Friday, April 14, 2006

020700 - Pujian

KETIKA matahari pelan-pelan tenggelam di ufuk barat dan cahaya merah mewarnai langit, kulihat sekawanan burung jalak pulang ke sarang. Rombongan burung itu tiap pagi terbang ke arah selatan, dan sorenya, pada jam-jam seperti ini pula, kembali terbang ke utara.

Di sawah, para petani bergegas pulang merebut waktu shalat magrib. Panggilan suara azan menggema hingga ke luar batas kampung mengingatkan datangnya kewajiban untuk segera ditunaikan. Gema seperti itu sudah ajeg mengisi seluruh kampung dan jiwa penduduknya yang lugu dan sederhana.

Dalam kesadaran mereka, bekerja keras seharian untuk dunia telah dilakukan, dan kini giliran bekerja untuk akhirat. Hidup harus dibangun di atas falsafah keseimbangan seperti itu. Terus menerus. Maka, di surau pun kalimat suci memantul dari dinding hati warga desa yang taat, dan pelan-pelan merayap ke luar lewat pintu, jendela, tembok, dan genteng rumah suci itu, lalu meloncat di dahan dan di pucuk pepohonan. Kemudian, tentu saja, ke hadirat Tuhan yang Maha Tinggi.

Hidup yang berat dan getir dan melelahkan, sejenak dilupakan. Juga semua berkah dan nikmat yang menyenangkan. Bagi mereka, semua itu maya, sesaat-artinya jelas tidak kekal-dan dalam batas tertentu malah cuma menjadi godaan yang membuat orang berpaling dari pencarian makna hidup yang lebih hakiki.

Dunia-pahit atau manisnya-tak jarang membuat kita tergelincir. Maka, kita pun wajib punya sandaran. Dan sandaran itu mungkin ini bunyi dan isinya.

"Allah, Allah, kulo nyuwun ngapura" (Tuhan, hamba mohon ampunan-Mu). "Gusti Allah, kulo nyuwun ngapura" (Tuhan, hamba mohon ampunan-Mu). Seluruh dosa hamba, baik dosa kecil maupun dosa besar, tak ada yang bisa memberikan ampunan. Sungguh tak ada yang bisa memberikan ampunan, kecuali Yang Maha Mulia, yang merajai seluruh alam semesta, yakni Allah nama-Nya, yakni Allah nama-Nya..."

Nyanyian rohaniah ini, yang disebut "pujian", bukan lagi ornamen dan sekadar barang tempelan, melainkan telah menjadi bagian tradisi lisan di desaku. Ini wujud tampilan luar. Wujud tampilan dalam ibaratnya sudah larut di dalam darah dan sumsum warga desa.

Pagi hari, hidup dibuka dengan doa dan pujian; sore dan malamnya, hidup ditutup pula dengan pujian, pujian, dan pujian. Bangunan kesadaran jiwa kelompok yang--dalam rumusan kaum terpelajar-disebut community of faith (sebutan kita orang-orang beriman)-harus dilandasi dan sekaligus diisi kekaguman demi kekaguman kepada Tuhan yang bersifat rahman dan rahim, maha murah dan maha kasih. Ringkasnya, orang-orang beriman-mungkin terutama kaum sufi dan kelompok orang-orang dari dunia tarekat-pekerjaan rohaniahnya yang utama ialah terpesona.

Semua perwujudan wajah Tuhan: gunung, matahari, bintang-bintang, bulan, cinta, kemurahan hati, hidup, kematian, gelombang, cuaca, badai, kabut, dan langit yang begitu lebar sebagai atap dunia tanpa tiang sepotong pun tetapi aman, jelas membuat mereka terpesona, kagum, dan terpesona lagi. Dan kemudian lahirlah pujian. Para peletak dasar hidup kerohanian di kampungku, para dai yang mulia, menjadikan pujian ini tradisi lisan dan mereka sukses memanggul misi suci itu. Dan dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun -dan waktu pun terbentang menjadi abad-pujian ini diulang dan diulang untuk beberapa tujuan. Pertama, mengisi jambangan jiwa mereka dengan keterpesonaan akan apa yang agung dan suci dan mulia. Kedua, memperkukuh tali keterpesonaan itu agar ia bukan cuma menjadi hiasan bibir, melainkan hiasan jiwa. Ketiga, membangun solidaritas kelompok. Keempat, membangun identitas diri bukan cuma dari sudut tampilan luar malainkan juga dari tampilan dalam mereka. Kelima, melatih kesabaran: bahwa bahkan nafsu, ambisi, atau hasrat menyembah dan memuliakan Tuhan pun pada momen tertentu wajib ditahan, untuk menunggu berkumpulnya para anggota community of faith lainnya.

