akan menjadi hal yang trendy dalam konstelasi budaya kita.

Bondan Winarno - Asal Usul, 27 Agustus 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home