Friday, April 14, 2006

250600 - BPPN dan Treuhand

SEJARAH mengajarkan banyak hal kepada kita. Sayangnya, begitu banyak pelajaran sejarah yang kita sia-siakan. Treuhandanstalt, biasa disingkat Treuhand (baca: troihand), adalah badan interim yang dilembagakan pada 1990 ketika Jerman Barat dan Jerman Timur mengalami unifikasi. Treuhand bertugas melakukan restrukturisasi perusahaan Jerman Timur agar dapat dijual kepada investor baru.

Salah seorang Wakil Ketua Treuhand -seorang mayor jenderal tentara Jerman yang bergelar doktor filsafat- pernah saya undang bicara di Jakarta pada akhir 1998. Sayangnya, ketika itu ia tidak sempat dimanfaatkan BPPN untuk bertukar pengalaman. Padahal, begitu banyak kemiripan BPPN dengan Treuhand.

Yang paling saya sayangkan adalah lolosnya "pelajaran" tentang Leitungsausschuss (steering committee) yang ketika itu diselenggarakan Treuhand. Saya tidak mengatakan ini adalah formula sukses atau kiat yang benar, tetapi setidaknya kiat itulah yang membuat Treuhand sukses.

Leitungsausschuss terdiri atas 60 orang pakar yang secara transparan direkrut dari masyarakat bisnis. Leitungsausschuss melakukan pemeringkatan terhadap 12.500 lembaga bisnis yang akan direstruktur. Hasil penilaian mereka, diikuti rencana restrukturisasi terhadap masing-masing kelompok peringkat, kemudian diajukan kepada dewan pimpinan Treuhand untuk menjadi bahan keputusan terhadap tindakan yang akan dilakukan.

Ketika didirikan, Treuhand tidak dimaksud untuk menghadapi situasi krisis ekonomi. Ia dianggap sebagai privatization agency untuk "menjual" lembaga-lembaga bisnis Jerman Timur kepada investor. Yang kita ingat pula dari sejarah adalah pada tahun 1980-an, Jerman Timur mengalami fase over-industrialization karena pemusatan perencanaan. Bila memakai bahasa developmentalis, yang dilakukan Treuhand adalah: restrukturisasi dari centrally-planned economy ke free enterprise.

Label-label kegiatan itulah yang sebenarnya merupakan atribut Treuhand. Tetapi, celakanya, sama dengan BPPN, Treuhand pun lebih populer di media massa dengan label-label yang merendahkan, antara lain: kantor lelang. Tugas Treuhand ketika itu memang harus melego sekitar 12.500 lembaga usaha dan 15.000 properti yang menjadi aset perusahaan-perusahaan itu. Bandingkan dengan BPPN yang harus merestrukturisasi sekitar 170.000 lembaga usaha.

ORANG memang cenderung menilai sesuatu berdasarkan keluaran akhirnya, tanpa melihat proses. Treuhand dilecehkan hanya sebagai kantor lelang. Padahal, perusahaan yang dilelang itu harus terlebih dulu direstrukturisasi. Salah satu elemen restrukturisasi yang paling berat dari perusahaan Jerman Timur adalah membuatnya akrab lingkungan. Pada masa sebelum unifikasi, kegiatan usaha Jerman Timur boleh dikata mengabaikan kaidah lingkungan dan kelestarian sumber daya alam. Pengalaman perusahaan Indonesia yang ingin mencapai kualifikasi ISO-14001 menunjukkan, ongkos untuk compliance terhadap manajemen lingkungan sangat mahal. Tanpa melalui restrukturisasi dan menjadi ramah lingkungan, banyak lembaga bisnis Jerman Timur yang tidak akan laku dijual.

Treuhand beruntung karena ongkos restrukturisasi ditanggung pemerintah. Tetapi, itu tidak membebaskannya dari tuduhan mengobral jualannya supaya gampang dan cepat laku. Sebuah puri di atas lahan yang luas, misalnya, dijual hanya dengan harga setara Rp 8 milyar. Wah, bahkan rumah yang lebih kecil dengan halaman lebih kecil di Pondok Indah saja bisa berharga segitu.

Namun, itu adalah cara memandang pars pro toto (sebagian untuk seluruhnya). Orang lupa, pembeli properti semurah itu harus menjamin berlangsungnya lapangan kerja yang disediakan properti itu sebelumnya.

Dalam kasus di atas orang tidak melihat yang dijual Treuhand sebetulnya bukan cuma properti, melainkan sebuah going concern, yaitu pabrik alat-alat musik (klarinet, oboe, bassoon) yang dikerjakan dengan tangan oleh ratusan pengrajin. Pembeli properti itu tidak boleh mengubah properti itu menjadi mansion pribadi yang akan menghilangkan ratusan lapangan kerja.

Dari contoh di atas kita bisa memahami kemiripan paling menonjol dari Treuhand dan BPPN adalah keduanya sama-sama didera opini publik dan sikap pers yang negatif. Pers pun getol menyuarakan pendapat para politisi, pakar ekonomi, maupun pseudo-pakar, yang miring terhadap Treuhand dan BPPN.

Kita baru saja menyaksikan betapa pers "memihak" kepada tim manajemen lama PT Astra International dalam proses menjual saham AI yang dimiliki BPPN. Pers gencar menyerang BPPN atas setiap tindakan dan manuver yang dilakukannya. Tetapi, ketika BPPN akhirnya berhasil menuntaskan pekerjaan itu pada batas waktu yang ditetapkan dan dengan harga wajar, pers pun diam-diam undur diri. Seolah-olah BPPN tidak pernah ada dalam proses pemulihan harta negara dari Astra. Sungguh, untragbar.

Saat ini pun ada anggapan aset yang dikelola BPPN adalah aset rongsokan. Semula diduga semua aset itu senilai Rp 600 trilyun. Tetapi, setelah diverifikasi ternyata nilainya - dengan hitungan terbaik -hanya Rp 230 trilyun. Bahkan dengan nilai Rp 230 trilyun pun BPPN akan tetap mengalami kesulitan besar karena yang dijualnya bukanlah aset, melainkan lembaga bisnis.

Treuhand telah menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu lima tahun, dan telah dibubarkan. Hampir seluruh 12.500 lembaga bisnis telah berpindah tangan. Sejumlah 1,4 juta lapangan kerja berhasil dipertahankan, dan investasi baru mencapai 173 juta DM.

Tinggal kini membuktikan apakah BPPN akan nanti menutup sejarahnya seperti Treuhand. Saya kira salah satu kuncinya terletak pada governance. Apa pun yang dikatakan pers dan masyarakat elite, bila BPPN konsisten transparan dan akuntabel menjalankan mandatnya, namanya akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah ekonomi bangsa kita.

Yang juga penting adalah, orang-orang BPPN harus mulai sekarang menyadari bahwa ini adalah pekerjaan yang tidak akan memperoleh tanda terima kasih. Ontdankbaar werk, kata orang Belanda. Kalau tidak berhasil, kalian akan dicaci-maki. Kalau berhasil, siapa yang mikirin?

Bondan Winarno - Asal Usul, 25 Juni 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home