Di ujung pujian mereka-sebelum akhirnya komando untuk shalat dimulai-suara mereka melengking tinggi, menunjukkan keterpesonaan pada "yang memiliki sifat rahman" dan sifat "rahim" itu.

APA yang tampak di balik itu semua dilihat dari sudut tatanan sosial desaku? Mungkin harmoni, kerukunan, dan solidaritas dalam arti sebenarnya. Dan ketika pandangan tertuju ke kelompok lain-yang memuji Tuhan dengan kalimat suci dan idiom teologi yang lain lagi-kita menemukan bangunan sosial yang namanya toleransi dan kedamaian antar community of faith yang berbeda kulit luarnya.

Itu dulu, ketika kita belum merdeka sepenuhnya. Setelah reformasi, kita tampak lebih merdeka. Tetapi di sana sini, muncul tangan dan jiwa-jiwa yang tak rela melihat hidup menjadi lebih baik. Mereka berhasil mengoyak dasar-dasar solidaritas, kerukunan dan rasa cinta dalam kelompok community of faith maupun dalam himpunan kolektif bernama warga negara Indonesia. Kita ibarat tengah meraba-raba dalam kegelapan struktur sosial-politik kita untuk tampil sebagai Arjunanya Yudhistira Ardhi Nugraha yang mencari cinta. Benda abstrak bernama cinta memang bisa hilang, dan tampaknya dalam usaha kita mencari cinta itu, kita tak tampil sebagai Arjuna, melainkan menjadi Buta Cakil yang kasar, ganas dan kejam dan ke sana ke mari membawa senjata tajam berupa keris.

Saya khawatir bila simbol Buta Cakil ini pun secara tepat diwakili para tokoh politik, tokoh birokrasi, tokoh pemikir dan para tokoh agama maupun tokoh-tokoh lain, yang gemar berjumpalitan ke sana ke mari. Kita kehilangan kehalusan dan kesediaan tawar menawar secara enak dan damai.

Kita menjadi kasar, serakah, dan berangasan, dan kejam. Kita menuntut apa saja hari ini. Makmur, hari ini. Adil, hari ini. Rukun, hari ini. Kita minta pembagian kekuasaan dan jabatan, hari ini. Semua hari ini.

Kita seolah hidup di alam mistis ribuan tahun lalu, ketika segala sesuatu cukup dicipta dengan muja semedi kepada kekuatan gaib. Kita lupa, hari ini hidup wajib ditempuh lewat proses sosial-politik yang panjang dan melelahkan. Dan bahwa dalam proses itu orang-orang baik, yang berjuang demi kebenaran pun ada kalanya kalah. Kita lupakan ini semua. Kita lebih suka menjadi Buta Cakil.

Simbolisasi ini mengerikan, karena Buta Cakil itu bernasib tragis: mati di ujung kerisnya sendiri. Mengapa kita tak bisa lagi menjadi Arjuna, yang tenang, dan merumuskan kata, idiom, dan artikulasi politik secara demokratis?

Semoga tak semua kita telah menjadi Buta Cakil. Di tengah kita masih ada tokoh yang bisa bicara enak, dan tenang, tanpa marah, tanpa ambisi politik seperti Cak Nur. Ia, di tengah kesukaran kita memancarkan nur ketulusan. Ini bukan kultus, melainkan pujian tak berdosa.

Mohamad Sobary - Asal Usul, 2 July 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home