Friday, April 14, 2006

140101 - Amal

DI sepanjang jalan kecil berbatu-batu yang tiap kali dilaluinya-karena itu jalan satu-satunya menuju ke rumah sang guru-perempuan berkerudung itu berjalan setengah berlari. Napasnya terengah-engah, dan di wajahnya terpancar rasa takut, dan cemas, yang hendak dilaporkannya pada sang guru. Sepanjang hidupnya, belum pernah ia mengalami rasa takut, bercampur keheranan seperti itu.

Seorang santri muda, yang sudah lama dikenalnya, mempersilakannya menunggu di ruang khusus, ruang zikir bersama yang juga berfungsi sebagai ruang tamu, untuk tamu-tamu khusus.

"Sebentar lagi kiai datang," kata santri itu dan berlalu dari situ setelah mempersilakan tamunya minum teh yang dihidangkannya. Dan benar, sang kiai yang masih terhitung muda itu muncul dari balik pintu. Sang kiai, alhamdulillah, sudah tahu apa yang hendak disampaikan tamunya, yang juga murid asuhan khususnya.

"Bukankah sudah pernah kita bahas, bahwa hal-hal seperti itu wajib kita syukuri?" kata sang kiai, ketika si murid baru hendak memulai membuka pembicaraan.

"Babi, singa-singa, monyet, ular, itu binatang-binatang biasa," kata sang kiai lagi.

Di pasar, sekitar sejam lalu, sang murid terkejut melihat seseorang yang tiba-tiba wajahnya berubah menjadi wajah babi.

"Astaghfirullah, apa yang kulihat ini?" pikirnya sambil selangkah mundur ketakutan. Tetapi, rasa takut dan keheranannya belum lenyap, ia melihat wajah orang di sebelahnya lagi ganti berubah dengan wajah singa yang tampak garang dan haus darah.

"Ya Allah, teror apakah ini?" pikir perempuan itu, makin takut dan makin takut. Dan ketakutan itu masih mencekam ketika tiba-tiba, seorang laki-laki gagah yang berdiri di sebelahnya, berubah menjadi seekor monyet raksasa.

Dan kemudian, di sebelah sana, sana lagi dan sana lagi, tampak orang-orang yang kepalanya berubah menjadi kepala ular dengan lidah merah menjulur ke luar.

"Masa Allah, ampunilah hamba, duh Gusti," pikir perempuan yang makin ketakutan itu. Ia tidak tahu pasti apakah ia sudah berubah menjadi orang gila, yang pandangan matanya berubah dan menipunya, ataukah alam sekitarnya yang berubah?

"Itulah kiai, yang membuat saya cepat-cepat meninggalkan pasar dan sowan Kiai," katanya lagi.

Sang kiai menjelaskan bahwa di dalam diri manusia tersimpan watak hewan-hewan, watak setan dan segenap angkara murka, tapi juga jiwa malaikat yang saleh, yang tunduk dan patuh, dan tiap detik memuji Allah yang Maha Suci. Adapun yang sampean lihat tadi, kebetulan manusia-manusia serakah, kejam, dan culas dan berbahaya bagi manusia lain. Mungkin mereka pedagang yang culas, mungkin pejabat yang rakus, yang tiap saat nafsunya membayangkan jabatan lebih tinggi, mungkin juga mereka politisi yang dari hari ke hari didera nafsu menerkam lawan politiknya seperti singa-singa di padang Sahara melahap mangsanya.

RIMBA raya perpolitikan kita terus bergolak dan kaum politisi menari-nari seperti orang kesurupan demit, dan di sana-sini hasut-menghasut terjadi, dan orang saling menghardik atas nama agama, kebenaran dan demokrasi dan Tuhan.

Kehidupan birokrasi seperti kawah diaduk-aduk Betara Kala, dan para pejabat pamer kesucian, pamer kebenaran, pamer keahlian sebagai sarana menutupi ambisi-ambisi dan pamrih pribadi yang berlebihan akan kekuasaan dan harta.

Lidah para seniman sudah kelu. Daya nalar kita lumpuh. Para pengamat kehilangan kejernihan analisis, dan artikulasi mereka buruk. Para aktivis, para rohaniwan, pemimpin umat, tokoh-tokoh gerakan, satu persatu kehilangan rasa percaya diri, dan kegetiran di sekitar membuat mereka ciut, bahwa hidup memang getir, dan bahwa yang getir itu cermin kenyataan abadi yang mustahil diubah kecuali dengan kekuatan raksasa, bedil raksasa, duit raksasa.

Dewa kejernihan, dewa keadilan, dewa kehidupan, di manakah mereka sekarang bersembunyi? Muakkah mereka pada kita?

Mungkin ya. Tapi mereka tak meninggalkan kita. Mereka cuma minta, agar urusan nalar diselesaikan dengan nalar. Urusan politik diselesaikan dengan cara politik. Dan jangan mencampur adukkan apa yang pribadi dengan yang publik, dan apa yang hak dan yang batil.

Ringkasnya, kita diminta tenang, jernih dan tak boleh heran berlebihan, marah berlebihan. Sejumlah menteri hendak mundur, saya kira bukan berita istimewa seperti tak istimewanya kenyataan bahwa tukang becak pun sekarang bebas mengkritik gubernur atau presiden.

Mereka yang mau mundur pun tak usah kedengaran "ngak ngok" terlalu keras seperti sepur klutuk sedang langsir di stasiun. Suaranya bising seperti hendak membelah langit dengan asap hitam tebal menyesakkan dada, tetapi cuma bising di stasiun. Mundur dari jabatan, karena prinsip akademik, karena alasan politik, karena pertimbangan pribadi, karena demi bangsa, atau demi yang lain, apa istimewanya bagi orang yang mendefinisikan dirinya pejuang yang berjuang bagi negerinya secara ikhlas dan tulus sesuai takaran keagamaan?

Bagi pejuang yang tulus berbuat untuk kemanusiaan, untuk bangsa, untuk agama, meletakkan jabatan boleh jadi sama ibaratnya dengan bersedekah kepada pengemis, atau memasukkan uang ke kotak amal di masjid: semua dikerjakan diam-diam, karena memang ikhlas, dan karena yakin Allah telah mencatat amal kita.

Dan amal, barang yang temporal dalam dirinya tapi eternal, kekal di dalam diri Allah, tak memerlukan publikasi agar kejernihan tetap terjaga.

Mohamad Sobary - Asal Usul, 14 Januari 2001

0 Comments:

Post a Comment

<< Home