Friday, April 14, 2006

121100 - Pahlawan

BARANGKALI harus didukung, sebuah pendapat, bahwa orang baik mesti banyak bersabar, orang cerdas perlu banyak berpikir dan orang bijak harus banyak mengerti. Bersabar akan membuahkan kemampuan menahan diri, tidak putus-asa, tidak grusa-grusu dan tidak mau berhenti berbuat sebelum citanya tercapai. Berpikir akan membebaskan orang dari terjebak oleh tindakan salah yang membuatnya sulit untuk kembali dari awal, menemukan yang benar itu benar dan yang itu salah serta memperoleh kemantapan dalam mengambil keputusan dan bertindak secara pas. Mengerti sesudah mengenal dan mengetahui, merupakan modal bagi terujudnya harmoni, dan salah satu kunci keberhasilan. Berpikir, mengerti dan sabar oleh dan dalam Quran disebut sebagai "hikmah".

Hikmah, yang pasti dikaruniakan Allah kepada semua Utusan-Nya, menjadi bekal dan modal mereka memperjuangkan moral dan ajaran. Kang Kiai yang juga menyerap dari Quran, menyebutkan dua sisi yang masing-masing dua bagian. Yaitu: bersyukur dan bersabar serta berdzikir dan berpikir. Bersyukur ketika menerima karunia dan bersabar ketika menjumpa kendala. Berdzikir (senantiasa ingat kepada Gusti Allah, Tuhan Maha Pemberi segala) pada setiap langkah dan tindakan yang ujungnya kesadaran bahwa segala yang dihasilkan adalah dari Gusti Allah, melahirkan kesyukuran yang dalam. Berpikir yang berarti mengembarakan akal-budi, menjelajahi cakra-wala dan semesta, menembus segala langit yang berguna bagi kehidupan. Itu semua diperlukan kesabaran penuh untuk mencapai kepuasan seutuhnya.

Kang Kiai itu kemudian menyebut syukur dan sabar itu sebagai kawasan steril yang bersih dari polusi kecurangan. Semerbak dengan kejujuran. Semarak dengan ketulusan. Pembebasan diri dari menyalahkan diri sendiri dan orang lain. Merelai yang diterima diri sendiri dan yang diterima oleh orang lain. Saya sangat ingat ketika Kang Kiai membimbing saya bersama dengan beberapa santri "kesana". Di dalam sana memang sangat sejuk. Saya merasakan kenyamanan yang-sungguh-asyik. Saya merasa ditindih pesona, ketika saya dibawa mengitari keindahan aneh, entah apa. Tetapi saya-ternyata-tidak bisa meninggalkan "nafsu" saya tetap berada dalam pasungan. Dia meronta, melepaskan diri dari akal sehat lalu memotong-motong ikatan nurani dan mencampuradukkan wacana. Lahir dari nafsu yang lepas itu aneka paradoksal, ada kata-kata mutiara yang digunakan kebatilan.

Kalimatu haqqin uriida biha i-bathil. Ada maido, mencela, dikatakan ngritik. Ta'yiir yang diplesetkan menjadi intiqod. Padahal meski perbedaan antara ta'yir dan intiqod itu sangat tipis-seperti perbedaan antara bai', jual-beli dan riba-namun, yang satu dianjurkan dan yang lainnya dilarang. Ada parodi yang menampilkan cacat seseorang dikatakan sebagai ekspresi sebuah kritik. Padahal yang disebut parodi itu jelas tamsil yang haram hukumnya. Jika itu semua dikedepankan oleh orang awam dengan kepolosannya, niscaya tak seorang pun mempersoalkan. Tetapi jika muncul dari orang terpelajar yang melabel dirinya dengan Islam, tentu lain soalnya.

