Friday, April 14, 2006

170900 - Burung di Tangan yang Terlupakan

ADA lelucon baru beredar di Internet. Presiden RI pertama adalah negarawan. Presiden kedua adalah hartawan. Presiden ketiga adalah ilmuwan. Presiden keempat adalah wisatawan. Wah, ngeledek nih! Padahal, Presiden Gus Dur sedang berjuang keras membawa investor datang ke Indonesia. Aliran dana investasi nyaris terhenti sejak krisis. Padahal, kekurangan pendapatan dalam APBN harus diisi segera.

Gus Dur menggunakan kesempatan di New York untuk bertemu George Soros. Konon, Soros enggan datang untuk menanam modalnya di Indonesia karena kurang yakin terhadap tim ekonomi Republik Indonesia. Itu mungkin strategi jual mahal Soros belaka. Buktinya, awal minggu lalu muncul spekulasi Soros akan mengambil saham Indosat yang sudah dipersiapkan Menko Perekonomian Rizal Ramli.

Memprioritaskan Indosat untuk digaet investor asing bukanlah strategi salah. Pertama, karena saham Indosat sudah terbukti menjadi saham blue chip selama ini, sehingga tentulah menarik investor asing. Kedua, dan ini mungkin yang lebih penting, adalah karena Indosat adalah perusahaan yang padat teknologi. Padahal, harus diakui kita bukanlah pencipta teknologi. Di luar beberapa pengecualian, pada umumnya kita memang baru sampai pada tahap pengguna teknologi. Maka, ketika teknologi telekomunikasi sedang mengalami percepatan pembaruan, barangkali ada baiknya bila justru pihak-pihak pencipta teknologi menjadi pemodal utamanya. Ini perlu untuk melunakkan dampak risiko kegagalan teknologi.

SELAIN Indosat, apa lagi? Pemerintah sebetulnya juga perlu mempertimbangkan divestasi lanjutan terhadap BUMN yang sudah diprivatisasi, misalnya: Telkom, Timah, Aneka Tambang, dan Semen Gresik. Secara umum, perusahaan-perusahaan itu menghadapi masalah sama, yaitu kondisi pasar modal Indonesia yang belum merefleksikan kinerja fundamental perusahaan-perusahaan itu. Tidak ada yang salah dalam kinerja keuangan perusahaan-perusahaan itu. Karena itu, Pemerintah perlu mengambil langkah khusus untuk mempercepat divestasi BUMN yang sudah diprivatisasi.

Ambil contoh: sektor semen. Kalau bukan karena potensinya untuk memperoleh laba tinggi, industri semen tentulah tidak akan dimasuki pemodal-pemodal besar seperti Liem Sioe Liong dan Hashim Djojohadikusumo. Tetapi, industri ini juga sangat rawan terhadap gejolak ekonomi. Dalam beberapa krisis ekonomi yang dihadapi bangsa ini selama 20 tahun terakhir, kita telah belajar bahwa sektor yang pertama terpuruk adalah sektor konstruksi. Kelesuan ekonomi selalu menjadi alasan untuk menunda proyek-proyek konstruksi, sehingga kebutuhan semen dalam negeri pun menciut drastis.

Dalam kondisi pasar seperti itu, alternatif yang terbaik tentulah untuk mengekspor surplus produk semen ke pasar dunia. Konon, saat ini surplus semen dalam negeri masih sangat besar sekalipun Semen Gresik tahun lalu sudah mengekspor lima juta ton semen. Padahal, bila harus menempuh alternatif pengurangan produksi, selalu akan berbuntut musibah bagi buruh.

Akan tetapi, bagaimana mungkin kita bersaing bila pasar semen dunia sudah dipegang pemain-pemain besar seperti Holderbank, Lavarge, dan Cemex? If you can not beat them, join them-begitu adagium yang berlaku dalam setiap bentuk persaingan. Jadi, kalau omong-omong soal semen, maka kita tinggal pilih Holderbank, Lavarge, atau Cemex untuk jadi mitra. Lavarge sudah pegang saham Semen Aceh. Cemex sudah pegang 25 persen saham Semen Gresik. Artinya, pihak-pihak itu bisa diajak kerja sama mengembangkan pasar semen Indonesia di luar negeri secara kompetitif.

Iregularitas pasar semen membuat sektor ini menuntut leverage internasional yang lebih tinggi. Posisi Semen Gresik di pasar dunia berbeda sekali dari Timah yang telah menjadi produsen timah terbesar dunia saat ini. Semen Gresik perlu "meminjam" leverage dari pemain internasional untuk bisa meningkatkan daya saingnya.

Sektor industri lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggalakan investasi adalah farmasi dan kimia ringan. Dengan biaya usaha yang lebih rendah di Indonesia, sektor industri ini bisa menjadi pemasok pasar dunia yang ideal. Pabrik baterai Energizer (semula Eveready) di Cimanggis, misalnya, sudah sejak lama menjadi produsen baterai yang diekspor ke berbagai kawasan Asia dan Timur Tengah. Pabrik-pabrik obat tentunya juga berpotensi meningkatkan kemampuannya untuk berproduksi melayani kawasan ini.

DALAM berbagai pembicaraan dengan para investor yang sudah beroperasi di Indonesia, banyak di antara mereka sebenarnya mulai berpikir untuk menempatkan kantor regional mereka di Jakarta. Cemex, misalnya, mulai menempatkan beberapa manajer yang menangani urusan regional di Jakarta. Artinya, itu hanya selangkah menuju pelembagaan kantor regional di Jakarta. Pendeknya, peningkatan investasi di Indonesia sungguh akan memberi efek berganda yang positif.

Begitu banyak investor yang punya pengalaman dengan Indonesia dan bisa diajak meningkatkan investasinya di negeri ini. Untuk mencapai divestasi lanjutan dan sekaligus privatisasi tahap kedua, Pemerintah sebetulnya bisa memanfaatkan akses yang sudah dimiliki BUMN go public untuk menarik dana investor asing. Misalnya, Timah membeli Tambang Batubara Bukit Asam, atau Semen Gresik membeli Semen Baturaja dan Semen Kupang. Karena pasar modal sedang terpuruk, pembeliannya tidak harus dalam bentuk saham, melainkan dengan obligasi atau obligasi konversi.

Banyak di antara investor BUMN go public itu yang sebetulnya sudah siap menambah investasinya bila suasananya kondusif. "Uangnya sudah menunggu di bank," kata seorang investor asing di Indonesia. "Kami siap kapan saja. Kalau Pemerintah Anda mau, besok juga bisa kami tanamkan modal itu di sini."

Jadi, buat apa repot-repot mencari investor baru yang sok jual mahal? Takut disangka ada kaitan dengan rezim terdahulu? Karena mengejar burung di udara, burung di genggaman terlupakan.

Bondan Winarno - Asal Usul, 17 September 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home