Friday, April 14, 2006

070101 - Supermen Imajiner

PERTANYAAN pertama: "Mengapa Supermen memakai huruf S di kostumnya?" Jawabnya adalah: "Kalau huruf M atau L, kostum tadi jadi terlalu besar buat dia!"

Pertanyaan kedua: "Apakah ada persamaan antara Supermen dan tokoh-tokoh politik kita?" Jawabnya : "Ada !" Supermen adalah tokoh imajiner, dan tokoh-tokoh kita, biarpun mereka itu nyata, tapi terpilih menjadi tokoh karena adanya pemilu yang imajiner.

Pemilu imajiner!? Iya betul, pemilu yang lalu itu masih sama dengan pemilu Orba, kendati harus diakui sudah agak jujur, tapi jauh dari adil. Dulu, orang mencoblos Golkar, yang keluar jadi wakil, Eddy Sud. Sekarang, masih sama saja, rakyat disuruh mencoblos tanda gambar, yang jadi wakil, tidak mewakili rakyat tapi mewakili partai. Sekalipun mereka benar mewakili partai, tapi partai pun sesungguhnya belum berarti banyak dalam pandangan rakyat pemilihnya. Kebijakan depolitisasi dan floating mass Orba yang belum habis terkikis, membuat rakyat kita cenderung menganggap pemilu itu bukan wujud pelaksanaan demokrasi, tapi lebih memperlakukan pemilu sebagai ritus lima tahunan, seperti hajatan atau pesta, dan partai sebagai ruang pesta, ketua partai adalah direktur hajatan tadi.

BENNEDICT Anderson, Indonesianis Amerika, bahkan berani menyebutkan nation state seperti Indonesia ini sebagai semacam imagined community, komunitas yang dibayangkan, alias komunitas imajiner. Pernyataan ini bukan didasari oleh semangat anasionalis, tapi lebih didasari oleh otentisitas budaya. Jadi para Bapak-Ibu yang merasa bermerah-putih di dada, tidak perlu berkomentar dulu.

Begini, "Bangsa Indonesia" adalah sebuah konsep dan komitmen politik yang lahir belum begitu lama, jika dibandingkan dengan usia keberadaan masyarakat-masyarakat lokal yang tersebar di geografis "Bangsa Indonesia" tadi. Jauh-jauh sebelum nation state bernama Indonesia itu lahir, beragam masyarakat lokal dengan kebudayaan yang otentik telah lama hidup di kawasan Nusantara. Masyarakat lokal ini berkembang secara sosial-budaya begitu saja tanpa ada campur tangan politik yang memusat, merdeka, dan otonom. Selama ribuan tahun sebelum "Nation State Indonesia" lahir, masyarakat lokal ini dengan ikatan-ikatan tertentu, memilih dan mengolah makna-makna dunianya (kosmologi) secara mandiri. Mereka merdeka dalam menafsirkan norma, moral dan nilai-nilai apa yang baik dan buruk, salah atau benar, indah atau jelek, bahagia atau bencana. Mereka memaknai dunianya bukan atas dasar teori rekayasa, dari pusat, tapi berdasarkan pengalaman empirik milik mereka sendiri. Dengan cara inilah masyarakat lokal hidup bersosialisasi dan tumbuh berkembang. Inilah yang kemudian disebut kelompok masyarakat dengan komitmen ikatan rasio-emosi, sehingga melahirkan komunitas otentik.

