Friday, April 14, 2006

110600 - Jiwa

BUKAN salahnya bila ia menuang sup panas itu ke dalam piring ceper dan bukan ke dalam mangkuk, karena bocah itu tidak tahu. Harga kebodohan memang mahal. Dan memalukan.

Kebodohan-mungkin ketidaktahuan-itulah yang membuatnya merasa salah, malu, gemetar, dan gugup. Sup panas itu akibatnya tumpah. Dan ia makin gemetar, makin malu, makin gugup. Apa lagi setelah Sarah- gadis kecil, lincah dan ceria itu -tertawa. Sarah tertawa spontan, murni, tak menghina dan tak meremehkan. Tetapi, bagi Yakob, tokoh utama dalam novel mengharukan, Yakob Si Lurus Hati itu, tawa itu menjadi tamparan bagi jiwa dan harga dirinya. Maka Yakob pun lari meninggalkan meja makan, sebuah tempat terkutuk yang menegangkan syaraf dan jiwanya, menuju ke pojok gelap di ruang tamu yang begitu mewah di rumah Tuan Drumond, orangtua Sarah, yang baru saja menjadi orangtua angkatnya.

Yakob anak "liar" yang hidup di sebuah perahu di sepanjang Sungai Thames di Inggris. Ibunya mati karena minuman keras. Ayahnya mati tenggelam. Di rumah Tuan Drumond yang memeliharanya kemudian, Yakob bersentuhan dengan tata krama kelas atas yang membuatnya gerah, asing, dan menakutkan. Ia gugup ketika di meja makan itu tertata piring sendok, dan garpu, dan pisau. Ia tak tahu apa semua itu gunanya.

DI ruang Peacock, Hotel Imperial yang supermegah di Tokyo, berlangsung jamuan malam. Di sana hadir para pemimpin resmi dan tidak resmi, dan pengusaha raksasa, dari tiga belas negara Asia. Saya pun hadir. Secara pribadi saya diundang. Prakteknya saya pun resmi mewakili Antara.

Siapa duduk semeja bundar dengan siapa, tokoh apa duduk di deretan mana, pasti ada patokan seni manajemen pergaulan tokoh-tokoh yang dianut panitia. Hadir di tengah orang banyak, dengan aturan serba resmi, demi sebuah ritus resmi pula, sungguh bukan urusan sederhana bagi saya.

Taplak meja putih, serbet putih, dan garpu sendok dan pisau itu juga bikin gugup saya. Empat garpu, dan empat pisau di bagian kiri dan kanan piring saya, dan satu garpu lebih kecil dan satu sendok juga kecil di bagian depan piring saya itu, apakah masing-masing gunanya?

Biarpun bankir besar di sebelah kiri dan usahawan di kanan saya itu ramah, serta tak mempersoalkan apakah saya terbiasa atau malah alergi terhadap semua tata krama itu, saya tak bisa bohong pada diri sendiri. Pada detik itu pula saya ingat sahabat imajiner saya, Yakob, yang menyosor sup di piring seperti bebek, dan mempermalukan diri sendiri karena menumpahkannya di dalam sebuah acara rutin yang begitu tertib, begitu sopan dan khusyuk.

Yakob dan saya memang pribadi yang tak cocok dengan iklim dan tuntutan resmi seperti itu. Dalam hidup mungkin memang ada, atau wajib ada, orang yang jiwanya "berbunyi": sekali petani tetap petani.

SURAT kabar Nikkei-bahasa Jepangnya Nihon Keizai Shimbun-intinya cuma koran biasa, dan statusnya pun cuma keempat terbesar di Jepang. Jumlah oplahnya tiga jutaan.

Tiap tahun perusahaan ini menyelenggarakan pertemuan tokoh Asia untuk berpikir tentang Asia. Cuma orang Asia yang tahu-atau wajib memikirkan-nasib Asia, mungkin diam-diam menjadi landasan pikiran para tokoh Nikkei.

Asia sebuah benua besar, dihuni bangsa-bangsa yang bayak jumlahnya, sangat bervariasi, dan kompleks peradabannya. Bila sebuah konferensi dua hari hendak membahas perkara hidup bangsa Asia, tak pelak lagi di sana ada watak ambisius dan penyederhanaan masalah secara berlebihan.

Namun, di balik itu semua di antara petinggi koran itu ada pikiran besar dan langkah besar berjangka panjang. Ada pikiran sistematis dan strategis tentang nasib kolektif rumpun bangsa Asia.

Tiap tahun topik konferensi berganti. Tahun ini pilihan topik dari panitia The Future of Asia. Subtopik bahasan yang menarik mungkin Jalan Menuju Refitalisasi Asia dan program penyembuhan dari krisis ekonomi dan kerjasama ekonomi.

The Future of Asia mungkin gambaran mengenai Asian Dream. Di tengah himpitan krisis ekonomi sekarang lahir pikiran penting dan strategis mengenai kerja sama dan kesediaan saling membantu dengan sentimen ke Asia-an yang lebih dalam, lebih mendesak.

Ini soal penting. Tetapi, ketika wartawan Nikkei mewawancarai saya dan bertanya apa saran saya buat tema konferensi tahun depan, saya bilang, Reinventing Asian Soul mungkin lebih mendasar dan lebih menjawab kebutuhan kolektif rumpun bangsa Asia. Juga bangsa Indonesia, yang kini tengah kehilangan jiwanya.

IDE mengenai Reinventing Asian Soul itu datang dari pengalaman lokal Indonesia. Ketika masih hidup di bawah bayangan panjang seorang jendral yang mengusai kita tiga puluh tahun lebih, kita tak kehilangan akal sehat. Kita secara individual maupun kolektif waktu itu masih optimis musim akan berganti dan hidup akan bisa ditata ulang lebih baik. Masih ada harapan pada tokoh gerakan perlawanan politik maupun kebudayaan, bahwa kelak mereka akan tetap konsisten dan setia pada perjuangan mereka.

Namun, setelah mereka sendiri ternyata berkuasa dan menjadi kelompok "elite" politik, senjata mereka tiba-tiba tumpul. Mereka tidak lagi kritis terhadap keadaan itu, tidak elite dan tidak sensitif terhadap urusan paling mendasar bagi seluruh bangsa.

Dari hari ke hari mereka cuma bicara pembagian kekuasaan di antara teman, atau usaha menjegal lawan politik buat kepentingan partai dan golongan. Orang mengira reformasi sudah memberi jaminan yang kita butuhkan. Dan para pemimpin kita pun sibuk menyuguhkan perdebatan politik lewat media. Mereka mengira rakyat membutuhkan itu semua. Mungkin karena cuma itu yang bisa mereka lakukan.

Sebuah perusahaan penerbitan di Jepang sangat serius memikirkan nasib hari depan Asia. Di Indonesia, sebuah bangsa yang mengaku besar, kehilangan nalar memikirkan nasibnya sendiri. Dan dari hari-ke hari hidup makin tak menentu. Orang makin cemas, makin takut.

Di NTT orang mengejek diri sendiri. Katanya NTT = Nasib Tak Tertentu, dan jalan keluarnya cuma harapan. Maka NTT pun beralih arti Nanti Tuhan Tolong.

Apa kata orang Jakarta di gedung DPR/MPR? Mereka bicara kekuasaan dan kekuasaan, tetapi mereka lupa memberi jiwa yang adil, yang manusiawi dan damai pada kekuasaan tadi.

Mohamad Sobary - Asal Usul, 11 Juni 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home