Friday, April 14, 2006

040600 - Pemerintah Sebagai Fasilitator

DALAM minggu ini, Emil Salim akan merayakan ulang tahunnya yang ke-70. Dalam statistik kependudukan, tidak banyak penduduk Indonesia yang mencapai usia 70 tahun. Tentu akan lebih sedikit lagi kalau kita melihat statistik penduduk Indonesia yang pada usia 70 tahun masih sangat in charge dan in shape.

Pak Emil adalah juga salah satu dari sedikit pemimpin nasional yang sangat populis dalam pendekatannya. Sejak awal ia konsisten dengan apa yang sekarang disebut sebagai multistakeholders approach. Ketika menjadi Menteri Negara PPLH, ia menyadari benar bahwa Pemerintah tidak bisa sendirian. Tetapi, pada waktu itu LSM (lembaga swadaya masyarakat) belum menjadi mode di Indonesia. Maka ia pun menjadi fasilitator untuk melembagakan Kelompok 10-sebuah koalisi LSM lingkungan yang kemudian menumbuhkan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), sebuah LSM lingkungan yang kini sangat berpengaruh. Pak Emil bahkan memberi fasilitas ruang kantor bagi Kelompok 10 dan Walhi di gedung Kantor Menteri Negara PPLH. Sekalipun demikian, ia juga berhati-hati untuk tidak mengkooptasi LSM-LSM yang diberinya fasilitas. Ia sadar bahwa LSM harus diberdayakan menjadi mitra yang mandiri.

Erna Witoelar yang menjadi Ketua Umum Walhi pertama mengakui, "Kami bersepakat atas banyak hal, tetapi juga tidak bersepakat dalam beberapa hal. Agree to disagree justru merupakan kesepakatan yang saling kami hargai." Pak Emil secara avant garde menerapkan demokrasi dalam kehidupan berlembaga di negeri ini.

Ketika menjadi Ketua Umum Panitia Nasional Indonesia Emas, Pak Emil juga menerapkan secara konsisten konsep agar Panitia Nasional (dalam hal ini Pemerintah) hanya berfungsi sebagai fasilitator. Cacuk Sudarijanto yang ketika itu menjadi Direktur Pelaksana mengatakan, gagasan Pemerintah sebagai fasilitator itulah yang merupakan kunci sukses. "Perhelatan nasional itu benar-benar ownership-nya ada di tangan masyarakat. Alhasil, dengan cara itu kita semua berhasil menyelenggarakan pesta rakyat dengan biaya sangat kecil di tingkat nasional. Masyarakat-lah yang mendanai sendiri kendurinya masing-masing."

KITA masih ingat betapa menjelang peringatan Indonesia Emas itu sepanjang Pantai Utara Jawa serta di berbagai pelosok Tanah Air, semarak dengan penjor lampu warna-warni. Masyarakat Perancis menyumbang kembang api senilai Rp 1 milyar untuk kenduri nasional di Silang Monas ketika warga Jakarta dengan pakaian tradisional mengusung tumpeng masing-masing untuk disantap bersama pada puncak acara.

"Pak Emil bukanlah orang yang cenderung melakukan micro-management," kata Cacuk mengungkapkan salah satu kelebihan lain Pak Emil. "Ia hanya mengemukakan garis besar pemikirannya, kemudian kami menerjemahkannya menjadi rencana tindakan." Kiat itu pula yang mampu membuat Pak Emil seolah-olah menjadi naga berkepala tujuh: ia mampu melakukan berbagai pekerjaan secara simultan. Erna Witoelar, Linus Simandjuntak, dan beberapa orang yang dekat dengan Pak Emil, menjadi saksi betapa seringkali Pak Emil mampu menghadiri tiga rapat sekaligus di beberapa ruang berbeda di kantornya dulu.

Penghampiran itu membuat kita jadi paham akan sebuah kiat Pak Emil yang sangat terkenal, yaitu Sambil Berlayar Membangun Perahu. Jangan harapkan kesempurnaan pada titik berangkat. Sambil berjalan, kita sempurnakan dan lengkapi perangkat yang diperlukan. "Ketika Republik Indonesia diproklamasikan, bangsa kita kan juga belum mempunyai semua perangkat kelengkapannya," kilah Pak Emil.

Kalaupun Pak Emil akhirnya gagal memposisikan dirinya melalui Gerakan Masyarakat Madani untuk menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia, kita harus mengakuinya sebagai salah satu dari sedikit pemimpin bangsa yang mampu bertahan lama menjadi pemimpin yang bersih dan berguna. Sedikitnya ada tiga elemen yang mungkin membuatnya mencapai prestasi itu: kebersihan (dalam arti bebas KKN), kenegarawanan, dan kedekatannya dengan masyarakat. Sikap dan gayanya yang sangat populis membuat kenegarawanannya mempunyai warna yang sangat khas.

KALAU diamat-amati, Pak Emil memang bisa dianggap sebagai seorang survivor. Pada masa Presiden Soeharto, ia survived menjadi menteri negara penyempurnaan dan pembersihan aparatur negara (hanya dua tahun karena usia kabinet yang pendek), menteri perhubungan selama satu periode, menteri negara pengawasan pembangunan dan lingkungan hidup selama satu periode, dan kemudian menjadi menteri negara kependudukan dan lingkungan hidup selama dua periode. Setelah tidak di kabinet, ia juga masih dipercaya Pak Harto untuk mengetuai Panitia Nasional Indonesia Emas. Pada masa Presiden Habibie ia memang tidak memegang jabatan pemerintah, tetapi dalam "celah" itu Bank Dunia mempercayainya memimpin CRP (Community Recovery Program) yang menyantuni berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat di masa krisis. Pada masa Presiden Gus Dur ia diangkat sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional.

Jarang ada pejabat yang bisa bertahan "terpakai" begitu lama sebagai tokoh penting. Barangkali hanya Prof Dr Widjojo Nitisastro saja yang bisa menyamainya sebagai survivor. Dan itu bukan tanpa preseden dan bukan pula karena kesamaan hari ulang tahun Pak Emil dan Pak Harto. Pak Widjojo dan Pak Emil adalah sama-sama anggota "pasukan elite" think tank Seskoad yang pada 1967 diangkat Presiden Soeharto sebagai tim penasihat ekonomi yang kemudian terbukti sangat andal.

Tidak hanya itu! Sekalipun Pak Emil tidak lagi berada di kabinet sekarang ini, sebetulnya ia tetap terwakili di kabinet. Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah Erna Witoelar tanpa tedeng aling-aling mengakui ia adalah binaan langsung Pak Emil dan memakai mindset yang sama dalam penghampiran pembangunan. Pak Emil tetap "meninggalkan belang"-nya di kabinet yang sedang berjalan.

Selamat ulang tahun, Pak Emil. It's not how long you make it, but how you make it long.

Bondan Winarno - Asal Usul, 4 Juni 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home