Friday, April 14, 2006

300700 - Masa Hanya $155 Juta?

Akhirnya Pak Harto dibawa ke pengadilan, dengan tuduhan korupsi $155 juta. Masa hanya segitu? Paling sedikit ada 30 orang kalau hanya mau usut korupsi skala itu. Texmaco, Salim, Bimantara, Humpuss berapa? Kekayaan anak dan kroninya dan menteri dan jendral Orde Baru?

Terlebih lagi, pelanggaran utama Pak Harto bukan uang, tapi perusakan bangsa yang dibeli oleh uang itu. Lebih penting dari uang, bagaimana dengan Timtim, Aceh, Priok? Bagaimana dengan dikerdilkannya pengalaman politik kita oleh Pemilu gaya Orde Baru dan Golkar?

Bagaimana menilai budaya Korpri, Dharma Wanita, baju seragam, atau P4 dimana saya pernah jadi "Best Ten" padahal nggak pernah bicara?

Bagaimana dengan hilangnya kader pimpinan yang bagus untuk memberi jalan pada hari-hari omong kosong dan hari-hari bingung-bingung? Hilangnya jenderal pembela rakyat diganti tukang libas dan spion Melayu?

Bagaimana dengan ditekannya pers dan ekspresi budaya? Bagaimana dengan peristiwa 27 Juli, yang lewat beberapa hari yang lalu dan dilupakan bahkan oleh korbannya sekalipun?

Apakah yang ingat kejahatan Suharto dan Golkar hanya PRD dan mahasiswa? Kini disalahkan TNI sebagai korps, politisi secara keseluruhan, korupsi kelas pemula, padahal bangsa masih di dalam sumur sebagai akibat orang yang hanya dituntut $155 juta itu. Orang yang bercitra ahli hukum Orde Baru bisa jadi calon pimpinan lembaga yudikatif tertinggi, orang yang bercitra koruptor Orde Baru sudah jadi pimpinan lembaga legislatif tertinggi.

Yang merusak negara adalah Suharto, mengapa Gus Dur yang dikritik dan dijegal dan di-interpelasi? Berapa besar kesalahan Gus Dur? Gaya kepemimpinan dia memang nyentrik, tetapi tidak kejam seperti orang-orang yang menyelundupkan perusuh ke Maluku.

Kesalahan Gus Dur sebetulnya dua: (1) tidak mengurus komunikasi publik, (2) tidak punya tim yang bagus. Legitimate but not capable. Orang begini apa harus diganggu atau dibantu?

AKAN tetapi sudahlah, persoalan kita bukan Gus Dur, tetapi hilangnya perspektif. Mengecilkan dosa Suharto menjadi $155 juta sangat lucu dan sedih, "tragicomedy" dibintangi seorang Jaksa Agung. Ia menjumpai orang sakit kanker sudah sampai ke tulang, sumsum, otak, seluruh badan. Setelah dipelajari lama bersama dokter ahli, yang diobati hanya penyakit ketombe. Atau mobil yang sudah hancur-hancuran, yang dibetulkan hanya kaca spion. Itu pun masih susah-susah.

Musuh bangsa ada dua. Masa lalu, Bapak Pembangunan yang menjadi Bapak KKN. Masa depan, kekerasan Orde Baru melalui konflik horizontal. Menghadapi ini, kita diperlemah oleh hilangnya perspektif. Jadinya yang diurus bukan Suharto dan kekerasan, tetapi Yusuf Kalla dan celetukan Gus Dur.

Itu sumbangan politisi kerdil yang menilai pimpinan nasional tiap hari dengan sikap yang berubah-ubah, tapi tidak mau bertanggung jawab. Susah juga main tennis kalau ditarik-tarik celananya, diteriaki macam-macam, bagaimana mau bertahan?

Sekalinya dapat point, dibilang salah pukulannya. Kalau yang bicara cuman komentator masih mending, tetapi kalau wasit?

Bisa juga kita bayangkan Gus Dur dan Ibu Mega sedang menyetir mobil dalam perjalanan panjang ke luar kota, anak-anak kecil rewel di kursi belakang. Tanya sudah sampai mana, minta permen, minta berhenti, cekcok satu sama lain. Disuruh diam, masih ribut terus. Dimarahin, nangis.

Apakah anak-anak itu 'elite politik?' Siapa sih elite politik? Bukankah Budiman Sudjatmiko lebih berhak disebut elite daripada praktikan politik pencari perhatian? Bukankah mahasiswa adalah elite yang tahu membedakan yang baik dan yang buruk?

Untuk mencari kepemimpinan, lebih baik kita berpaling pada diri kita sendiri, sebab kita bukan bagian dari kultur Suharto. Dan kita berpikir lebih jauh dari $155 juta.

Sudah saatnya kita konsentrasi melawan pembuat keonaran. "Punish the Usual Suspects," singkatan judul tulisan Ramos Horta dalam suatu koran internasional. Dia ingatkan bahwa pembuat keonaran di Maluku dan tempat lain adalah unsur dari kelompok penguasa lama. Dengan uang dan senjata dan jaringan, mereka melakukan operasi milisi seperti dulu dilakukan di Timor Timur. Sudah waktunya mereka dihukum, jangan habiskan energi berlatih debat kusir.

GUS Dur, Megawati, Amien. Karena mahasiswa tidak punya pimpinan, maka Anda yang menjadi pimpinan formal negara hasil gerakan reformasi. Kenapa dicampur lagi dengan Golkar? Sama dengan pemain bola yang sudah melewati baris pertahanan lawan, balik lagi menggocek lawan yang sama. Soalnya asyik.

Seperti pembalap Formula 1 yang mengira semua masih berada di putaran yang sama, padahal mobil nomor 33 itu sebetulnya sudah ketinggalan lima lap.

Saudara Ketua MPR, ingin jadi Presiden sekarang? Katanya tidak. Maka jadilah orang terhormat, bukan penyeletuk seperti saya ini. Saudara Wakil Presiden, ajaklah pendukung Anda memberi balans kritis kepada Gus Dur supaya dia tetap serius. Berhentilah exercise politik parlementer, mulailah menyusun kabinet baru bersama Presiden.

Saudara Presiden, jadilah dwitunggal bersama adik Anda yang setia, pimpinan partai yang menerima suara terbanyak. Berilah kami kenikmatan ajaran Anda, sebab rakyat Indonesia masih perlu bangkit dibawah sinar pluralitas, kedamaian dan egalitarian seorang Gus Dur.

Bersama-sama, tarik garis pemisah tebal terhadap Sistem Lama yang disebut Orde Baru. Adili Soeharto sesuai kesalahannya, dan pakailah uang $155 juta untuk menutup defisit anggaran.

Wimar Witoelar - Asal Usul, 30 Juli 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home