Friday, April 14, 2006

200800 - Gajah Bukan Hanya Gemuk

SATU gajah dewasa beratnya sama dengan 80 orang. Ia makan 160 kg tiap hari (kebanyakan sayur, mungkin karena ingin diet) dan minum 70 liter air (tanpa merk). Banyak juga kelebihannya. Giginya berganti sampai enam kali, makanya tidak ada dokter gigi gajah. Ukuran otaknya empat kali otak manusia. Isinya, atau content menurut istilah website, kita tidak tahu. Tetapi, paling tidak, gajah bukan hanya gemuk. Ia mempunyai citra positif: besar, stabil, sosial, lembut, baik. Dan kata cerita, mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Daya ingat sangat diperlukan, bukan hanya oleh gajah. Daya ingat masyarakat kita sangat lemah, sampai-sampai keinginan masyarakat yang begitu mendesak untuk menempatkan militer di luar gelanggang politik, dilupakan begitu saja oleh sebagian besar anggota MPR.

Penyakit lupa juga tumbuh dalam menyikapi KKN. Kasus hari ini ramai dibahas, kasus lama belum selesai. Ada orang bilang, "Ah, yang lalu biar berlalu." Memang bagus untuk lirik lagu, tetapi bila dokter ingin merawat pasien, wawancara pertama adalah mengenai masa lalu yang relevan. Pernah punya penyakit apa? Olahraga apa? Memikirkan apa? Makan apa? Kok bisa gemuk begitu, padahal makan sayur terus (bisa saja, kalau 160 kg seperti gajah). Tidak bisa kita lupakan masa lalu, nanti semua pasien diberi obat yang sama.

Klausul melawan sanksi retroaktif dalam pelanggaran HAM jelas tidak boleh ada dalam konstitusi mana pun, sebab itu berarti orang hanya bisa dituntut untuk pelanggaran yang sedang berjalan. Untuk Buloggate dan Bruneigate orang bisa menuntut, untuk Baligate orang sudah lupa, untuk korupsi Soeharto malah sudah ada orang yang berkata, "Sudahlah, masak kita mau dendam terus. Biarlah Pak Harto berlalu dengan tenang."

SEMENTARA Pak Harto dibiarkan tenang dan Pak Habibie tidak ditanya soal IPTN dan Batam, malah Gus Dur diserbu dengan seribu serangan dalam Sidang MPR. Orang lupa, karena tidak punya daya ingat seperti gajah. Bila dalam film The Sixth Sense ada anak kecil yang bisa melihat orang mati berkeliaran, kita melihat orang Orde Baru berkeliaran. Mereka mengubah diri mencapai jabatan sangat tinggi di bidang legislatif dan berusaha masuk Mahkamah Agung. Belum cukup menyelundupkan diri, mereka mengganggu kapal penyelamat masa depan Indonesia yang sudah banyak bocor-bocor.

Siapakah mereka? Kalau orang mau mempertentangkan Gus Dur dan Megawati, ingatlah bahwa yang melancarkan serangan yang paling vulgar di MPR bukanlah orang PDI-P. PDI-P menjadi ujung tombak interpelasi DPR tetapi tidak memimpin hujatan MPR terhadap Gus Dur. Akhirnya Gus Dur dan Mega kembali menjadi dwitunggal, dan kita boleh bernapas lega. Suatu krisis telah lalu. Krisis selanjutnya harus diantisipasi oleh komunikasi efektif Presiden serta Wakil Presiden, melakukan mobilisasi seluruh masyarakat Indonesia. Jangan jadikan ST MPR tahun depan pengalaman pedih lagi.

Kata-kata Gus Dur menurut suatu koran Ibu Kota, "Terus terang, hati saya sangat getir (walaupun mulut tersenyum) mendengar atau menyaksikan betapa kebencian itu sekarang menyeruak ke dalam kehidupan lembaga tinggi negara. Rasa benci kok lebih besar sekarang."

Ini diucapkan pada acara ramah tamah dengan para perintis kemerdekaan, wredatama, warakawuri, purnawirawan, pahlawan nasional, dan Angkatan 45 di Istana Negara. Merasa terpanggil, langsung Akbar Tandjung menyahut. Menurut Akbar, pelaksanaan Sidang Tahunan MPR 2000 sepengetahuannya berjalan normal-normal saja. Kalaupun muncul sikap-sikap kritis, dia menilai itu wajar saja. "Mereka itu kan politikus. Sebagai politikus, fungsi pokok mereka adalah bagaimana melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan," katanya. Fungsi legislatif justru tidak dilaksanakan. Mungkin karena itu, pekerjaan MPR banyak tidak selesai.

Kenyataannya, kebencian timbul karena pembusukan sedang terjadi. Belum satu tahun usia pemerintahan ini, konsepsi "rekonsiliasi" yang dikenal dengan "pendekatan Ciganjur" mengalami pembusukan yang serius. Menurut Budiman Sudjatmiko, "rekonsiliasi" berdiri di atas landasan yang kontradiktif: di satu sisi harus mengakomodir tuntutan rakyat untuk segera menyelesaikan dosa-dosa ekonomi dan politik warisan Orde Baru, dan merealisasikan tuntutan Reformasi Total, di sisi lain Abdurrahman Wahid harus mengakomodir sisa-sisa Orde Baru -"sumber persoalan" rakyat- di dalam pemerintahannya. Kontradiksi dari kedua hal inilah basis pembusukan "rekonsiliasi" tersebut.

Pembusukan itu makin dipicu oleh oportunisme sekutu-sekutu politiknya yang lain. Mungkin banyak pertanyaan mengenai makna praktis demo PRD yang dilakukan 18 Agustus. Tetapi, pertanyaan yang penting adalah: manakah yang lebih bermanfaat, memperjuangkan tuntutan kenaikan upah 100 persen sebagai bagian dari reformasi perburuhan serta memperjuangkan reformasi agraria, ataukah mendebat "penggerogotan" otoritas Presiden Abdurrahman Wahid? Bukankah persepsi orang mengenai kegagalan pemerintah Gus Dur adalah akibat komunikasi politik pihak yang melawan rekonsiliasi?

MOTIF pemimpin itu susah dimengerti, karena terlalu banyak informasi yang harus diproses oleh otak kita. Melihat gajah, banyak kesimpulannya. Dari pinggir, seperti tembok. Dipegang buntutnya, seperti tali. Dilihat belalainya, seperti ular. Asal jangan terinjak, kita bisa jadi pisang gepeng. Untuk menilai tokoh publik seperti Gus Dur, Megawati, Amien Rais, Akbar Tandjung dan orang baru yang pidato di gedung MPR, perlu kita ingat ucapan Georges Pompidou, yang pernah menjadi Presiden. "A politician is a statesman who places the nation at his service. A statesman is a politician who places himself at the service of the nation."

Wimar Witoelar - Asal Usul, 20 Agustus 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home