Masyarakat Aceh adalah komunitas otentik. Masyarakat Ambon adalah komunitas otentik. Masyarakat Papua adalah komunitas otentik. Masyarakat Riau adalah komunitas otentik. Juga masyarakat Sunda, Banten, Jawa, Batak, Menado dan seterusnya, adalah komunitas otentik. Tetapi pada satu saat tertentu, komunitas-komunitas otentik ini membuat satu komitmen politik untuk melebur menjadi satu komunitas besar yang bernama komunitas Indonesia. Yang awalnya didasari dengan toleransi-toleransi antar komunitas tadi.
Lunturnya toleransi-toleransi inilah yang menyebabkan komunitas besar Indonesia bergeser dari tujuannya dari komunitas otentik (yang besar) menjadi komunitas yang imajiner. Contohnya, bagaimana mungkin pelajaran bahasa Indonesia selalu diawali dengan "Ini Budi, itu Tuti", sedangkan di Ambon dan Papua tidak ada yang bernama Budi atau Tuti? Ini kurang toleran! Dan masih banyak bentuk intoleransi yang lebih substansial, baik lewat sistem pendidikan, sistem politik, bahkan sistem nilai bermasyarakat, sehingga ikatan pun menjadi kendur.

Meminjam istilah Ariel Heryanto, bahwa sosio-budaya lokal adalah semacam daya hidup yang dinamis, selalu bergerak, terbuka dan akan terganggu bila diikat oleh ruang-ruang politik yang cenderung bersifat rekayasa. Sosio-budaya lokal tidak bisa dipaksa tunduk kendati oleh bedil dan meriam, untuk bisa dikooptasi oleh kekuasaan politik tertentu. Untuk lebih afdol, saya sitir pernyataan Austin Renney (1987), bahwa negara atau lembaga politik adalah semacam "Mirror Effect" bagi masyarakat dan kebudayaannya. Bagaimana bentuk masyarakat dan kondisi kebudayaannya, semestinya sepertinya seperti itu juga bentuk negaranya. Negara menjadi cerminan kebudayaan masyarakat dan sebaliknya.

Nah, jika dua alinea di atas kita rangkum, maka kita akan mendapatkan aksioma bahwa saat ini, pemerintah dan negara Indonesia mulai kehilangan legitimasinya dihadapan sosio-budaya lokal yang jumlahnya sangat beragam itu. Persoalan ini, menguatkan dugaan bahwa benar-benar komunitas Indonesia ini akan segera (atau sudah) menjadi komunitas imajiner yang sekadar bendera Merah-putih belaka.

SUDAH barang tentu ini bukan sekadar tanggung jawab pemerintah atau negara, tapi ini harus disadari menjadi tanggung jawab kita semua, begitu mungkin kata orang arif bijaksana. Tapi yang jadi persoalan kearifan dan kebijaksanaan sudah jatuh menjadi sekadar retorik-retorik usang di negara ini.

Bayangkan ketika seorang warga dari komunitas imajiner Indonesia ini dihadapkan pada retorika Kennedy, "Jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyalah apa yang bisa kamu berikan pada negara". Jawabnya adalah: "Boro-boro bisa memberi ke negara, memberi pada diri sendiri saja belum bisa, jadi apa yang bisa saya beri?" Dan, ketika seorang buruh yang selalu berurusan dengan ketidakadilan, dan selalu diinjak-injak hak asasinya, dihadapkan pada retorika dari direkturnya: "Jangan demo, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh". Maka sang buruh menjawab: "Bosan pak, bersatu kita memang teguh, tapi bercerai... memang musimnya !" Dan, ketika zaman seperti sekarang, di mana semua hal bisa direkayasa dan dijadikan komoditas dagang, dari agama sampai kolor bekas, dari demo sampai kekerasan, dari politik sampai harga diri, bahkan dari bencana sampai pesta, semua jadi barang dagangan masyarakat luas maupun media. Maka seorang guru mengajar di depan kelas: "Bangsa kita adalah bangsa yang adiluhung, adikarsa, adikarya... (sambil tertawa sendiri dan bergumam) adi... bing slamet, adi sasono, dan adi-adi lainnya." Kendati kalimat terakhir ini tidak sempat terdengar oleh murid-muridnya, tapi secepat kilat sang guru keluar kelas, masuk WC, tertawa dia keras terbahak-bahak!!! (sebetulnya hati kecilnya menangis tersedu-sedu!!!)

