Friday, April 14, 2006

191100 - "The Audacity of the Desperate"

HUKUM sudah mati. Hidup reformasi!

Mas Tommy harusnya memahami kondisi ini. Psikologi massa mengenal adanya kondisi seperti saya sebut di atas: the audacity of the desperate, kenekatan orang-orang kepepet. Semakin putus asa dan kepepet seseorang, akan semakin menyeramkan (audacious) sikap dan tindakannya. Mas Tommy harusnya menyadari keselamatan jiwanya terancam karena pilihannya mengingkari hukum dan menjadi buronan. Akan sangat tidak terhormat pula baginya bila ia nanti akhirnya tertangkap. Mungkin digebuki ramai-ramai oleh masyarakat yang memergokinya. Mungkin ia malah akan diborgol oleh penangkapnya, dan gambar itu ditayangkan di semua media massa. Alangkah pilunya hati Jeng Tata bila nasib seperti itu akhirnya menimpa kangmas-nya.

Kondisi lawlessness ini sungguh mengerikan. Maling sepeda ditangkap, ditelanjangi, digebukin orang sekampung, lalu dibakar ketika dia masih setengah mati. Pornografi kematian ini bahkan disaksikan oleh anak-anak kecil sambil bertepuk tangan. Tidakkah itu pernah dilihat Mas Tommy di layar televisi? Percayalah, sebagai anggota masyarakat yang beradab, kita juga tidak ingin melihat azab itu menimpa Mas Tommy.

Penegakan hukum memang masih merupakan salah satu unfinished melody pemerintah sekarang. Reformasi menginginkan pemberantasan KKN. Alih-alih hilang atau berkurang, yang muncul sekarang malah neo-KKN. Reformasi mendambakan kehidupan demokrasi yang akan membuat masyarakat berdaya. Tetapi, karena demokrasinya kebablasan dan tidak mengindahkan kaidah, maka demokrasi yang diciptakan itu ternyata malah membuat kita terpuruk tanpa daya. Demikian juga penegakan hukum yang belum menunjukkan tanda-tanda positif. Bukan hanya mafia peradilan yang tetap marak, masyarakat bahkan tiba-tiba dikejutkan oleh kabar tentang investigasi terhadap beberapa pengacara kelas puncak yang diduga mengemplang pajak.

Kebetulan saya punya pengalaman pribadi untuk bisa menyatakan bahwa mafia peradilan masih alive and well. Sebagian Anda mungkin tahu saya sedang menghadapi kasus hukum -perdata dan pidana- atas dakwaan mencemarkan nama baik seorang mantan menteri melalui buku yang saya tulis dan terbitkan. Anda barangkali tahu, nama orang ini sudah rusak pada 1997, sedangkan buku saya baru beredar pada 1998. Lho, elok, kan? Kok saya yang dituduh mencemarkan nama baiknya.

Dalam perkara perdata, saya digugat untuk membayar ganti rugi Rp 2 trilyun. Bayangkan, yang namanya Osama bin Laden, dituduh mengotaki pengeboman gedung World Trade Center di New York yang mengakibatkan korban jiwa, hanya dituntut 1,25 juta dollar AS, atau sekitar Rp 12 milyar. Artinya, dosa saya dinilai sekitar 160 kali dosa Osama bin Laden. Dalam perkara ini saya telah kalah di tingkat pengadilan negeri, dan kalah lagi di tingkat pengadilan tinggi. Sekarang saya tengah mengajukan kasasi.

Dalam perkara pidana, saya juga telah dinyatakan bersalah di tingkat pengadilan negeri. Dalil hukumnya sangat lembek: untuk menghina tidak diperlukan adanya niat. Saya dihukum membayar ongkos perkara sebesar seribu rupiah, dan hukuman percobaan tiga bulan. Artinya, bila dalam enam bulan sesudah keputusan pengadilan dijatuhkan saya tidak melakukan tindak pidana lain, maka saya tidak akan pernah melihat dinding penjara dari dalam. Hukuman bo'ong-bo'ongan!

Yang penting, agaknya, adalah adanya keputusan pengadilan yang menyatakan saya bersalah dan menjadi terpidana. Dengan demikian orang yang memerkarakan saya itu bisa mengadakan konferensi pers dan menyatakan bahwa ia menang. Ini adalah siasat melakukan pencucian nama (laundering) yang luar biasa lihai. Tidak perlu heran bila badan peradilan ternyata membiarkan lembaganya untuk melakukan legitimasi ini.

YANG menjadi keheranan saya adalah, kok bisa saya kalah dalam perkara ini? Bukti-bukti yang saya ajukan sangat kuat. Polisi yang bertugas menyidik saya berkata, "Saya heran, perkara seperti ini kok bisa diteruskan. Memangnya polisi kekurangan pekerjaan?" Pasal ini dalam KUHP memang dikenal sebagai pasal "keranjang sampah". Apa saja yang membuat seseorang merasa terganggu bisa dimasukkan ke dalam pasal ini. Biasanya, tuduhan dengan pasal ini gagal maju ke sidang peradilan karena dianggap terlalu lemah.

KETIKA saya masih bekerja sebagai konsultan World Bank dua tahun lalu, dan kebetulan salah satu tugas saya berhubungan dengan governance, seorang counterpart dari Washington berkata begini: "Sulit menegakkan hukum di Indonesia dalam kondisi seperti sekarang. Para hakim adalah birokrat bergaji kecil yang memegang palu kekuasaan (low-paid bureaucrats with a great big hammer in his/her hands)."

Jadi, daripada repot-repot menyewa hakim profesional dari luar negeri, apakah kita mau menyerahkan saja lembaga peradilan yang terhormat ini akhirnya ke tangan para desperados? Rakyat sudah marah, muak, dan tidak percaya lagi pada lembaga pengadilan. Rakyat memilih untuk mengambil alih hukum di tangan mereka bila peluang untuk melakukan itu timbul. Pengadilan rakyat, siapa mau?

Bondan Winarno - Asal Usul, 19 November 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home