Friday, April 14, 2006

081000 - Obat Palsu

DOKTER Handrawan Nadesul minggu lalu menulis di tabloid Senior tentang obat palsu. "Orang tidak akan menjadi ayan bila memakai sepatu bermerek palsu," tulisnya. "Tetapi, minum obat palsu? Itu menyangkut urusan nyawa." Dalam artikel yang sama dicantumkan daftar 15 obat palsu hasil razia 1999-2000. Akibat minum/makan obat palsu itu beragam, dari yang tidak mengakibatkan kesembuhan hingga yang menimbulkan komplikasi ke otak dan berakhir dengan kematian. Kondisi yang terlalu serius untuk kita abaikan. Bagaimana bila hal itu terjadi pada Anda dan keluarga Anda?

Awal tahun ini, karena keinginan untuk tampil langsing, seorang dokter Singapura meresepkan Xenical untuk saya. Obat ini bekerja mengeluarkan lemak yang dikonsumsi seseorang. "Obat ini tidak ada di Indonesia, jadi beli sekaligus banyak saja," kata asisten klinik. Di Singapura para dokter memang berizin untuk sekaligus "menjual" obat. Istilahnya, dispensing physician, satu mekanisme untuk memperpendek jalur distribusi obat dan sekaligus bisa berarti merendahkan harga bagi konsumen. Tentu saja ada pula sisi negatif dari kebijakan self dispensing oleh para dokter yang di Indonesia masih ditabukan.

Tetapi, ternyata Xenical bisa dibeli di Indonesia juga. Bahkan tanpa resep. Saya singgah ke sebuah apotek besar di Kebayoran Baru. "Bapak sudah tahu pakai?" tanya staf apotek di telepon. Saya perhatikan kemasannya yang tampak otentik. Sama dengan uang palsu, keabsahan obat tidak bisa dilihat oleh mata awam. Bahkan kemasan dengan hologram yang canggih, katanya, bisa dipalsu.

Ketika untuk kedua kalinya saya datang lagi ke apotek yang sama untuk membeli obat yang sama, saya mengeluh karena harganya sudah naik. "Dollar kan naik lagi, Pak," kata staf apotek. Karena saya tetap mengeluh, dia berbisik kepada saya. "Coba saja di Pasar Baru, Pak. Di sana lebih murah."

Saya memang tidak pergi mencari obat itu ke Pasar Baru, terutama karena menyadari hal itu akan menjadikan diri saya sebagai aksesori dari perdagangan obat gelap di Indonesia. Patronasi konsumen-lah yang-antara lain-membuat bisnis pasar hitam ini tetap eksis.

Belakangan saya diberitahu bahwa obat anti-obesitas itu telah memperoleh tanda daftar di Indonesia dan bisa resmi diperdagangkan dengan resep dokter. Sekalipun demikian, perdagangan obat tanpa resep di Pasar Baru ternyata jalan terus. Salah satu alasan: konsumen enggan pergi dan membayar dokter untuk minta resep. Saya juga mulai menyadari di beberapa surat kabar yang terbit di Surabaya banyak iklan baris yang menawarkan Xenical tanpa resep. Boleh percaya boleh tidak, Viagra (obat anti-impotensi) pun ditawarkan secara bebas melalui iklan baris di Surabaya dan Denpasar. Ruarrrr biasa!

KERAWANAN seperti itu tentulah memberi peluang terhadap insiden obat palsu. Apalagi, obat-obat paten berharga mahal lebih rentan terhadap pemalsuan dibanding yang lain. Pemalsuan rupiah kita kan juga tidak terjadi pada denominasi Rp 1.000, melainkan atas matauang Rp 50 ribu? Perbedaan harga antara yang asli dan yang palsu membuat bisnis pemalsuan ini menarik bagi para operator dunia hitam. What one can make, the other can copy, begitulah pemeo yang berlaku.

Statistik 1994 dari Counterfeiting Intelligence Bureau menunjukkan, kerugian akibat pemalsuan berbagai produk di seluruh dunia mencapai 100 milyar dollar AS per tahun, atau 5 persen dari seluruh perdagangan dunia. Angka ini cukup mengejutkan. Biro yang sama menyebut, di Afrika Barat pemalsuan obat mencapai 25-70 persen dari jumlah obat yang beredar. Ini bukan lagi mengejutkan, tetapi mengerikan.

Pada 1985 ditemukan Fansidar (obat antimalaria) dipalsukan dan beredar luas di Thailand. Berapa ribu orang menderita, bahkan meninggal, karena Fansidar palsu ini tidak sempat terhitung. Di Nigeria diketahui sedikitnya 109 siswa meninggal pada 1990 setelah minum obat palsu. Jelas, kriminalitas ini telah mengakibatkan korban nyawa yang tak terhitung jumlahnya. Belum lagi kerugian lain, seperti biaya pengobatan yang tinggi karena tidak kunjung sembuh, serta hilangnya waktu produktif untuk mencari nafkah karena sakit yang berkepanjangan.

Dari IMS Health, sebuah lembaga riset pasar obat-obatan, diketahui pasar obat Indonesia hanya mencapai Rp 9,5 trilyun setahun. Artinya, pasar obat-obatan Indonesia lebih kecil daripada pasar produk-produk Indofood yang mencapai Rp 11,5 trilyun pada 1999. Kita bisa melihat kenyataan ini dari dua sisi. Pada satu sisi kita boleh berasumsi bahwa rakyat Indonesia amat sehat sehingga tidak perlu obat. Pada sisi lain kita juga bisa berasumsi bahwa rakyat Indonesia belum cukup mampu membeli obat, sehingga kalah prioritas dibanding produk konsumsi lainnya.

KECILNYA pasar obat di Indonesia tentu saja membuat masalah sendiri. Salah satunya adalah karena kebanyakan obat paten masih mengandung kandungan bahan baku impor yang cukup besar. Mengapa bahan baku obat tidak dibuat di Indonesia? Jawabnya sangat klasik: skala ekonominya tidak ketemu.

Bicara tentang hal yang satu ini memang akan membuat kita terputar-putar dalam lingkaran setan. Katanya obat harus murah agar terjangkau oleh masyarakat. Tetapi, bagaimana obat bisa murah kalau pabrikan harus berhadapan dengan berbagai masalah seperti obat palsu? Tata niaga obat juga masih belum mendukung tercapainya harga yang pantas bagi masyarakat.

Masak polisi lagi yang harus kita salahkan bila ternyata obat palsu masih beredar?

Sebagai konsumen, kita ikut menentukan mati-hidupnya matarantai distribusi obat palsu. Bersediakah Anda membeli obat palsu dan memakainya untuk diri sendiri maupun orang yang kita kasihi?

Bondan Winarno - Asal Usul, 8 Oktober 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home