Friday, April 14, 2006

240900 - Raja Senyum dan Raja Humor

MANTAN presiden kedua kita, Pak Harto, dikenal sebagai the smiling general. Dalam cuaca hujan berangin maupun panas terik, malam atau siang, pagi atau sore, Pak Harto selalu senyum. Dan saya kira, senyumnya agak kelihatan khas.

Namun, saya tidak tahu apakah senyumnya manis, tulus, sinis, hangat atau dingin mematikan. Kalau orang bisa senyum dalam segala cuaca, senyum itu sudah pasti sukar ditebak apa kandungan maknanya.

Kelihatannya, secara lahiriah, segala sesuatu berarti ya, karena selain senyum, beliau juga gemar manggut-manggut, mengangguk-angguk seolah apa pun ditanggapi secara positif.

Mungkin ini simbol paling menyesatkan bagi orang yang tak begitu paham akan sikap dan tingkah laku sang Presiden yang kini sudah lengser keprabon madek Pandito itu.

Maka, the smiling general memang sangat tepat dijadikan julukannya. Dalam bahasa Inggris yang benar, ia berarti jenderal murah senyum. Tetapi dalam pemahaman yang agak salah, ternyata bisa benar juga kalau senyum itu bersifat general, artinya senyuman umum, karena sekali lagi, segala hal ditanggapi dengan senyum.

Ketika sesaat terjadi salah pengertian soal Nawaksara dan pers kita memuatnya, Menteri Muda Hayono Isman mungkin sedikit heran, atau malah bingung, karena ketika menghadap Pak Harto menteri ini yakin Pak Harto setuju diadakan seminar nasional mengenai Nawaksara.

Namun, mengapa tiba-tiba timbul pemberitaan Pak Harto belum tentu menyetujuinya?

Maka, Pak Emil (Emil Salim) pun secara khusus menyelidiki untuk secara langsung mengetahui bagaimana situasi ketika menteri muda itu berdialog.

"Mimik Pak Harto bagaimana ketika menyatakan ya kepada Anda?" tanya Pak Emil. Tokoh senior ini bukan orang Jawa, dan juga tak bisa berbahasa Jawa, tetapi sangat paham akan Pak Harto berkat pergaulan yang begitu lama.

"Mimik itu yang lebih penting dipahami," kata Pak Emil kemudian. Dan intinya, Pak Emil juga yakin bahwa ya itu berarti tidak.

Hanya orang Jawa, atau mungkin khususnya hanya Pak Harto, yang bisa begitu.

Tahun 1970-an, kabarnya datang serombongan mahasiswa dari Bandung menemui Pak Harto. Mereka mengajukan tuntutan, dan kritik pembangunan yang pada intinya di mata para mahasiswa itu, pembangunan mulai kelihatan menyimpang. Saat itu Pak Harto masih murah hati-selain murah senyum-dan suara kaum muda itu pun ditampung. Setidaknya, nyata mereka bisa langsung berdialog, dan masing-masing tiba di rumah dengan selamat. Tak ada orang berseragam membuntuti mereka.

Apa yang terjadi selama dialog? Sebenarnya dialog hampir tak ada. Pak Harto tak suka dialog. Saat itu yang terjadi cuma monolog, karena para mahasiswa itu cuma berganti-ganti bicara, menyampaikan segala gagasan ideal yang mereka pahami mengenai pembangunan, dan Pak Harto kabarnya selama itu manggut-manggut terus, sambil senyum dengan sejuta makna itu.

Selebihnya, setelah semua aspirasi mahasiswa didengar, Pak Harto konon cuma menyatakan satu kata, "Sudah?" Dan entah pesona apa yang menyertai kata itu, kabarnya para mahasiswa pun lantas mengangguk, dan pulang dengan tertibnya, sambil membawa perasaan bahwa mereka pulang dengan "kemenangan".

Alangkah efektifnya kata bila semua corak dialog bisa cuma dijawab dengan senyum, ditambah satu dua kata ringkas seperti itu. Tetapi, betapa kacaunya hidup dan segenap tatanan di dalamnya, bila tiap saat lahir Pak Harto dan Menteri Hayono terus-menerus.

Hidup pasti akan selalu diwarnai salah paham. Dan anehnya, sebagai raja senyum, Pak Harto pasti cuma senyum pula menghadapi kesalahpahaman menteri Hayono. Pak Harto mungkin saja berkata geli dalam hati, "Hi, hi, hi, cah cilik, biarkan saja."

Senyum mungkin diplomasi standar pada tingkat internasional, dan paling efektif untuk menbangun pengertian bersama. Kata, atau kalimat, bisa disalahartikan. Tetapi senyum tidak.

Senyum itu simbol. Dan simbol, kita tahu, mainan orang dewasa. Biasanya cuma orang dewasa yang terampil berdialog dalam bahasa simbol, sasmita, dan segenap sandi, yang tak perlu kata-kata.

"BILA Pak Harto raja senyum, raja apa presiden lainnya?"

Saya tidak tahu yang lain-lain, tetapi Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mungkin raja humor. Nashrudin, Abu Nawas, Mang Bodor, Asmuni, Bing Slamet, Ateng, Petruk, Gareng, Semar, Bagong, Butet, Jadug, Kiai Mus, kiai Langitan, para pastor, para pendita, para biksu, ketoprak humor, ketoprak "jampi" stres, Ainun Nadjib, mungkin semua kalah dari Gus Dur.

Ketika menonton ketoprak humor di Taman Ismail Marzuki beberapa bulan lalu, Ina, putri Gus Dur sendiri, menepuk-nepuk punggung sang ayah sambil berkata, "Pa, tenang saja Pa, Papa tak mungkin kalah dari mereka," kata putrinya. Dan Gus Dur pun terkekeh-kekeh.

Dunia memang aneh. Raja humor ini sekarang menjadi presiden sebuah republik yang mendekati kebangkrutan sosial, kebudayaan, politik dan ekonominya. Dan republik itu disebut Indonesia. Dan sayangnya itu negeri kita.

Gus Dur, si raja humor terampil mengejek orang lain, seterampil ia mengejek dirinya sendiri. Ia, misalnya, berkata bahwa Pak Harto itu dulu presiden new order. Pak Habibie, presiden in order boleh juga out of order, dan dia sendiri?

"Saya presiden no order," katanya, kemudian terkekeh-kekeh mendahului bunyi tawa publik yang mendengarnya. "Dan apa hubungannya presiden new order dari no order?"

Keduanya sebetulnya sama saja. Sang raja senyum perlu interpretasi dari orang lain agar senyum itu dipahami akurat. Sang raja humor perlu interpretasi orang di kiri kanannya, agar pernyataan politik, perintah, atau ucapannya bisa dilaksanakan untuk sebesar mungkin kesejahteraan rakyatnya. Kalau tidak negara bisa repot. Raja senyum cuma senyum. Raja humor-keduanya presiden-cuma terkekeh-kekeh sambil mengejek, "Begitu saja kok repot." Kalau menuruti Gus Dur, repot betul kita.

Mohamad Sobary - Asal Usul, 24 September 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home