Friday, April 14, 2006

291000 - Pengibar Bendera

INI bukan tulisan tentang Paskibraka yang legendaris. Tetapi, memang tentang para pengibar atau pembawa bendera yang dalam bahasa Inggris disebut flag carrier.

Wacana pembicaraan kita belakangan ini banyak terfokus pada masalah penyelamatan aset bangsa. Sayangnya, karena kita sedang terserang wabah sadomasokis, tampaknya kita lebih suka membicarakan tentang ekstrem-ekstrem terburuk. Misalnya, tentang bagaimana menyelamatkan aset bangsa berupa perusahaan-perusahaan eks konglomerat yang sedang direparasi di bengkel BPPN. Ini memang cukup nikmat untuk menyakiti diri. Kita bisa mencaci maki semaunya, sambil mengungkap kegusaran, tanpa bisa mengusulkan apa-apa. Padahal, diam-diam kita juga sangat tercekam kecemasan, dan-diam-diam pula- sangat mengharapkan BPPN sukses, sehingga aset bangsa itu tidak tenggelam, bisa turnaround, dan jaya kembali sebagai mesin ekonomi.

Yang ingin saya bicarakan adalah unit-unit usaha yang justru tidak masuk dalam bengkel BPPN, yang sedang bergumul dengan restrukturisasi masing-masing, dan yang kebetulan pula hampir semuanya menghadapi masalah dan peluang sama, yaitu: privatisasi. Padahal, dalam kondisi ekonomi seperti sekarang ini, privatisasi hampir selalu berarti pindahnya saham alias kepemilikan ke pihak investor asing. Beberapa perusahaan itu antara lain adalah: Telkom, Indosat, Bank Mandiri, Garuda Indonesia. Anda bisa menambah sederet nama lagi.

Belum lama ini, dalam sebuah seminar Telkom di Bandung, seorang pembicara berbisik kepada saya. "Coba bayangkan! Telkom ini kan perusahaan mantap. Sumber daya manusianya andal. Organisasinya rapi. Budaya kerjanya sudah terbentuk. Kinerja usahanya cantik. Sayang kalau akhirnya kita tidak bisa menyelamatkannya dan jatuh ke tangan investor asing."

Sentimen seperti itu bukanlah merupakan penolakan terhadap investasi asing. Kita sangat menginginkan arus investasi asing untuk ikut memutar roda ekonomi kita yang stagnan. Tetapi, kalau masih punya kemewahan untuk memilih, sebaiknya investasi asing itu yang berupa investasi langsung, khususnya untuk sektor teknologi yang belum sepenuhnya jadi bidang kompetensi kita, atau yang pasarnya berada di ranah global. Sedangkan unit-unit usaha yang sudah "jadi" dan bersifat flag carrier seperti Telkom itu, mbok, ya, tetap dimiliki sahamnya secara mayoritas oleh warga bangsa sendiri. Begitu banyak modal telah terbang ke luar negeri. Bila direpatriasi, modal itu pasti bisa mendukung unit-unit bisnis nasional yang sudah mantap.

Garuda Indonesia adalah contoh lain yang ingin saya tampilkan sebagai contoh. Garuda adalah flag carrier Indonesia yang paling strategis. Ketika melihat pesawat Garuda-di Changi, atau Schiphol, atau Narita, atau Fiumicino-orang pasti akan berpikir tentang Indonesia. Alangkah sialnya bila dalam citra bangsa yang sedang terpuruk di titik nadir ini Garuda ternyata malah menambah bopeng pada wajah bangsa kita.

Pada 1998, dalam kondisi berdarah-darah-bahkan nyaris default-Robby Djohan menyambar tangkai kemudi Garuda. Dalam posisi nose dive, ia berhasil menggagalkan crash. Lalu Abdulgani menggantikannya di kokpit, dan berhasil melakukan recovery ke posisi nose up. Walhasil, beberapa minggu yang lalu kita melihat iklan di surat kabar. Garuda meraih laba Rp 409 milyar di tahun 1999. Memang, "cuma" setengah juta dollar AS. Tetapi, di tengah begitu banyak kabar buruk, kabar seperti itu tentulah melegakan. Artinya, perdarahan Garuda telah berhasil disetop.

Mereka yang menjadi frequent flyers Garuda tentulah merasakan perubahan yang sangat berarti dalam dua tahun terakhir ini. Berhubung krisis, saya lebih sering duduk di kelas ekonomi sekarang ini. Tentu wajar bila ketika menemani Pak Mar'ie Muhammad terbang di kelas ekonomi dengan Garuda ke Kuala Lumpur, saya mendapat perlakuan yang agak istimewa. Tetapi, dalam setiap penerbangan dengan Garuda sekarang saya memang merasa lebih dianggap orang oleh para awak kabin. Awak kabin Garuda sekarang lebih mewakili tipe pekerja profesional. Bukan lagi gadis-gadis manja dari keluarga menengah yang enggan melayani penumpang dari kelas bawahan "papi"-nya.

Ketepatan waktu berangkat dan tiba dari penerbangan Garuda pun tampak nyata meningkat dengan tajam. Menurut siaran berita Garuda, on-time performance-nya kini mencapai 88 persen. Artinya, 3 persen di atas industry average untuk maskapai-maskapai penerbangan Asia. Garuda tidak lagi menyandang stigma good and reliable until delay announced.

Maka, bulu kuduk saya meremang ketika dua hari yang lalu Addie MS memperdengarkan rekaman lagu tema iklan Garuda yang baru. Christopher Abimanyu, penyanyi tenor terbaik Indonesia, dengan menggetarkan lantang bernyanyi: Terbang, Terbang Tinggi, Garuda Indonesia! Musik orkestral yang digarap Addie sungguh terasa padat di latar belakang. Ala maaak, indah nian sensasi itu.

Sebentar lagi, Anda semua akan juga mendengar lagu itu, mengiringi film iklan karya Matari Advertising di televisi. Slogan barunya tidak muluk, tetapi sangat business-like dan serius: Garuda Indonesia, Kini Lebih Baik. Saya katakan serius, karena tidak gampang membuat 70.000 karyawan Garuda Indonesia mengubah budaya kerja dan menjadi yang lebih baik.

Beberapa videoklip yang ditayangkan televisi selama ini barangkali bisa menjadi bukti betapa karya audio-visual yang baik bisa menggugah semangat kita. Contoh ini perlu ditiru oleh lembaga-lembaga usaha yang lain. Kita perlu lebih banyak lagi pengibar bendera yang bisa mengangkat citra kita sebagai bangsa.

Dulu, Garuda Indonesia pernah menggemparkan dunia pemasaran Indonesia ketika membayar Landor Associates yang bermarkas di San Francisco satu juta dollar untuk membuat logo. Kini, Garuda Indonesia dengan bangga menggunakan talenta Indonesia untuk menyajikan citranya yang baru. Citra sebuah bangsa yang serius dan bangga berpeluh meningkatkan mutu.

Ah, setetes kebanggaan di tengah ketidakpastian yang mendekati keputusasaan.

Bondan Winarno - Asal Usul, 29 Oktober 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home