Friday, April 14, 2006

060800 - Hilangnya Gotong Royong

SUATU koinsiden duka terjadi pada diri saya minggu lalu. Pada 30 Juli 2000, tepat setahun setelah kepergian abang kandung, saya kehilangan seorang sahabat yang sudah saya anggap abang: arsitek Robi Sularto Sastrowardoyo. Mengapa Mas Robi pergi pada tanggal yang sama dengan kepergian Mas Harso? Supaya setiap tahun saya bisa merayakan kepergian mereka pada tanggal yang sama?

Lho, tetapi mengapa kehilangan kok dirayakan? Dalam hidup kita ternyata banyak rites of passage yang menandai kehilangan. Kita merayakan ulang tahun (kehilangan usia) sebagai perayaan yang paling sering kita lakukan. Upacara perkawinan (kehilangan status lajang) merupakan rite of passage yang paling meriah dalam berbagai budaya kita. Anak laki-laki yang dikhitan (kehilangan daging) juga dirayakan secara khusus. Dalam berbagai budaya seperti Bali dan Toraja, upacara kematian justru merupakan puncak perayaan.

Sekarang kita juga sering melihat di televisi upacara pemecatan (kehilangan jabatan) anggota Polisi yang melanggar disiplin. Dalam upacara resmi, mereka tidak hanya dicopot tanda jabatannya, bahkan dilepas baju seragamnya, dan diganti dengan baju batik. Berakhirnya kendali Inggris atas Hongkong juga merupakan upacara dan acara yang dirayakan secara meriah.

Kehilangan selalu menyadarkan kita akan makna sesuatu yang pernah kita miliki. Ketika kita kehilangan teman, kita baru menyadari betapa berartinya dia dulu bagi hidup kita. Ketika kita kehilangan pekerjaan, kita baru menyadari betapa besarnya arti gaji yang merupakan imbalan bagi pekerjaan itu. Bahkan ketika televisi kita hilang dicuri orang, kita harus segera mencari gantinya agar hari-hari kita tidak berlalu dalam senyap.

KEHILANGAN biasanya memberi peluang untuk sebuah penemuan. Yang hilang memang akan tetap hilang, tak tergantikan. Tetapi, penemuan, setidaknya, akan memberi penghiburan bagi yang kehilangan. Saya pernah kehilangan lukisan karya maestro Taiwan yang sangat saya cintai. Sekarang saya punya menantu yang adalah putri maestro pelukis Sudjojono. Saya pernah kehilangan dua helai batik Madura yang amat saya sayangi. Kegundahan saya malah membuat saya pergi ke Telaga Biru di Madura untuk memborong batik.

Kadang-kadang saya berpikir, kehilangan sebaiknya memang perlu ditandai dengan suatu upacara, atau setidaknya suatu pengakuan bahwa kehilangan telah terjadi. Soalnya, bila kehilangan terjadi diam-diam, ada kemungkinan kita tidak akan menyadari terjadinya kehilangan itu. Dan karena kita tidak merasa kehilangan telah terjadi, maka kita juga tidak merasa perlu mengganti yang hilang itu.

Sebagai warga bangsa, dapatkah kita mengidentifikasi kehilangan apa saja yang diam-diam sudah terjadi selama ini?

Dalam sebuah diskusi belum lama ini, Nono Anwar Makarim mengemukakan bahwa bangsa kita sedang kehilangan semangat gotong royong. Wah, ini adalah sebuah kehilangan yang serius. Mengapa Nono berpendapat kita telah kehilangan semangat gotong royong? Sebuah contoh, katanya, sekarang ini banyak partai kecil yang hanya memperoleh sedikit suara dalam pemilu yang lalu. Mengapa partai-partai kecil itu tidak bergabung saja untuk membuat satu kekuatan yang lebih berarti? Apa yang menghalangi pemimpin-pemimpin partai kecil itu untuk duduk bersama dan membicarakan persekutuan di antara mereka?

Dalam pemilihan umum yang lalu ada 18 partai politik peserta pemilu yang berlandaskan keislaman. Mengapa semangat gotong royong tidak bisa mengelompokkan ke-18 partai politik itu menjadi satu atau dua partai saja? Mengapa NU berkelompok sesama NU, dan Muhamadiyah berkelompok dengan sesama Muhamadiyah?

Di kalangan partai-partai yang berhaluan nasionalis memang sudah mulai tampak ada tanda-tanda untuk bersekutu. Mereka telah bergabung dalam Aliansi Nasionalis, tanpa melebur partai masing-masing ke dalam aliansi itu. Soalnya, dalam aliansi itu masih tampak orientasi yang berbeda dari masing-masing partai, mulai dari yang paling kiri ke yang paling kanan.

MUNGKIN terlalu simplistis kalau kita menduga bahwa ketidakmauan untuk bersatu adalah karena ego yang terlalu besar dari para elite politik itu sendiri. Tetapi, ini bukannya tanpa preseden. Untuk menggolkan suatu sasaran, setelah pemilu terakhir tiba-tiba muncul Poros Tengah yang merupakan aliansi dari beberapa partai. Skenario yang digarap Poros Tengah itu berhasil mengantar Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia. Tetapi, kita tahu sendiri bagaimana kini posisi masing-masing pemimpin Poros Tengah itu.

Kelahiran Poros Indonesia juga boleh jadi merupakan cermin dari pudarnya rasa kegotongroyongan itu. Beberapa tokoh pemimpin PDI Perjuangan yang merasa tidak lagi memperoleh kesempatan untuk memimpin, lalu berdiri sendiri agar dengan demikian mereka dapat memimpin dan menyelenggarakan program-program yang diyakini mereka. Di sini, mau tidak mau, kita terpaksa mengakui Golkar sebagai partai yang berpengalaman dan mantap. Mereka telah berhasil menginternalisasikan soal Golkar Putih dan Golkar Hitam dan kemudian menyelesaikannya tanpa mengakibatkan perpecahan dalam tubuh partai.

Demokrasi memang tidak bisa hidup tanpa hadirnya multi partai politik. Tetapi, partai-partai politik harus mendidik para anggotanya untuk hidup bersama, bukan hanya untuk menonjolkan warna partai. Pendidikan memerlukan dana. Dari mana partai-partai kecil akan dapat menghimpun dana untuk menegakkan organisasi dan melakukan kaderisasi? Jangan-jangan akan terjadi lagi money politics yang tidak kelihatan, di mana partai-partai kecil disandang dananya oleh partai besar agar kemudian menyumbang suaranya ke sana.

Kegotongroyongan identik dengan kesatuan, tetapi tidak identik dengan keseragaman. Kegotongroyongan adalah senapas dengan Bhinneka Tunggal Ika. Kita harus mampu menyelaraskan keragaman orientasi dan interes agar dapat secara royong menggotong beban bangsa ini bersama-sama.

Bisakah kita tumbuhkan kembali semangat gotong royong di tengah eforia demokrasi yang tampaknya lebih menekankan pada kenafsian?

Bondan Winarno - Asal Usul, 6 Agustus 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home