Friday, April 14, 2006

051100 - "Ting"

MERASA berat menghadapi persaingan tajam di dunia pers dan para pemimpin selalu gagal menempuh strategi menaikkan oplah korannya, redaksi pun mengundang Gus Dur.

"Semoga kehadiran Gus Dur hari ini menambah kita punya wawasan, dan memberi pilihan strategi menembus tembok-tembok tebal para pesaing kita." kata moderator.

"Terima kasih," jawab Gus Dur. Dan di ruang redaksi harian Pelita lebih dua puluh tahun lalu, Gus Dur pun mulai menguraikan gagasannya.

Orang-orang Pelita menyimak dengan takzim. Sebagian malah sambil senyum-senyum. Sebagian lainnya ketawa terbahak-bahak.

Maklum, yang sedang mereka dengar itu raja humor yang pikirannya cemerlang. Ia selalu hadir dengan gagasan mengejutkan.

Setelah panjang lebar "berpidato" di depan para wartawan, Gus Dur dengan enteng menyimpulkan: "Coba dulu dinamai "petromak" pasti lain lagi ceritanya," kata Gus Dur.

Dan hadirin pun terbahak-bahak.

KETANGKASAN Gus Dur membenturkan satu ide dengan ide lain, memperhadapkan sebuah sense dengan non-sense yang melahirkan sebuah sense baru memang jitu.

Tetapi kalau diteliti, ada saja yang salah. Pelita dalam arti sebenarnya dan pelita dalam arti metaforik, saya kira tak bisa diperhadapkan. Pelita metaforik mungkin tak bisa diganti dengan pelita sebenarnya. Juga metafora tentang obor dan ting.

Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW disebut pembawa obor peradaban. Obor beliau menerangi kegelapan jiwa dan kegelapan struktur sosial negeri Mekkah dan bangsa Arab di zaman Jahiliah. Dan berkat obor itu pula kini peradaban manusia berkembang. Kita keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. "Cahaya maha cahaya", kata Ainun.

Obor, cahaya, nur, yang beliau pancarkan dalam gelap itu adalah nur ilmu pengetahuan tentang hikmah. Nur itu memancar lebih dulu di dalam jiwa beliau, seorang warga biasa yang buta (huruf), baru kemudian memancar memberi cahaya dunia.

Ilmu atau wawasan tentang hikmah, biasanya tak diajarkan oleh para guru, para profesor atau para filosof. Hikmah diajarkan oleh para nabi, orang-orang tulus, yang berjuang bukan buat kepentingan pribadi melainkan buat kepentingan manusia-manusia lain. Pendeknya oleh mereka yang gigih menerangi dunia dengan obor kesadarannya.

Di kampung-kampung di Jawa, obor itu segepok daun kelapa kering yang disulut api dan cahayanya mencaplok seluruh kegelapan, dan kemudian dalam radius 3-4 meter di sekitar pembawa obor memancarlah cahaya terang.

Dengan obor daun kelapa kering orang bergerak maju menembus kegelapan malam. Tapi obor Gusti Kanjeng Nabi menembus batas-batas hari, bulan, tahun, abad. Obor itu menembus kegelapan dunia. Dan juga kegelapan jiwa manusia. Dulu, dan juga sekarang.

OBOR Kanjeng Nabi Muhammad yang mulia itu tak pernah mati. Ia menjadi pusaka, menjadi warisan tak ternilai. Obor itu tersimpan di dalam kitab suci yang tiap hari dibaca, dan diperlombakan tiap tahun.

Musabaqah tilawatil Qur'an itu sebuah peristiwa besar. Berjuta orang terlibat, dan maha sibuk di dalamnya. Dan bermilyar-milyar rupiah dihabiskan di sana. Tiap tahun peristiwa akbar ini kita rayakan. "Tapi apakah kita memetik manfaatnya?"

Saya tak bisa menjawab.

"Menjadi terangkah jiwa-jiwa kita?"

Saya menunduk malu.

"Makin bercahayakah struktur sosial negeri kita yang gelap gulita sejak puluhan tahun lalu?"

Sekali lagi, saya menunduk. Inilah peristiwa "Akbar" yang sangat kecil dampaknya. Itu pun bila benar ia punya dampak. Selebihnya, yang selalu pasti, kita cuma menemukan kegelapan demi kegelapan.

Pribadi-pribadi, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi resmi, juga partai-partai politik, lembaga-lembaga negeri, sidang-sidang wakil rakyat, semua diwarnai kegelapan.

Cahaya, nur, hikmah itu cahaya Tuhan. Biarpun tiap hari dilihat, tapi kita melihatnya dari tempat yang "batil", dengan cara "batil", demi tujuan "batil", ia tak akan tampak. Alam akan tetap gelap. Dan kita pun gelap.

Sekarang Tuhan tak lagi menurunkan nabi-nabi. Lebih parah lagi bagi Indonesia, kita bukan cuma tak punya nabi tapi juga tak punya pemimpin yang patut dikutip pendapatnya, dicontoh sepak terjangnya, dan sekadar dikagumi kearifannya. Tiap tokoh yang pernah kita duga pemimpin, ternyata pemimpin palsu.

Tiap tokoh yang kita ikuti jejaknya, ternyata jejak itu cuma berakhir di WC. Duh Tuhan, nabi nabi para wali dan orang orang suci... Nasib malang apa yang kami tanggung ini?

Baik, kami bukan bebek, bukan bekicot atau kodok. Rakyat lama-lama muak mengharap para pemimpin bersatu padu membangun negeri. Mereka bertarung sendiri-sendiri, demi agenda mereka sendiri, dan tak ada hubungan dengan perjuangan kerakyatan.

Para pemimpin sendiri sudah hidup dalam gelap. Tiap hari mereka buka bukan agenda membangun peradaban besar, demi kebangkitan bangsa dan negara, tapi agenda pribadi. Mungkin paling jauh agenda partai.

Rakyat yang baik hati, sabar, dan tabah menghadapi tekanan kegelapan jiwa para pemimpinnya, bisa bergerak sendiri. Anak-anak muda yang masih murni, yang belum tercemar oleh polusi kepentingan, diam-diam mulai menyalakan ting: sejenis lampu teplok yang menyala kecil seperti kunang-kunang di kegelapan.

Ting, bagi rakyat telah atau hendak menjadi alternatif dalam upaya menyelamatkan diri dari kegelapan zaman jahiliah paska Mekkah, pasca Orde Lama, pasca Orde Baru, pasca-Orde Reformasi. Pemimpin yang bergerak demi diri sendiri bukan pemimpin. Dan karena itu, hari ini kita hidup tanpa kepemimpinan. Dan itu tampaknya tak menjadi soal.

Kalau tak ada obor, ting pun berguna. Dan gerakan menyalakan ting, sekecil apapun bakal menjadi modal bagi kita selama menanti berkah Tuhan. Dan berkah itu datang bila kita bekerja, berdoa, bekerja...

Cahaya Tuhan datang seperti nyala ting: kecil tetapi menerangi sisi-sisi kegelapan kita. Ting itu juga nur, cahaya.

Mohamad Sobary - Asal Usul, 5 November 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home