Dari kalimah tahmid di atas, saya-seperti halnya Sampeyan sekalian, mungkin-menyepakati kesimpulan bahwa kehadiran Pahlawan sebagai sosok yang dibanggakan bangsanya atau bahkan diteladani adalah mereka yang tidak pernah berhenti berpikir, selalu mau mengerti dan bersabar dalam memperjuangkan kebenaran, dilengkapi dengan kepuasan batin yang disyukuri. Saya dan Sampeyan tentu setuju, bahwa setiap angkatan memiliki pahlawan-nya. Angkatan 1908, 1928, 1945 dan saya bertanya, siapa pahlawan saya dan pahlawan Sampeyan ditahun 1966 dan seterusnya? Sebab "pah-lawan" itu mungkin dari kosa kata "pahalawan". Pahala menurut saya adalah karunia, pemberian atau anugerah khas dari Gusti Allah, dari Tuhan Sesembahan. Pemberian dari sesama makhluk tidak diistilahkan dengan pahala. Pemberian dari atasan sekian tingkat di atas kita, orang mengistilahkan dengan anugerah, bukan pahala. Misalnya, penganugerahan dari Negara kepada salah seorang rakyat-bangsa. Tidak pernah kita dengar: pemahalaan dari Negara Tetapi "pahala dari Tuhan".

Barangkali boleh diusulkan bahwa: Pahlawan adalah dia yang dalam berbuat sesuatu demi memperjuangkan kepentingan bersama tidak berpamrih apa pun kecuali "pahala" dari Gusti Allah. Dia sadar benar bahwa: kursi, kedudukan, popularitas, fasilitas, harta, nama besar, dan sebagainya, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan "pahla". Pahla yang akan diterima di depan dan bersifat abadi itu hanya dari Gusti Allah semata. Penerima "pahla" akan juga abadi, seabadi pahalanya itu sendiri. Pahlawan abadi di hati bangsanya, sepanjang sejarah, selama sebuah bangsa masih bernama. Diponegoro, Boedi Oetomo, Sudirman, Soekarno-Hatta, abadi namanya sebagai pahlawan bangsanya. Lalu siapa selanjutnya? Apakah anak-cucu kita akan mengabadikan nama kita sebagai pahlawan, jika-meski seupil-yang kita perbuat bermuatan pamrih? Apa yang kita perbuat hanya menginginkan pahala atau kita juga mengharap anugerah atau balas jasa. Hari Pahlawan Indonesia kita peringati pada 10 November. Kalian, para pahlawan, Rahimahumu I-Loh abadi di hati anak bangsa ini.

Lain pahlawan, lain Pemimpin. Pemimpin-sebenarnya-hanya membutuhkan wibawa untuk membawa gembalaannya ke kepatuhan. Wibawa yang bisa dibangun dengan kekerasan atau kelembutan. Kengototan atau kelenturan. Kekayaan, kepandaian atau kedudukan. Kekuasaan atau kepatuhan. Tinggal apa mau sang Pemimpin, menghendaki kepatuhan tulus atau loyalitas semu. Lama atau pendeknya masa semayam kewibawaan, tergantung kepada lama-pendeknya pola pilihan dipertahankan. Atau sama sekali dia tidak menghendaki terbangunnya kewibawaan. Lalu membiarkan siapa pun bersikap, berbicara, bertindak dan berhujjah secara semena-mena dan semau-maunya, seolah-olah sedang hidup dihutan belantara. Pemimpin yang memilih membangun wibawa dengan kelembutan, kelenturan, kepandaian, dan kepatutan, lalu kepasrahan menjadi ujung kinerjanya, maka adalah dia telah memperoleh rahmat Allah.

Apakah belum sampai waktunya bagi kita memusatkan hati untuk mengelap bersih-bersih kaca kebenaran yang berbingkai kenyataan demi menghapus coreng-moreng wajah kita. Lantas pada gilirannya, melahirkan Pahlawan atau Pemimpin atau Pahlawan sekaligus Pemimpin di kekinian maupun kekelakan. Mumpung rembulane, mumpung jembar kalangane, surako surak horeee. Senyampang benderang cahaya rembulan, senyampang lega kesempatan, mari bersorak-sorai. Hai, hai, hai.

M Cholil Bisri - Asal Usul, 12 November 2000

0 Comments:

Post a Comment

<< Home