KOMUNITAS imajiner semacam ini menjadi lebih kisruh, ketika sebagian dari generasi saya mencoba mencari kebudayaan Indonesia itu apa? Maka lahirlah polemik berkepanjangan, tentu karena yang dibicarakan kebudayaan imajiner juga. Dan lebih rusak lagi ketika petinggi pandir mencoba membuat ide tulalit, yaitu merekayasa demi persatuan dan kesatuan, haruslah ada musik Indonesia. Bagaimana dicarinya ini, inikan juga imajiner?

Celakanya, petinggi-petinggi pandir kering budaya macam ini, notabene adalah teman-teman saya dari generasi saya. Generasi saya ini sudah harus dicurigai kurang baik budi pekertinya, banyak koruptor, manipulator, provokator, dan "tor-tor" lain yang negatif. Generasi saya (termasuk saya) inilah yang menyebabkan komunitas Indonesia menjadi komunitas imajiner, dikarenakan kepentingan-kepentingan tertentu, sekaligus karena ilmu pandir tadi. Generasi ini sudah busuk, bahkan harus segera dibusukan guna jadi kompos bagi mekarnya tunas-tunas baru, kuntum-kuntum baru, yang segar, sehat, jernih, dan bersih. Generasi baru inilah, diharapkan belum ketularan wabah epidemi dari generasi Orla, Orba, pasca Orba I, dan pasca Orba II.

Kita punya sederet pemikir muda, politikus muda, aktivis muda, budayawan muda, seniman muda, pemusik muda, yang semua mereka ini sangat potensial dan sudah muncul kepermukaan maupun akan muncul atau akan segera muncul. Seperti Sujiwo Tejo, Garin Nugroho, Budiman Sujatmiko, Malarangeng bersaudara, Eep Saefulloh, Yeni Rosadamayanti, Ditasari, Fajrul Rahman, Andar Manik, Dwi Joko, Dan Satriana, Tisna Sanjaya, Erick Yusuf, Sulasmoro, Rahman Sabur, Soni Farid, Diro Aritonang, Rahmat Jabaril, Komunitas Slank, Netral, Serieus, Muararajeun, 347, Harapan Jaya, Arian Puppen, bahkan komunitas pemusik muda Under Ground yang lebih peka sosial dibandingkan senior-seniornya. Dan, masih sederet lagi pemikir-pemikir muda intra partai maupun ekstra partai, yang cukup cemerlang pemikirannya.

Mereka punya naluri yang lebih kekinian, dan orisinal sekaligus otentik. Mereka lebih klop untuk memakai kostum Supermen. Karena selain kekinian, juga fisik mereka masih "S", cocok dengan logo di dada Supermen. Semoga mereka tidak seperti generasi saya (termasuk saya) yang sudah berukuran "M" atau "L", gembrot karena polusi, dan tambun karena kotoran. Makanya, sebelum negeri ini lebih bobrok, wahai orang muda, segera rebutlah panggung!!! Supaya komunitas ini tidak semakin imajiner!! (Atau Anda segera buat panggung sendiri).

Pertanyaan penutup: "Kenapa Gus Dur, Akbar, Mega, Amien, tidak pakai baju Supermen ?" Jawabnya: "Pak Gus Dur, Bung Akbar, Ibu Mega, Mas Amien, adalah tokoh-tokoh penting saat ini. Mereka memang orang-orang super, tapi tidak bisa mengenakan baju Supermen. Kenapa? Karena logo 'S' di dada Supermen harus diganti menjadi 'XL'. Hal ini berlaku juga buat mantan penulis kolom ini, Wimar Witoelar, dan... saya."

Semoga jawaban ini dapat memuaskan semua fihak yang sedang bertikai.

Harry Roesli - Asal Usul, 7 Januari 2001

0 Comments:

Post a Comment

<< Home